Orang-orang Indonesia yang tak Paham Vaksin

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 17 Mei 2021 22:45 WIB

Orang-orang Indonesia yang tak Paham Vaksin

i

Dr. H. Tatang Istiawan

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Minggu lalu (16/5/2021) saya bertemu dengan seorang pensiunan Pemkab Sidoarjo. Ia baru dua minggu jalani vaksin AstraZeneca. Ia tidak tahu vaksin yang masuk ke tubuhnya melalui lengan kirinya diproduksi oleh Universitas Oxford, Inggris, non jauh dari Sidoarjo.

Baca Juga: CEPI dan Bio Farma Berkolaborasi untuk Dorong Percepatan Produksi Vaksin

Lima hari setelah menjalani vaksin, lengannya sakit. Badannya demam. Perutnya mual-mual selama dua hari. Ia pasrah, antara hidup atau mati. Makanya, ia kebingungan dengan rencana vaksin kedua tanggal 29 Juli mendatang. Juga dengan merek AstraZeneca.

Pria berusia 64 tahun ini tidak mau tahu perbedaan antara vaksin Sinovac dengan AstraZeneca.

Juga tidak ingin tahu kegunaan vaksin covid-19. Baginya, vaksin ini order dari RT rumahnya. Ia ikuti karena gratis. Bila bayar, pria yang tubuhnya penuh tato ini pasti menolak di vaksin.

Banyak tetangga rumah di kawasan Bungurasih, Waru Sidoarjo, yang seusia dengannya tak mau di vaksin.

Saking banyaknya warga tak vaksin, RT rumahnya bingung, terkait kuota. Akhirnya vaksin diobral.

Warga usia muda yang tak terdaftar vaksinasi, digiring ke Puskesmas. Pertanyaan yang timbul dari warga usia tua kampung Bungurasih, benarkah vaksin yang disuntikan ke tubuhnya dapat melindungi serangan Corona? Berapa lama perlindungannya? Siapa yang memberi jaminan?

Sebab dokter dan perawat di Puskesmas yang menangani vaksinasi ke warga, mengaku hanya menjalankan tugas dari pemerintah.

Makanya termasuk dokter puskesmas tak mau dimintai jaminan keselamatan usai vaksin oleh warga Bungurasih.

Saya sarankan pensiunan ini bertanya ke dokter Puskesmas tentang manfaat vaksin covid-19?  

Pegawai eks kantor kecamatan ini memilih pasrah. Mati setelah di vaksin ia anggap takdir. Baginya, Covid-19 ini dianggapnya ada dan tidak ada. Maklum, sebagian tetangganya bilang covid-19 itu buatan manusia bukan pandemi. Makanya mereka tak percaya vaksin berguna untuk orang-orang tua.

Apalagi kini muncul kabar ada warga Jakarta usai penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca meninggal. Bahkan tetangganya yang seorang dokter memberi kabar

usai di vaksin AstraZeneca terjadi pembentukan gumpalan darah pada beberapa orang yang telah menerima vaksin tersebut.

Makanya, negara Bulgaria, menangguhkan penyuntikan vaksin Covid-19 AstraZeneca pada 12 Maret.

Meski demikian, organisasi Kesehatan Dunia (WHO)  menekankan bahwa tidak ada alasan untuk berhenti memberikan vaksin COVID-19 dari AstraZeneca kepada orang-orang.

Reaksi WHO ini muncul setelah beberapa negara Eropa menangguhkan penggunaan vaksin COVID-19 AstraZeneca.

Mendapat kabar dari dokter tetangganya, pria ini menghubungi Puskesmas, minta namanya dicoret dari daftar suntik vaksin tahap kedua.

 

Baca Juga: Dader Intelektualnya Eks Bupati Trenggalek Drs Soeharto

***

 

Senin (17/5/2021) siang kemarin, saya bertemu seorang wiraswasta asal Darmo Baru di sebuah kafe daerah Mayjen Sungkono Surabaya.

Pria seusia 65 tahun ini sudah mengikuti program vaksin Sinovac sampai suntikan kedua. Ia bertanya apakah mungkin seperti dirinya tertular virus corona setelah divaksinasi?

Pria ini bertanya kepada saya yang bukan dokter, karena beberapa alasan.

Pertama adalah perlindungan yang ditawarkan oleh kebanyakan vaksin tidak berlaku sampai dua atau tiga minggu setelah menerima dosis pertama.

Saya sampaikan pesan Dr Julian Tang, ahli virologi di Universitas Leicester, di Inggris, kepada BBC.

"Jika Anda terpapar virus sehari atau seminggu setelah suntikan, Anda masih rentan terhadap infeksi dan Anda dapat menularkan virus ke orang lain," jelas Dr Julian Tang. Pria itu mengangkat bahu sambil mengernyitkan dahi.

Soal efek samping vaksin Sinovac dan AstraZeneca di Indonesia, saya teringat  sosok Dr Ugur Sahin, warga Jerman keturunan Turki. Ia  dijuluki penemu vaksin keturunan Turki. Ia bersama dengan istrinya Oezlem Tuereci, adalah penemu pertama vaksin covid-19 di dunia.  Kini ia ikut memiliki BioNTech yang sekarang bernilai USD24 miliar.

Menurut surat kabar Jerman Welt am Sonntag, berkat BioNtech mereka berdua kini berada di antara 100 orang terkaya di Jerman. Sahin mendirikan BioNTech pada 2008, dengan dukungan dari miliarder Jerman bersaudara Thomas dan Andreas Struengmann.

Baca Juga: Ratusan Anggota DPC PERADI Sidoarjo Antusias Ikuti Gelar Bakti Kesehatan Vaksinasi Covid-19

Siapa Sahin? Pria yang kini berusia 55 tahun adalah putra seorang imigran Muslim Turki yang bekerja di pabrik Ford di Cologne, Jerman.

Sahin telah mengerjakan teknologi mRNA bersama istrinya Tureci selama lebih dari 25 tahun. Pasangan ini menjual perusahaan pertama mereka, Ganymed Pharmaceuticals AG seharga 1,66 miliar dolar pada 2016.

Kemudian mereka memulai BioNTech yang nilai pasarnya di NASDAQ telah melonjak menjadi 21 miliar dolar dari 4,6 miliar dolar tahun sebelumnya.

Setelah BioNTech bekerja sama dengan Pfizer untuk mengembangkan vaksin flu baru. Ini terjadi ketika Covid-19 muncul di China. Saat epidemi berkecamuk di China, menjadikannya tempat yang baik untuk mengadakan uji coba vaksin. Sahin membuat kesepakatan dengan Shanghai Fosun Pharmaceutical Co, Ltd. untuk menguji kandidat di sana.

China segera kehilangan daya tariknya sebagai tempat pengujian vaksin potensial karena kemajuan negara dalam menangani virus. Hal itu mendorong  Sahin ke Dr Kathrin Jansen, Kepala Penelitian Vaksin Pfizer, untuk menyarankan kemitraan baru dalam menguji vaksin Covid-19 di Amerika Serikat.

Saat itu Jansen tidak ragu-ragu.  Sahin menawarkan untuk membagi sisa biaya pengembangan serta keuntungan di tengah. Dan Jansen menerimanya. Lalu  kedua perusahaan mulai mengerjakan proyek bahkan sebelum menandatangani kontrak. Pfizer mengatakan, Jansen pada prinsipnya setuju untuk bekerja dengan BioNTech.

Warga Indonesia termasuk sasaran produk vaksin dari luar negeri. Peluang mengembangkan vaksin dalam negeri tertutup,  karena semangat kolaborasi yang diajukan Sahin tidak ditanggapi baik oleh pemilik modal di Indonesia. Bahkan melalui BPOM, otoritas Indonesia menghentikan penelitian vaksin personal berbasis sel dendritik (dendritic cell) dengan nama vaksin Nusantara.

Bangsa Indonesia yang pintar-pintar tampaknya masih tidak bisa menangkap peluang bisnis vaksin seperti orang Jerman dan Amerika Serikat.

Bisnis vaksin tidak bisa sendirian. Vaksin adalah produk kemanusiaan yang membutuhkan semangat berkolaborasi, bukan kesendirian. Sayang. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU