Home / Catatan Tatang : Vaksin Nusantara, Produk Anak Bangsa Indonesia (2)

Pandu Riono, Campuri Penelitian Vaksin, Apa Kompetensinya

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 22 Feb 2021 21:52 WIB

Pandu Riono, Campuri Penelitian Vaksin, Apa Kompetensinya

i

Dr. H. Tatang Istiawan.

SURABAYAPAGI, Surabaya - Dokter Pandu Riono, tercatat sebagai dosen Biostatistik Universitas Indonesia (UI). Herannya, ia meminta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, untuk menghentikan vaksin Nusantara demi kepentingan kesehatan masyarakat Indonesia. Pasalnya, vaksin nusantara yang mengandung vaksin dendritik, sebelumnya banyak digunakan untuk terapi kepada pasien kanker yang merupakan terapi yang bersifat individual.

Menurut dr. Pandu Riono, MPH, PhD, untuk imunoterapi kanker bukan karena setiap orang diberi jumlah sel dendritik, tetapi karena setiap orang sel dendritiknya bisa mendapat perlakuan yang berbeda. Dalam hal ini yang disesuaikan adalah perlakuan terhadap sel dendritik tersebut

Baca Juga: Terungkap, Eks Kajari Trenggalek Lulus Mustofa, Putar Balikan Fakta

"Jadi pada imunoterapi kanker sel dendritik tetap diberi antigen, tetapi antigennya bisa dari tumornya dia sendiri. Karena itu sifatnya personal," kata Pandu dalam pernyataan resminya, Sabtu (20/2/2021) lalu.

Pernyataan resminya ini ditayangkan di portal berita JPNN.com dan ternyata mengundang pro dan kontra.

Saya sebagai calon penerima vaksin Nusantara, bertanya apa kompetensi dr. Pandu Riono, mencampuri penelitian vaksin Nusantara. Apalagi saat ini masih uji klinis pertama. Hal yang menggagetkan ia merekomendasi ke Menkes untuk menyetop penelitian uji klinis tahap dua dan tiga.

Permintaan dr. Pandu Riono untuk menyetop penelitian lanjutan vaksin Nusantara, selain soal kompetensi, juga menyimpan sebuah misteri? Adakah ia masih berpikir ilmiah sebagai seorang akademisi? Ataukah sudah terseret dalam perdagangan vaksin Corona? Atau adakah ia tidak suka dengan terobosan teknologi kedokteran yang diinisiasi dr. Terawan Agus Putranto, mantan Kepala RSAD Gatot Subroto Jakarta?

Bukankah ia tercatat di universitasnya sebagai dosen biostatistik di UI, bukan ahli epidemiolog?

Dengan pernyataan tertulis (aktif bukan ditanya pers) ada kesan ia tidak menyadari peran seorang ilmuwan atau sains terhadap penelitian peneliti lain? Seorang dosen memberi opini diluar keahliannya apa Pandu Riono tidak khawatir dirinya dicap pengkianatan seorang akademisi?

Apalagi ia membuat pernyataan resmi? Konsepsi seperti ini bisa ditembak ia memiliki kesengajaan untuk mengganggu kosentrasi para peneliti vaksin nusantara yang umumnya dokter dan peneliti muda? Akal sehat saya, baik dokter, tenaga medis atau peneliti muda adalah anak bangsa yang suka tantangan. Artinya, dr. Terawan, adalah inisiator menciptakan vaksin berbahan sel dendritik ? Terawan, bukan peneliti langsung.

***

Menurut website campus.quipper.com yang saya kutip, peneliti atau scientist adalah sebutan bagi seseorang yang tugas utamanya melakukan penelitian dan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kebanyakan dari penelitian yang dilakukannya bertujuan untuk mencari solusi dari berbagai permasalahan. Misalnya, seorang peneliti bioteknologi akan melakukan penelitian dengan fokus pada struktur dan rekombinasi DNA. Dan hasil penelitiannya bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan produk baru seperti obat-obatan dan bahan makanan.

Demikian halnya pengembangan vaksin, memiliki lima tahap sebelum memasuki masa produksi secara massal.

Dan tahapan paling akhir dari proses panjang itu adalah tahap persetujuan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM). Pertanyaan besarnya, apa motif dan tendensi dr. Pandu Riono, dosen biostatistik berani menyatakan untuk menyetop penelitian vaksin dalam negeri, saat masih uji klinis tahap pertama? Sudahkah ia melakukan penelitian serupa dengan yang dilakukan tim dr. Terawan?

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Prof. Wiku Adisasmito menjelaskan alur pengembangan vaksin dari awal sampai akhir.

Proses awal yang harus dilakukan adalah penelitian dasar. Pada saat penelitian dasar ini peneliti menelusuri mekanisme potensial berdasarkan ilmu yang biasa dipakai (science and bio medical). Dalam penelitian dasar ini hanya fokus meneliti virus, sel-sel yang terkait virus tersebut, dan sel-sel yang diinveksi virus ini dan diperbanyak. Tujuannya untuk melihat sel-sel yang diperbanyak bagaimana reaksinya dan diekstraksi virusnya dalam jumlah lebih banyak.

Pada proses ini telah dimulai pembuatan vaksin dalam jumlah terbatas.

Kemudian dilakukan uji pre-klinis untuk memastikan bahwa vaksin yang dibuat itu diuji dulu dalam sel kemudian dilanjutkan pada hewan untuk melakukan percobaan. Ini sering disebut studi envitro dan envivo.

Dan dalam uji ini, difokuskan untuk mengetahui keamanan apabila diujikan pada manusia.

Pre-klinis ini untuk memastikan vaksin ini aman apabila diujikan pada manusia.

Jadi tahap uji klinis memiliki tiga fase. Fase satu memastikan keamanan dosis pada manusia serta menilai farmaco kinetik dan farmaco dinamik. Ini untuk menentukan dosis aman pada manusia. Fase dua melakukan studi pada manusia biasa dengan jumlah sampel 100 sampai 500 orang. Studi ini untuk memastikan dan menilai keamanan pada manusia. Terkait ketercapaian efektivitas dan rentan dosis optimal. Uji klinis tahap dua ini juga untuk mengetahui frekuensi pemberian dosis paling optimal dan efek samping jangka pendeknya. Setelah lolos uji klinis kedua, masuk fase tiga dengan uji sampel 1.000 orang sampai 5.000. Dengan jumlah sampel yang lebih banyak terhadap orang untuk memastikan keamanan, efektivitas, dab keuntungan. Utamanya melebihi risiko penggunaan pada populasi yang lebih besar.

Baca Juga: CEPI dan Bio Farma Berkolaborasi untuk Dorong Percepatan Produksi Vaksin

Secara ilmiah, apabila uji klinis fase tiga ini tuntas dan hasilnya memuaskan, maka akan masuk fase persetujuan. Dan persetujuan datang dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM).

Baru memasuki proses persetujuan. Setelah semua proses dilakukan dilanjutkan dengan pembuatan vaksin dalam jumlah besar.

Pertanyaan akal sehatnya, ada apa dengan Pandu Riono, yang tidak menanyakan lebih dulu ke inisiator vaksin, ujug-ujug minta menghentikan vaksin Nusantara kepada Menkes Budi Sadikin.

***

Saya bukan epidermiolog dan bioStatistik. Juga bukan dokter dan lulusan farmasi. Saya hanya seorang pembelajar biasa. Selain, saya adalah salah satu calon penerima vaksin covid-19 yang bimbang atas efektivitas vaksin Sinovac, yang uji klinis 1 dan 2, belum terpublikasikan. Apalagi sejak awal Februari, saya membaca dari berbagai media cetak di California dan Inggris. Atas pemberian vaksin Moderna, otoritas di California menghentikan pemberian vaksin akibat kemungkinan terjadinya reaksi alergi.

Juga vaksin covid-19 dari Pfizer yang dipakai pemerintah Inggris, ternyata memunculkan kasus alergi terhadap penerima vaksin gelombang pertama. Akhirnya dihentikan sementara.

Nah, dengan pengalaman empirik di California dan Inggris, membuktikan vaksin buatan Amerika Serikat dan Inggris, telah menimbulkan efek samping setelah di suntikan.

Apakah seorang biostatistik seperti dr. Pandu Riono, tidak melihat kejadian itu sebagai realita sosial yang merugikan rasa kemanusiaan?.

Dilansir dari laman staff.ui.ad, dr. Pandu Riono, adalah staf senior di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Departemen Biostatistik dan Kependudukan Universitas Indonesia. Bukan Epidemiolog kesehatan.

Epidemiolog adalah salah satu profesi yang bernaung di bawah Kementerian Kesehatan RI Berdasar Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 17/KEP/M.PAN/11/2000 tentang Jabatan Fungsional Epidemiolog Kesehatan.

Sementara dr. Pandu Riono, merupakan lulusan dari Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, yang menerima gelar Magister Biostatistik dari University of Pittsburgh.

Baca Juga: Dader Intelektualnya Eks Bupati Trenggalek Drs Soeharto

Sebagai seorang ahli biostatistik tugas dr. Pandu Riono, adalah mengembangkan dan menerapkan teori dan metode biostatistik untuk mempelajari ilmu sains.

Termasuk menarik kesimpulan atau membuat prediksi berdasarkan ringkasan data dan analisis statistik.

Mendesain penelitian yang bekerjasama dengan dokter, ilmuwan sains, atau profesional lainnya. Termasuk menganalisa data klinis atau survei dengan menggunakan pendekatan statistik, seperti analisis longitudinal, pemodelan mixed effect, analisis regresi logistik, dan teknik pembentukan model.

Ahli biostatistik juga menyediakan konsultasi biostatistik kepada klien dan kolega.

Selain menulis proposal atau aplikasi permohonan penelitian untuk diserahkan kepada badan eksternal.

Bahkan sekarang dr. Pandu Riono, mengkhususkan diri dalam pemodelan matematika HIV / AIDS, TB, IMS, HepB / C dan Jaringan Risiko Seksual untuk HIV dan IMS. Disamping Jaringan Risiko lain untuk Penyakit Menular yang Muncul. Karena minat ilmunya dalam Statistik Bayesian, ia juga berurusan dengan masalah epidemiologi.

Urusan ini secara kelembagaan ia bukan epidemiolog seperti Epidemiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr. Windhu Purnomo, dr., MS, Ahli Pandemi dan Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, dan Ahli Epidemiologi FKM UI Syahrizal Syarif.

Epidemiolog ini mempunyai persatuan profesi yang berdiri sejak tahun 1989. Persatuan ini bernama PAEI (Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia). Hasil pencarian saya di google, nama dr. Pandu Riono, tidak ditemukan.

Bahkan dr. Pandu terdaftar di Departemen Biostatistik dan Kependudukan. Ilmu biostatistik meliputi 3 bidang yaitu Keilmuan Biostatistika, Keilmuan Informatika Kesehatan, dan Keilmuan Kependudukan. Tidak ada ilmu Epidemiologi.

Dengan data dan informasi yang saya temukan, dr. Pandu Riono yang ternyata seorang ahli biostatistik, tapi menyebut epidemiolog, ia bisa dilaporkan ke Mabes Polri dengan dugaan menyampaikan berita bohong yang membuat gaduh peneliti vaksin Indonesia bernama vaksin Nusantara. ([email protected], bersambung)

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU