Robohnya Masjid Kami ?

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 05 Nov 2017 23:39 WIB

Robohnya Masjid Kami ?

HAJI Ali Akbar Navis (1924-2003) yang lahir di Kota Padang Panjang (17 November 1924) dan meninggal di Padang (22 Maret 2003), pada tahun 1956 melalui N.V. Nusantara menyodorkan novel apik Robohnya Surau Kami. Anggaplah November 2017 ini sebagai sajadah kenang atas AA Navis yang telah bersedekah Robohnya Surau Kami dengan latar teologis yang menyambung wicara Tuhan dengan Haji Saleh. Novel ini terus menarik minat baca khalayak dan saya sendiri menikmatinya pada edisi yang diterbitkan kelompok top pada tahun 1986 di kala kelas dua Madrasah Tsanawiyah di Lamongan. Haji Saleh ditegur Gus Allah karena hanya sibuk di surau melalui dialog renya dengan meletakkan dasar keseimbangan antara beribadah (sembahyang terus di Surau) dengan beramal (menebar kekayaan dengan bekerja keras) untuk generasi penerus yang mestinya terurus secara harta jua. Semoga pembaca rubrik kontemplasi ini sudi meluang waktu membaca kembali novel tipis Robohnya Surau Kami. Memang novel karya AA Navis itu hari-hari ini harus kucari lagi dengan penuh kesungguhan sehubungan mencuatnya sepenggal kisah yang sedang menghebohkan Surabaya: dirobohkannya Masjid As-Sakinah Balai Pemuda Surabaya. Beragam pihak tersentak dan agenda dadakan diekspresikan oleh warga melalui doa dan tahlil bagi jiwa-jiwa yang mati rasa. Ungkapan jiwa dan perasaan yang telah mati terpotret sengaja dipilih para pegiat yang menuang cinta-imannya atas Masjid As-Sakinah, kupahami sebagai genderang perih yang mengaduk rohani. Masjid As-Sakinah yang menjadi titik simpul pengembaraan di Balai Pemuda itu telah menyulam kenang dan membuncah jiwa-jiwa penjelajah peradaban dari seluruh jengkal nusantara. Maka diksi kata jiwa-jiwa mati terlontar persis setarikan kenangan pada Novel yang mampu membius pembacanya The Dead Souls tulisan sastrawan besar yang lahir di Ukraina (1809) dan meninggal di Moskow (1852), Nikolai Vasilievich Gogol. Sebuah karya sapa yang menukik menghunjam ke lubuk dada dari jiwa-jiwa mati pegawai licik yang ambisius guna memperoleh keuntungan dari manipulasi dan korupsi. Sindiran yang dihantarkan oleh Gogol sangat rapi, humoris tetapi mengundang senyum yang mengiris hati. Senyum yang terasa pahit-getir dan menenggelamkan saling menyapa di antara warga kota. Mengapa warga terkirimi senyum meremehkan karena tidak diajak rembuk perobohan atas mahkota tauhidnya? Apalagi di era good governance yang memberikan ajaran agar rakyat diajak bicara dalam setiap pembuatan kebijakan negara seperti diajarkan di kampus-kampus itu. Okelah .... Saya belajar mengerti atas jiwa-jiwa mati meski tidak mampu mengarungi luasnya samudra citra Kota Pahlawan. Suara para ulama (pemandu jalan kebenaran umat) dan seniman (penjaga kelembutan penggunaan kekuasaan atas warganya) terdengar lirih semata dalam keriuhan Surabaya yang telah memboyong berderet penghargaan nasional dan dunia. Publik acap kali terpesona kota ini yang begitu gempita dalam gemerlap yang memukau. Puja puji disulam bagai zamrud khatulistiwa yang membuat siapa saja dapat menunduk penuh khidmat. Kepemimpinan yang sangat peka dan lincah memainkan peran, sehingga masyarakat internasional dibuat tersipu olehnya. Kami pun membusungkan bangga dan mengerek hormat tinggi-tinggi hingga tak mampu lagi mendongak. Sopo yang tidak terkesima dengan gemulai Kota Surabaya? Saya ngudo-roso, semua terlihat berjajar-jajar terlelap dalam dekapan yang mengurai mimpi-mimpinya di balik gedung-gedung tinggi. Gedung-gedung yang menyemai imaji bagi kota yang aneh dilihat Kang Marhain (warga miskin kota) sendiri. Rumah wakil rakyat Surabaya akan menjulang menjadi tetenger kota yang terwartakan diberi tumbal Masjid As-Sakinah. Ah itu hanya soal rasa. Ikutilah komentar wakilmu yang terhormat, maka engkau akan memiliki pemahaman bahwa Masjid itu memang boleh dirobohkan, dibongkar, dihancurkan, karena akan diganti dengan yang lebih megah. Ayo... sopo yang tidak mau kemegahan, keunikan, keteduhan, kesholehan masjid? Ingat ya ... Masjid lho nanti yang akan menjadi sentrum gedung wakil rakyat, bahkan sedemikian rupa keagungannya masjid itu, kelak akan dijaga sepanjang waktu: atap dan teras masjid jangan sampai kehujanan, kepanasan, bahkan kena semilir angin saja tidak diperkenankan untuk menghindari masuk angin massal jamaahnya. Oleh karenanya, masjid yang ada mesti dirobohkan dan kami akan membangun ulang dengan kelambu ornamen gedung pencakar. Biarlah rumah wakil rakyat itu mengayomi, mewadahi dan sedemikian dekatnya terintip: biarlah gedung itu kelihatan bersetubuh-bersebangunan-bersebadan-bersegedung dengan tempat ibadah itu. Bangunan masjid yang hendak kami persembahkan adalah tempat dimana diserahkannya seluruh jiwa-jiwa peribadatan itu bergumul dalam satu gedung jangkung penyapa kota. Bukankah dengan membuat masjid dalam gedung seperti yang ada di mall-mall Surabaya merupakan wujud manunggale kinerja: yo rapat, yo sholat. Inilah puncak laku makrifat para wakil rakyat. Mengagumkan bukan? Maka kutega-tegakan berucap jangan salah sangka terlebih dahulu tentang robohnya Masjid As-Sakinah. Begitukah pembaca? Hanya tanya yang bisa kuhaturkan di saat kau yang berkantor hebat memang sedang berkuasa, bahkan mungkin juga mengira bahwa kau tidak perlu lagi mendengarkan suara jamaah. Ingatlah bahwa hari-hari ini di November 1945, realisasi semangat Resolusi Jihad (22 Oktober 1945) mempertahankan NKRI yang menjadikan Surabaya Kota Pahlawan, sejatinya bermula dari imam dan jamaah Masjidnya. Perang kemerdekaan bukan digerakkan dari rumah karaoke dan pusat perbelanjaan. Kalau kini rumah di mana Bung Tomo dahulu berpidato di tahun 1945 telah luluh-lantak, dan rumah santri dirobohkan sebelum penghuninya paham serta semuanya terang, benarkah Jasmerah pesan Bung Karno masih boleh diajarkan? ***

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU