Tingkat Kematian Pasien Covid-19 di IGD Meningkat Tajam

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 30 Jul 2021 21:15 WIB

Tingkat Kematian Pasien Covid-19 di IGD Meningkat Tajam

i

Petugas pemulasaran memakamkan jenazah pasien covid-19. (ilustrasi)

Direktur RSUD Dr Soetomo dr. Joni Wahyuhadi Menilai tak Lazim 

 

Baca Juga: Covid-19 di Indonesia Naik, Ayo Masker Lagi

Selama PPKM Darurat 3-30 Juli 2021, Pasien Covid-19 Meninggal Mencapai 32.771 Kasus 

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Kasus kematian akibat Covid-19 di Indonesia terus meningkat. Padahal dalam sejak awal Juli hingga akhir Juli 2021, hampir di pulau Jawa-Bali, diberlakukan PPKM Darurat. Terlihat dari Jumat (30/7/2021), kasus kematian secara nasional, sudah mencapai 92.311 kasus. Bahkan, sepanjang diberlakukan PPKM Darurat dari tanggal 3-25 Juli 2021, kematian meningkat tajam mencapai 23.745 orang. Sedangkan perpanjangan PPKM 25 Juli hingga 30 Juli 2021 kemarin, berturut-turut Senin (26/7/2021) 1.487 orang, Selasa (27/7/2021) 2.069 orang, Rabu (28/7/2021) ada 1.824 orang, Kamis (29/7/2021) 1.893 orang dan Jumat (30/7/2021) kemarin ada penambahan 1.759 orang. Total dalam seminggu di perpanjangan PPKM Level 4 ini mencapai 9.026 orang. Jadi total selama diberlakukan PPKM Darurat-PPKM Level 3-4, sudah mencapai 32.771 orang.

Bahkan di Jawa Timur sendiri, Jumat kemarin ada penambahan 361 kasus, dan total di Jawa Timur menjadi 20.353 orang. Tingginya kasus kematian Covid-19 ini dikarenakan banyak pasien yang meninggal sebelum dirawat di Rumah Sakit atau yang sedang menjalani isolasi mandiri.

Hal ini diungkap oleh Direktur RSUD dr Soetomo sekaligus Ketua Rumpun Kuratis Satgas Penanganan Covid-19 Jawa Timur, dr Joni Wahyuhadi. Joni mengungkapkan bahwa tingkat kematian atau mortalitas pasien Covid-19 di IGD meningkat tajam. Pasalnya, banyak pasien yang baru tiba di IGD, sudah dalam kondisi yang berat. Ditambah lagi pasien yang datang pun membuat kapasitas IGD membludak.

"Kalau kami melihat data-data, bahwa mortalitas yang tinggi itu terjadi di pelayanan IGD, jadi hal ini menjadi perhatian kami," kata Joni, saat menghadiri Forum Guru Besar Universitas Airlangga, Jumat (30/7/2021).

Ia menambahkan, di rumah sakitnya RSUD dr Soetomo, persentase kematian di IGD bahkan mencapai 22 persen. Jumlah itu, menurutnya tak lazim lantaran beberapa literatur menyebabkan mortalitas di bawah angka itu.

"Total kematian di IGD total sekitar 22 persen dan ini nggak lazim. Kematian intra-hospital rujukan di beberapa literatur kami baca antara 10-12 persen," ucapnya.

Ditambah lagi, kata Joni, tak sedikit pula pasien yang sudah meninggal dunia saat mereka tiba di IGD. Jumlahnya cukup tinggi, mencapai 53 orang pada periode Januari-hingga Juli 2021.

"Pada bulan Mei-Juli terjadi apa yang kami sebut death on arrival, pasien banyak datang di UGD dengan keadaan sudah meninggal. Kalau kami lihat ada 53 pasien mulai Jan-Juli [tanggal' 26 kemarin," paparnya.

Hal ini membuat upaya pihaknya menekan angka kematian di ICU dan HCU, dengan peningkatan kapasitas dan pelayanan, menjadi terhempas.

"Upaya kami pada bulan Juni-Juli rasa-rasanyanya terhempas oleh naiknya high case di RS yang datang ke IGD dengan keadaan desaturasi berat," ujar dia,

Joni mengatakan pihaknya pun langsung melakukan pengembangan kapasitas IGD, dengan dibantu oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan donatur.

"Kami sudah kembangkan IGD dengan triase kami tambah dengan memakai kontainer yang bertekanan negatif disupport oleh donatur, pemprov, sampai 25 bed sehingga antrian IGD yang terjadi pada awal Juli itu bsia kami tangani," kata Joni.

Upaya pengembangan kapasitas itu, kata Joni, telah membuahkan hasil. Hal itu bisa dilihat dari penurunan kasus yang datang di IGD beberapa hari belakangan. RSUD dr Soetomo sendiri saat ini memiliki 520 tempat tidur perawatan ICU dan HCU Covid-19. Jumlah itu akan terus bertambah dengan bantuan Pemprov Jatim dan PUPR.

"Kemudian sedang dikembangkan oleh Ibu Gubernur 200 tempat tidur lagi, kemudian disupport oleh PUPR 27 (bed) ICU yang sedang dibangun, yang Insha Allah minggu depan akan selesai," ucapnya.

 

598 Dokter Meninggal

Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melaporkan sebanyak 598 dokter meninggal terkonfirmasi Covid-19. Jumlah ini merupakan data terbaru per 27 Juli 2021 pukul 23.59 WIB.

Ketua Pelaksana Harian Tim Mitigasi Dokter IDI Mahesa Paranadipa Maikel mengaku pihaknya khawatir angka tersebut akan terus bertambah. Dokter yang meninggal didominasi oleh dokter umum sebanyak 319 orang, 270 spesialis, dan 9 dokter residen. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5 dokter umum dan 29 dokter spesialis merupakan guru besar.

Baca Juga: Gubernur Khofifah Lantik Prof Cita Sebagai Direktur RSUD Dr Soetomo

Mahesa mengaku pihaknya sangat sedih karena harus kehilangan dokter-dokter senior yang menjadi guru, teman, serta dokter-dokter yang lebih muda. "Melihat angka ini sekali lagi kami di kalangan dokter ya tersayatlah hati kami melihat banyaknya guru-guru kami yg harus gugur selama pertarungan melawan pandemi," kata Mahesa.

Mahesa juga menyampaikan bahwa data-data dokter yang gugur dilaporkan setelah melalui pemeriksaan data yang ketat.

Pihaknya harus menghubungi pihak keluarga dan orang-orang terdekat dokter yang meninggal untuk memastikan apakah kematiannya disebabkan Covid-19. "Kami tidak bisa setiap hari memberikan data langsung karena setiap data yang masuk tiap hari harus kami kroscek," jelas Mahesa.

 

Jawa Timur Tertinggi

Selain itu, Mahesa juga memaparkan tingkat kematian dokter dari setiap wilayah. Dari 29 wilayah, Provinsi Jawa Timur menempati urutan pertama dengan jumlah dokter meninggal 127 orang. Kemudian diikuti DKI Jakarta 92 orang, Jawa Tengah 89 orang, Jawa Barat 83 orang, dan Sumatera Utara 41 orang, "Untuk daerah masih Jawa Timur yang jumlah kematian dokternya banyak, sebanyak 127 dokter diikuti oleh DKI Jakarta, Jawa Tengah, jawa Barat, Sumatera Utara," kata Mahesa.

Mahesa menjelaskan, tingginya angka kematian dokter di Jawa Timur berkaitan dengan lonjakan jumlah kasus yang terjadi di wilayah tersebut. Tingkat keterisian rumah sakit di Jawa Timur pun tinggi.

Menurut Mahesa, berdasarkan koordinasi yang dilakukan Tim Mitigasi PB IDI dan IDI Jawa Timur, lonjakan tersebut mengakibatkan beban kerja tenaga kesehatan hingga di luar batas. "Berdasarkan laporan-laporan memang menyebabkan overload beban tenaga medis dan tenaga kesehatan yang harus menangani pasien-pasien Covid-19," terang Mahesa.

Sementara itu, jumlah dokter spesialis yang diturunkan di zona merah tidak banyak. Hal ini karena hanya terdapat beberapa spesialis yang memiliki kondisi aman, baik dari sisi usia maupun komorbid, untuk menangani Covid-19.

Akibatnya, banyak dokter residen atau dokter yang sedang menempuh studi spesialis, ditempatkan di pusat-pusat penanganan Covid-19. "Kita melihat banyak paparan-paparan terjadi, tidak hanya dokter spesialis tapi juga dokter residen. Itu karena overload dari beban pelayanan cukup tinggi," tuturnya.

Di sisi lain, lonjakan kasus ini juga mengakibatkan ruang isolasi menjadi ramai. Meskipun seorang dokter atau tenaga kesehatan telah menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap, pada akhirnya ia tetap terpapar. "Keterpaparan virus itu cukup banyak didapati oleh teman-teman di ruang-ruang isolasi," kata Mahesa.

Baca Juga: Ditinggal Istri Keluar Sebentar, Suami Tewas Bunuh Diri di Dalam Gudang

Selain itu, kata Mahesa, para Nakes mungkin terpapar saat mereka melepas APD. Sebab, ruangan yang digunakan untuk melepas APD tidak dijamin steril dari virus. "Ruang-ruang pembukaan APD juga tidak bisa sepenuhnya bisa steril dari virus. Itu terjadi (infeksi) kemungkinan," tutur Mahesa.

 

Bantah Manipulasi Data

Sementara, terkait adanya ketidakakuratan data Covid-19 di Jawa Timur, langsung dibantah oleh Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.  Bantahan itu setelah Pemprov Jatim dituduh telah memanipulasi data Covid-19 Jatim. Baik itu data tambahan pasien terkonfirmasi positif Covid-19, data tingkat keterisian rumah sakit, maupun data kematian akibat Covid-19.

"Soal data mortalitas, seolah-olah Pemprov (Jatim) ini jadi tertuduh. Atau Gubernur lah sudah," kata Gubernur Khofifah dalam forum Gerakah Aksi Bersama Serentak Tanggulangi (Gebrak) Covid-19 yang diselenggarakan Universitas Airlangga (Unair) secara virtual, Jumat (30/7/2021).

Khofifah menyatakan, bantahan yang disampaikan dalam forum tersebut sama sekali tidak ada nuansa bela diri. Khofifah menjelaskan, dalam sistem pelaporan data Covid-19, tidak ada data apapun yang dilaporkan Pemprov, apalagi gubernur.

Khofifah mengatakan, pelaporan data Covid-1 semuanya dilakukan dari bawah ke atas. Dia mencontohkan, pelaporan kasus positif Covid-19 harian, maka yang melakukan input data adalah pengelola lab ke New-all Record (NAR) Kemenkes.

"Pengelola lab sebagian besar adalah swasta. Tidak ada harus koordinasi pengelola lab dengan gubernur," ujar Khofifah.

Khofifah melanjutkan, begitu pun terkait data tingkat keterisian tempat tidur di RS rujukan Covid-19, yang itu dilaporkan langsung oleh pihak rumah sakit ke hospital online lalu ke NAR Kemenkes. Begitu pun terkait mortalitas atau tingkat kematian pasien Covid-19.

Khofifah mengatakan, data kematian Covid-19 yang dipublikasikan Pemprov Jatim merupakan data yang diperoleh dari masing-masing kabupaten/ kota dan dari Kemenkes. "Lalu dicurigailah kita kong kali kong ibaratnya. Bagaimana saya kong kali kong dengan Kemenkes karena data itu dari pemkab/pemkot kita unggah. Data dari pusat kita unggah. Jadi, tidak ada data dari pemprov," kata Khofifah. ang/arf/ana/cr2/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU