Perbedaan Rilis Dokter Gugur dari IDI dan Kemenkes, Kontra Produktif

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 10 Sep 2020 22:01 WIB

Perbedaan Rilis Dokter Gugur dari IDI dan Kemenkes, Kontra Produktif

i

Dr. H. Tatang Istiawan

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Enam bulan sejak laporan kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020, kasus Covid-19 di Indonesia sampai awal September (1/09) ini sudah mencapai 174.796 kasus.

Baca Juga: Covid-19 di Indonesia Naik, Ayo Masker Lagi

Dari jumlah tersebut, sebanyak 7.417 orang meninggal dunia. Sementara 125.959 orang dinyatakan pulih. Dan diantara jumlah korban yang meninggal tersebut, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat lebih dari 100 orang berprofesi sebagai dokter. IDI menyebut jumlah itu dialami saat para dokter sedang melawan virus corona jenis baru atau SARS-CoV-2.

Sementara menurut Kemenkes (kementerian Kesehatan) baru 30 dokter yang gugur. Ada selisih yang cukup signifikan. Perbedaan ini menunjukkan antara IDI dan Kemenkes belum ada kerja sama yang baik dalam mengendalikan penyebaran COVID-19. Gejala apa? Apakah kemandirian IDI sebagai anggota profesi kedokteran lebih akurat dalam menyampaikan jumlah dokter yang gugur.

Sebagai orang awam yang tak pernah kuliah di fakultas kedokteran, saya terheran-heran. Apakah pengurus IDI yang mempublikasikan dokter gugur terpapar covid 19 idengan jumlah sebesar itu memiliki tujuan lain?

Akal sehat saya berpikir publikasi IDI semacam ini akan bisa menganggu beban mental dokter lain yang masih bertugas menangani pasien Covid-19? Bukan tidak mungkin ada pengurus IDI memainkan pencitraan yang dinamakan melebih-lebihkan fakta.

Dalam ilmu komunikasi, melebih-lebihkan fakta dapat berimplikasi pada wilayah publik. Artinya masyarakat akan rugi karena tidak mengetahui berita sesungguhnya jumlah dokter yang gugur selama pandemi tetapi diberitakan.

Perbedaan yang sangat jauh antara data dari IDI dan Kemenkes seperti ini, ternyata sampai kini tidak pernah diklarifikasi antara pejabat Kemenkes dan pengurus IDI. Ini bisa makin meresahkan publik, termasuk dokter dan keluarganya.

Apakah dokter gugur yang diumumkan IDI itu termasuk  dokter yang meninggal bukan semua dokter yang sedang menangani pasien Covid-19. Tetapi bisa dokter sepuh yang tidak khusus melayani Covid-19.

Menurut akal sehat saya, membiarkan ada perbedaan jumlah dokter gugur semacam ini dapat merugikan Negara. Salah satunya, karena Negara kehilangan putra-putri terbaik yang dididik belasan tahun menjadi dokter yang handal.

***

Dalam masalah perbedaan data dokter gugur antara IDI dan Kemenkes, politikus PDIP yang juga Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo, juga meragukan kebenaran data Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

 Rahmad mengaku mendapat informasi yang cukup valid dari Kementerian Kesehatan bahwa dokter yang telah gugur hanya 30 orang. Dan bukan 100 seperti yang dikatakan IDI. Makanya ia mempertanyakan sumber data yang sudah terlanjur dirilis IDI.

Pertanyaan besarnya, ada apa dengan kepengurusan IDI sekarang. Mengapa pengurus IDI tidak menjalin kerjasama dengan Kemenkes? terutama terkait data dokter gugur terpapar Covid-19?

Apakah pengurus IDI paham bahwa merilis data dokter gugur terpapar Covid-19 yang berbeda dengan data milik Kemenkes adalah gambaran pekerjaan kontra produktif dari profesi kedokteran.

Menurut akal sehat saya, pekerjaan kontra produktif semacam ini mencerminkan perilaku kerja menyimpang dari pengurus IDI dan pejabat Kemenkes. Adanya rilis perbedaan dokter gugur seperti ini, sadar atau tidak dapat merugikan kredibilitas organisasi IDI dan anggotanya. Selain masyarakat. Mengingat bisa jadi 101 dokter gugur (termasuk Prof Dr. Budiwarsono), tidak semua terpapar Covid-19. Bisa jadi ada dokter sepuh dan dokter sakit komorbid yang meninggal bukan karena Covid-19, tapi terjadi pada saat pandemi. Ada baiknya Menteri kesehatan, Letnan Jenderal TNI (Purn.) Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad, mengundang pengurus IDI untuk klarifikasi data dokter gugur, karena terpapar Covid-19.

Bagaimana bila data yang dikeluarkan IDI ternyata salah? Apakah pengurus IDI berani minta maaf di depan publik. Mengingat, data dokter gugur terlanjur dirilis dan telah menyebar di berbagai media. Apakah pengurus IDI sadar publikasi data yang tidak valid, bisa meresahkan masyarakat. Mengingat, ini terkait profesi dokter yang sangat dibutuhkan masyarakat. Terutama pasien Covid-19.

Baca Juga: Kendari Jadi Tuan Rumah Rakernas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan Istri Dokter Indonesia (IIDI)

Sebagai wartawan yang juga pernah berorganisasi di pers, saya tahu bahwa  Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah satu-satunya organisasi profesi bagi dokter di seluruh wilayah Indonesia. Ini diatur dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004. Berbeda dengan wartawan, kini ada sedikitnya Sembilan organisasi profesi jurnalistik.

Pertanyaannya, apakah pengurus IDI, ingin melebarkan organisasinya berpolitik seperti Boedi Oetomo, yang didirikan oleh Dr. Soetomo, tahun 1908.

Apakah pengurus IDI sekarang ini merasa ‘’disaingi’’ oleh KKI, sebuah organisasi  yang menjadi wadah para dokter dan dokter gigi. Konon Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) didukung penuh oleh Kemenkes.

Sajian data yang dirilis oleh pengurus IDI yang berseberangan dengan data dari Kemenkes, benarkah dipicu keinginan sejumlah pengurus IDI untuk mengembangkan peran-peran strategisnya di pemerintahan?

Peran strategis ini karena ada pengurus IDI, yang merasa para dokter di era demokratisasi tidak cukup hanya menjadi agent of treatment (mengobati orang yang sakit).

Apakah pengurus IDI, mengembangkan peran strategis ini, karena merasa bahwa organisasinya terdiri orang-orang terpelajar atau cendekiawan. Dengan background semacam ini akankah IDI dan anggotanya ingin menjadi agent of change dan agent of development dalam pembangunan bangsa.

Benarkah rilis data dokter gugur karena Covid-19 yang berbeda dengan Kemenkes, bagian dari upaya merevitalisasi peran pengabdianya pada bangsa dan Negara seperti yang dirintis oleh Dr. Soetomo, pendahulu kedokteran Indonesia. Dr. Soetomo adalah pencetus berdirinya gerakan Boedi Oetomo, 20 Mei 1908.

Akal sehat saya tergelitik bertanya benarkah pengurus IDI yang sekarang ingin mewujudkan menjadi organisasi pergerakan seperti Boedi Oetomo?

Baca Juga: Pasca Wamenkumham, Ada Menteri era Jokowi, Dicokot KPK

Bila ada, menurut akal sehat saya, pengurus IDI semacam ini mesti merenung, tantangan IDI sekarang berbeda dengan jaman penjajahan dulu. Kini ada departemen kesehatan (Kemenkes). Tahun 1908, belum ada institusi kesehatan yang mewadahi

Apakah ini buntut dari kepengurusan IDI dan KKI?. Kedua organisasi ini adalah sama-sama wadah berkumpulnya para dokter di Indonesia.

Saya membaca dalam laman resmi masing-masing organisasi ini ada sebuah perbedaan yang membedakan keduanya.

Mengapa urusan rilis kematian dokter yang diduga covid-19, IDI tidak koordinasi dangan Kemenkes. Adakah motif lain dari para dokter yang aktif berorganisasi di IDI, ingin jadi dokter berpolitik dan tidak ingin disaingi oleh KKI, organisasi dokter baru.

Catatan saya dari laman resmi Repository Ilmiah Indonesia pada 1948,  perkumpulan dokter Indonesia yang bernama IDI juga bertekad memfungsikan  sebagai organisasi perjuangan kemerdekaan.

Selain itu IDI berdiri memiliki tujuan untuk memadukan segenap potensi dokter dari seluruh Indonesia. Sekaligus menjaga dan meningkatkan harkat dan martabat. Disamping kehormatan profesi kedokteran, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, serta meningkatkan kesehatan rakyat Indonesia untuk menuju masyarakat sehat dan sejahtera.

Sedangkan KKI,  merupakan suatu badan otonom mandiri, non struktural dan bersifat independen, yang bertanggung jawab kepada Presiden RI. Apakah karena perbedaan ini, IDI merilis angka kematian dokter yang berbeda dengan Kemenkes. Walahualam. ([email protected])

 

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU