Pertobatan Politik

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 04 Jul 2019 08:29 WIB

Pertobatan Politik

Catatan Politik Pasca Putusan MK atas Gugatan Hasil Pilpres 2019 Usai MK memutuskan menolak semua gugatan hasil Pilpres 2019, elite-elite politik pusat dan daerah, mulai menampakkan kepribadiannya. Gugatan ini diajukan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Contoh, PAN, partai besutan profesor ilmu politik, Amien Rais. Sekarang elitenya mulai tarik menarik kepentingan. Misal, Anggota Dewan Kehormatan PAN Dradjad Wibowo dan Waketum PAN Viva Yoga Mauladi, saling mengkritisi. Viva Yoga menyebut Ketum PAN Zulkifli Hasan dan sekitar 30 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PAN bertemu di rumah dinas Ketua MPR Zulkifli di Kompleks Widya Chandra, Senayan, pada 27 Juni dan 30 Juni. Diskusi informal ini dicatat sebagai pertemuan sebelum Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PAN yang rencanaya akan diselenggarakan pada akhir Juli atau awal Agustus mendatang. Agenda diskusi itu mengevaluasi Pemilu 2019 sekaligus membahas soal sikap PAN setelah MK memutuskan menolak semua gugatan hasil Pilpres 2019 yang diajukan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Diskusi ini menghasilkan empat hal. Pertama, mayoritas sepakat PAN harus berbenah diri. Kedua, partai berlambang matahari ini perlu berkonsolidasi. Ketiga, mendampingi masyarakat. Keempat, bersama pemerintahan Jokowi. Menurut Waketum PAN ini mayoritas pengurus wilayah partai lebih menginginkan bersama-sama di pemerintahan Joko Widodo, untuk lima tahun ke depan. Sementara anggota Dewan Kehormatan PAN Dradjad Wibowo menyangsikan pernyataan Viva, ini. "Saya sangat menyangsikan pernyataan Wakil Ketua Umum PAN, karena, jika bertemu secara pribadi, banyak pimpinan DPW yang sejujurnya lebih senang PAN konsisten di luar pemerintahan. Untuk DPD di kota dan kabupaten, malah lebih banyak lagi yang bersikap seperti itu," kata Dradjad Wibowo ketika dimintai konfirmasi, Rabu (3/7/2019). Pernyataan yang sudah dipublikasi ini, tak salah publik mesti menyimak sikap dua eite PAN ini. Termasuk publik yang selama ini masih polos. Publik lugu ini umumnya membela capres jagonya masing-masing tanpa menggunakan akal sehat. Maklum, saya sering menerima pesan di Medsos, ada sejumlah anggota masyarakat pendukung capres Prabowo-Sandi, yang saat kampanye habis-habisan membela paslon yang diusung Partai Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat serta Partai Berkarya. Makanya, saat saya mendengar ada elite pendukung Prabowo-Sandi, yang berikrar akan jihad konstitusional jangka panjang melawan Presiden terpilih, Jokowi-Maruf, saya beristigfar. Saya berpikir elite ini bisa satu dari dua hal, tak ngerti politik praktis di Indonesia atau terlalu polos menjadi pendukung capres tertentu. Bahkan bisa jadi, elite itu punya agenda lain diluar konstelasi pilpres. Misal, dia bagian dari simpatisan ormas HTI, yang status badan hukum organisasi kemasyarakatannya dicabut. *** Praktis, saat kampanye, persaudaraan antar sesama anak bangsa kita nyaris terputus. Ini gara-gara pilihan politik yang berbeda. Saya yang mengamati beberapa aksi demo di Jakarta, saya khawatir rasa permusuhan antar elite dan pendukung dua kubu bisa berkepanjangan. Ada beberapa teman yang memasukkan ke rasa dan hati. Ini yang menggugah saya, benarkah elite politik menjadi pusat kegaduhan?. Walahualam Tak ada salahnya, pasca putusan MK, elite politik yang kalah bertobat. Mereka mesti instrospeksi bahwa momen meraih kekuasaan yang diincar pada tahun 2019, sudah berakhir. Pesan moralnya, elite mau bertobat. Ini agar tidak lagi memperuncing permusuhan, sebagai sesama anak bangsa. Elite yang mau bertobat yaitu `kembali rukun, Apalagi kesalahan dalam urusan politik, tak perlu diperdalam sebagai jihad konstitusional. Mengingat politik itu kepentingan, bukan urusan akidah. Jadi perbedaan dalam memilih saat pilpres lalu mesti dijauhkan dari tudingan kafir dan haram. Elite yang kerap membuat kegaduhan dan suka memanasi-manasi situasi, tak ada ruginya melakukan pertobatan politik. Tobat politik bukan dengan minta ampun pada Allah, tetapi minta ampun pada diri sendiri, karena membuat komentar-komentar yang kerap memanaskan situasi. Salah satu bentuk pertobatan politik adalah mengadakan silahturahmi politik antar elite politik yang berseberangan. Paling tidak meredam emosi publik yang tidak tahu bahwa politik itu bukan permusuhan abadi. Politik itu perebutan kepentingan yang bernama kekuasaan. Dan kekuasaan politik tidak ada yang kekal, karena kekuasaan politik acapkali bisa diselesaikan dengan membahas kepentingan politik dari dua sisi secara simbiosis mutualisme. Maklum, kepentingan politik selalu berputar urusan waktu yang dalam pemilihan presiden di Indonesia berputar setiap lima tahun sekali. *** Sadar atau tidak, elite politik adalah pusat kegaduhan. Akal sehat saya, elite politik yang kalah dan mau bertobat antara lain melakukan instrospeksi bahwa moment meraih kekuasaan tahun 2019, sudah berakhir. Tapi saya masih menemukan pemahaman dari sejumlah pendukung paslon 02 bahwa kecurangan apalagi yang bersifat TSM, meski sudah diputus di MK, masih dianggap tidak dibuktikan. Kesan yang saya serap dari suara di masyarakat, urusan kecurangan pilpres, golongan lain salah. Mereka sepertinya tidak mau melihat kebenaran yang disuarakan golongan lain. Padahal secara filosofis, kecurangan itu tidak dapat dinyatakan secara a priori, apalagi sebagai sebuah kebenaran. Dalam bahasa hukum, tudingan dugaan kecurangan dalam Pilpres wajib dibuktikan secara fair, jujur dan adil melalui sebuah proses hukum. Dalam dunia hukum, pembuktian tudingan kecurangan meski dibebankan kepada pihak yang menganggap atau menuduh adanya kecurangan dalam pilpres 2019. Sebagai sesame warga Negara yang mengerti hukum, adalah majelis hakim MK yang berwenang memutuskan apakah kecurangan yang didalilkan kuasa paslon 02, terbukti secara sah dan meyakinkan atau tidak?. Tentu harus didasarkan alat-alat bukti yang sah sesuai hukum acara yang berlaku di MK. Maka itu, agak mengherankan, setelah putusan MK, ada pihak yang tidak mengakui eksistensi putusan Mahkamah Konstitusi yang substansinya putusan MK mengikat dan bersifat final. Apakah tudingan kecurangan dan permohonan mendiskualifikasi Capres Jokowi-Maruf, didasarkan pada kebencian terhadap Jokowi? Padahal secara de-facto dan de-jure, Jokowi adalah presiden Republik Indonesia. Maka pantaskah setelah putusan MK, elite yang berseberangan dengan paslon 01, terus menyinyiri apapun kebijakan Jokowi. Pasca putusan MK, ada baiknya, para politisi yang selama ini berseberangan dengan Jokowi, untuk bertobat dan berhenti menyebarkan berita hoaks. Termasuk berhenti merusak Indonesia dan bakar persatuan dan kesatuan di Indonesia. Bahasa moralnya, pertobatan politik saat ini mesti sungguh-sungguh dilakukan. Terutama untuk mengakhiri fanatisme kita dalam dukung-mendukung paslon 01 dan 02. Pertobatan politik yang riil adalah harus berhenti untuk saling menyerang satu sama lain. Tentu diawali atas perbedaan pandangan politik. Pertobatan politik yang lebih operasional adalah mari tidak menanamkan fanatisme masing-masing paslon lagi. Mengingat Pilpres 2019 telah berakhir. Pertobatan politik pasca putusan MK, harus membuka pemahaman baru bahwa perbedaan selama ini saatnya dikelola dengan baik, agar berbuntut maslahat dan kebaikan serta keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat Indonesia. Insha Allah. ([email protected])

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU