Home / Opini : Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi (3)

Vaksin Berbayar Bikin Gaduh, Menkes Mestinya Mundur

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 18 Jul 2021 11:49 WIB

Vaksin Berbayar Bikin Gaduh, Menkes Mestinya Mundur

i

Catatan Raditya Mohammer Khadaffi (Pemimpin Redaksi Harian Surabaya Pagi dan SurabayaPagi.com)

Pak Presiden Jokowi Yth,

Bulan Juli 2021 ini, publik dihebohkan dengan keputusan Menkes Budi Gunadi Sadikin, mengkomersialkan vaksin melalui Kimia Farma.

Baca Juga: Amicus Curiae, Terobosan Hukum

Aturan vaksinasi individu berbayar ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Permemkes Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.

Dalam permenkes ini diatur bahwa vaksinasi gotong royong adalah pelaksanaan vaksinasi Covid-19 kepada individu atau orang perorangan yang pendanaannya dibebankan kepada yang bersangkutan.

Tak tanggung-tanggung,  harga vaksin individu lengkap di klinik Kimia Farma, rakyat, siapa pun harus mengeluarkan seluruh proses berbiaya sebesar Rp 879.140 . Ini termasuk penyuntikan. Sementara tarif pembelian vaksin ditetapkan sebesar Rp 321.660 per dosis.

Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengecam. Pandu menilai harga vaksin berbayar ini mahal, Bahkan ia menuding vaksin gotong royong yang diinisiasi Menkes Budi Gunadi Sadikin dan Menteri BUMN Erick Thohir, bermotif hanya seperti cari uang untuk menghidupkan perusahaan BUMN.

Epidemiolog Pandu Riono, menyebut jenis vaksin yang digunakan untuk program ini adalah Sinopharm. Ia kaget, karena Sinopharm menjadi salah satu vaksin yang didatangkan melalui skema bantuan Covax/Gavi. Skema ini adalah vaksin donasi . Harusnya gratis karena sebagai bantuan. Ini terkait soal monopoli . Dengan dijual, Pandu khawatir tidak ada yang mengawasi.

Akal sehat rakyat bisa mengatakan keputusan Menkes seperti ini bisa menggambarkan vaksin di Indonesia barang komersial. Artinya sebagai pembantu presiden, Menkes ingin berbisnis dengan rakyatnya. Etiskah? banyak pihak yang mengatakan tidak etis.

Saya kaitkan dengan penegasan Anda bulan Desember 2020, keputusan vaksinasi berbayar ini telah memperlihatkan sikap inkonsisten dari pemerintah yang diwakili Menkes Budi Gunadi Sadikin.

Secara hukum, keputusan Menkes ini  bertolak belakang dari regulasi dari vaksin gratis yaitu  diubah menjadi berbayar.

Kegaduhan ini ditanggapi oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin.

Mantan Direktur Utama Bank Mandiri dan Wakil Menteri BUMN ini menjelaskan bahwa pemerintah ingin menyediakan opsi seluas-luasnya bagi masyarakat dalam mengakses vaksin. Ia menyebut ketersediaan vaksin ini disediakan di Klinik Kimia Farma, adalah perusahaan yang memasarkan dengan seluas-luasnya. Ada delapan gerai di seluruh Indonesia.

Menkes berdalih keputusan tentang vaksin gotong royong ini merupakan opsi.

Sebagai jurnalis berakal sehat, saya tidak mengapresiasi vaksin komersial ini sebuah opsi atau tidak. Ini bentuk ‘’pembangkangan’’ dari seorang pembantu presiden ditengah rakyat kelabakan mencari vaksin untuk melindungi dirinya dari terpapar covid-19.

 

Pak Presiden Jokowi Yth,

Bila vaksin berbayar itu terealisasi, ini bisa membuat kegaduhan baru di tengah rakyat antrian vaksinasi di tempat-tempat layanan publik.  Ia bisa menimbulkan diskriminasi. Rakyat yang mampu bisa tidak perlu antri mengikuti vaksinasi. Sebaliknya rakyat biasa menjadi cemburu dan makin terbebani.

Bahkan bisa memunculkan persepsi di tengah rakyat yang antri vaksin bahwa vaksin berbayar lebih bagus daripada vaksin gratis. Bisa pula memunculkan pendapat ekstrim, pemerintahan yang Anda pimpin lari dari tanggung jawab. Kegaduhan dan polemic semacam ini bisa membuat situasi menjadi tambah runyam.

Akal sehat saya, perusahaan BUMN dan kelompok tertentu yang dekat Menkes dan Menteri BUMN, bisa ikut berbisnis. Mengingat, mekanisme kontrol pendistribusian ke Kimia Farma, sulit dilakukan. Praktik semacam ini  membuka ruang bagi kelompok tertentu untuk mengeruk keuntungan di balik bisnis vaksin berbayar ini.

Hal yang tidak bisa diterima akal sehat oleh rakyat Indonesia, saat ini Indonesia tengah mengalami lonjakan kasus sehingga semakin banyak masyarakat yang membutuhkan perlindungan.

Akal sehat saya menyebut, apa pun alasannya vaksin bayar ini mengingkari amanat  undang-undang dan keputusan Anda sebagai presiden sekaligus kepala Negara.

 

Pak Presiden Jokowi Yth,

Baca Juga: Apple akan Bangun Akademi Developer di Surabaya

Saya masih ingat bahwa seseorang diangkat menjadi menteri itu mesti memiliki integritas juga. Selain keahlian. Nah, Menkes Budi Gunadi Sadikin, adalah seorang insinyur dan bukan dokter. Secara keilmuan dan keterampilan, ia patut dinilai tidak memiliki keahlian bidang kesehatan. Berbeda dengan Menkes sebelumnya Dr. dr. Terawan Putranto dan Dr. Siti Fadilah.

Bila tidak mengantongi keahlian bidang sistem pelayanan kesehatan, hal yang ‘’tersisa’’ bagi Menkes Budi Gunadi Sadikin adalah integritasnya sebagai penyelenggara Negara dan pembantu presiden.

Dalam pandangan saya jurnalis muda yang sudah meliput berbagai peristiwa hukum dan politik, makna integritas adalah bertindak dengan cara yang konsisten dengan apa yang dikatakan.

Bagi orang yang berakal sehat, nilai integritas merupakan kesatuan antara pola pikir, perasaan, ucapan, dan perilaku yang selaras dengan hati nurani dan norma yang berlaku.

Integritas bagi orang berakal sehat diakui menjadi salah satu nilai-nilai dasar pribadi yang harus dimiliki setiap penyelenggara Negara. Makanya, saat akan dilantik, seorang menkes diminta bersumpah di atas kitab suci agama yang dianutnya.

Menteri berintegritas menurut saya bisa seperti mantan Menteri Baharudin Lopa, mengutamakan  “kejujuran”. Lopa eranya, dikenal penyelenggara  lurus hati, konsisten apa yang dikatakan dan yang dilakukan.

Lopa juga berani menegur perbuatan yang tidak jujur. Termasuk patuh pada peraturan yang ada. Sampai akhir hayatnya, Lopa diakui menteri yang tidak curang kelola dana maupun kewenangan, sehingga Lopa disegani kawan dan anak buahnya.

Saya masih ingat pesan almarhum Bharudin Lopa, kecurangan atau ketidakjujuran diawali dengan adanya keserakahan. Lopa merumuskan kecurangan ada kesempatan saat menjabat. Keserakahan disebabkan ada kebutuhan berlebih.

Urusan kecurangan adalah peluang karena pengawasan yang kurang, keinginan yang berlebihan selain memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya.

Saat pembelian vaksin impor, banyak pihak menyoroti praktik mafia vaksin. Sorotan juga datang dari relawan JakMan.

Menurut pengamatan sata  saat pandemic sekarang ini, Negara kita sepertinya dihadapkan pada sebuah situasi yang dilematis. Pada satu sisi, rakyat butuh makan, sisi lain rakyat juga butuh hidup sehat jauh dari serangan covid-19.

Disadari atau tidak, rencana vaksin berbayar sudah beberapa hari ini telah menjadi bagian dari diskusi publik yang sangat menarik. Termasuk menyoal bagaimana penyelenggara negara bersikap, atau bagaimana seharusnya etika pemerintahan di Indonesia diterapkan saat pandemic, saat krisis ekonomi dan kesehatan karena pandemic covid-19.

Baca Juga: Mengapa Gibran dan Bapaknya Diusik Terus

Adalah sesuatu yang wajar, ada tuntutan dari publik terhadap tampilan pemerintahan dan penyelenggara pemerintahan untuk beretika dan melayani semakin tinggi, Antara lain tidak membuat keputusan vaksin berbayar.

Keputusan vaksin berbayar dari Mankes menurut akal sehat saya bagian tak terpisahkan dari  pemahaman tata kelola pemerintahan yang beretika.

Jepang adalah negara yang konsisten menjung tinggi penyelenggaraan pemerintahan yang beretika. Salah satu yang dikenal adalah pejabat yang melanggar kepatutan (etika) memilih melakukan pengunduran diri.

Ada  budaya malu bagi penyelenggara di Jepang. Lalu di Indonesia, apakah masih ada budaya malu bagi penyelenggara Negara yang tidak beretika?

Dalam literatur Jepang, ada  nilai dalam Bushido yaitu Meiyo. Nilai ini adalah menjaga nama baik atau menjaga harga diri dengan memiliki perilaku yang terhormat. Maka, tak heran jika pemimpin Jepang banyak lebih memilih mundur terhormat. Bagaimana dengan etika penyelenggara di Indonesia? Sejauh ini belum ada menteri yang mengundurkan diri, kecuali di reshuffle.

Tetapi saat pemerintahan Soeharto menghadapi krisis ekonomi tahun 1997, ada 14 menteri yang mundur termasuk tokoh politik Akbar Tanjung. Pada waktu itu, para menteri yang ikut dalam pertemuan di Bappenas  sepakat, bahwa penyelesaian Indonesia saat itu adalah  akibat dari krisis ekonomi.

Menurut Akbar Tanjung persoalan krisis Indonesia saat  itu tidak lagi bisa diselesaikan semata-mata dengan pendekatan ekonomi semata. Maka ia bersama 13 menteri menyatakan mengundurkan diri.

Pertanyaan politiknya, sekarang saat terjadi krisis ekonomi karena pandemic, apakah etis ada menteri yang mengambil keputusan berbisnis vaksin oleh sebuah BUMN?. Apalagi gagasan ini atas inisiasi Menkes Budi Gunadi Sadikin dan Menteri BUMN Erick Thohir, Juni 2021.

Logika politik dan hukum yang saya pahami, keputusan vaksin berbayar ini mendekati konspirasi antara Menkes dan Menteri BUMN sebuah konspirasi untuk menjatuhkan kewibawaan Anda. Jadi ini bukan sebuah kelalaian atau kesembronoan dari dua pembantu Anda. Dalam prespektif politik ini bisa dianggap sebuah pengkianatan terhadap Anda. Sebuah pengkianatan dalam pemerintahan adalah kesalahan fatal. Melakukan kesalahan terhadap konstitusi negara.

Akal sehat saya mengatakan pikiran berbisnis vaksin  dari Menkes dan Manteri BUMN melalui Kimia Farma, tidak sejalan dengan prinsip Anda sebagai presiden Indonesia 2019-2024, pada bulan Desember 2020 lalu. Sejak saat itu, Anda sudah wanti wanti jangan membisniskan vaksin dengan rakyat.

Menggunakan tolok ukur menjaga nama baik, harga diri dan perilaku terhormat, adanya keputusan vaksin Berbayar yang telah membuat kegaduhan di negeri berpenduduk 270 juta, alangkah terhormatnya sebelum isu reshuffle benar-benar terjadi, Menkes Budi Gunadi Sadikin, dan Menteri BUMN Erick Thohir, Mundur untuk kebaikan negeri ini dan Budi beserta Erick. ([email protected])

Editor : Raditya Mohammer Khadaffi

BERITA TERBARU