Jual Beli Data, (Masih) Marak

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 29 Jul 2019 03:40 WIB

Jual Beli Data, (Masih) Marak

"Tahun 2012 pernah menangani saat saya jadi Wakasat. Modusnya ya untuk pengajuan kartu kredit fiktif. Tahun 2017 juga modus serupa dilakukan untuk memuluskan pengajuan kartu kredit," Praktik Jual Beli Data NIK, e-KTP dan KK yang Terbongkar di Grup Media Sosial tak Hanya di Jakarta. Di Surabaya, Data yang Dibisniskan secara Ilegal itu Digunakan untuk Penawaran Produk Bank hingga Penipuan Firman Rachman-Miftahul Ilmi Tim Wartawan Surabaya Pagi Praktik jual beli data identitas seperti Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) dan Kartu Keluarga (KK) kembali mencuat dan ramai diperbincangkan netizen. Banyak yang resah karena data yang tersebar dan diperjualbelikan itu berpotensi disalahgunakan untuk tindak kejahatan. Apalagi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah memberikan akses data kependudukan kepada 1.227 lembaga bagi pemerintahan maupun swasta. Lalu, bagaimana dengan kasus di Surabaya? ------- Minggu (28/7/2019) sore, Surabaya Pagi menemui seorang marketing kartu kredit salah satu bank ternama di Indonesia. Pria 38 tahun yang mengenalkan dirinya sebagai Syarizal itu sudah hampir lima tahun bekerja sebagai marketing kartu kredit di bank tersebut. Kepada Surabaya Pagi, Syahrizal mengatakan jika dirinya mendapat target nasabah hingga 30 orang perbulannya. Jika kurang dari target, maka ada evaluasi. Jika lebih dari target, tentu saja ia mendapat komisi dengan besaran relatif. "Ya ditegur mas, target aplikan yang di-acc (disetjui) ada minimalnya. Kalau di bawah itu tentu pengaruhnya sama gaji. Bukan itu saja, marketing bakal ditegur habis-habisan," katanya. Di bank tempatnya bekerja, gaji Syahrizal ditentukan oleh banyaknya jumlah aplikan yang mendapat persetujuan kartu kredit. Untuk target 30 orang nasabah, pendapatan yang ia terima Rp 6 juta sampai Rp 8 juta. Jika antara 21 sampai 30 orang, berkisar Rp 4-5 juta. Jika di bawah 21 orang, pendapatan yang diberikan hanya Rp 2 juta 3 juta. Sulitnya mencari nasabah yang prospek tembus persetujuan, membuat para marketing ini terus memburu data nasabah sebanyak-banyaknya. Berbagai cara pun dilakukan. Mulai pameran di mall-mall, kunjungan prospek ke kantor atau instansi hingga membeli atau bertukar data baik secara offline maupun online. Hal itu tak ditampik oleh Syahrizal. Ia menyebut jika pertukaran data di kalangan marketing memang lumrah dilakukan. Sebab, ia menyebut jika data calon nasabah menjadi sangat penting, mengingat gajinya bergantung pada data tersebut. "Iya itu penting sekali mas. Nasabah itu kan milih-milih produk,ada yang cocok sama bank saya ada yang cocok sama bank teman saya. Jadi biasa kalau tukar data itu," tambahnya. Data-data tersebut diakui Syahrizal didapat dari door to door oleh dan antar marketing. Ada pula yang memperjual belikannya. Mereka menamakan penyedia jasa data calon nasabah sebagai broker data. Namun, Syahrizal enggan menyebut siapa dan dimana lokasi broker itu. "Yang pasti di Surabaya ada, kisaran harga Rp 200 ribu per seribu identitas. KTP, KK dan Nomor telepon juga lengkap mas. Biasa via email," tambahnya. **foto** Untuk Penipuan Sementara itu, Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya, AKBP Sudamiran menyebut, kejahatan jual beli data identitas ilegal pernah ditangani Polrestabes Surabaya sebanyak dua kali. Tercatat saat 2012 dan 2017. Kebanyakan, jual beli data itu dilakukan oleh para pelaku untuk melakukan tindak pidana penipuan dengan modus pengajuan aplikasi kredit perbankan. "Tahun 2012 pernah menangani saat saya jadi Wakasat. Modusnya ya untuk pengajuan kartu kredit fiktif. Tahun 2017 juga modus serupa dilakukan untuk memuluskan pengajuan kartu kredit. Setelah jadi semua tidak dibayarkan," beber Sudamiran, Minggu (28/7) kemarin. Intensitas kejahatan jual-beli data memang tidak sebanyak kejahatan konvensional semacam curat, curas dan curanmor. Hingga saat ini, polisi juga belum mendapati laporan adanya korban atau kerugian yang diakibatkan dari proses jual-beli data secara ilegal tersebut. "Sejauh ini belum ada, sejak e-KTP diberlakukan," tandas Sudamiran. Viral di Medsos Sebelumnya, media sosial tengah diramaikan dengan unggahan yang mengungkap adanya transaksi jual beli data Nomor Induk Kependudukan (NIK) e-KTP dan Kartu Keluarga (KK) secara ilegal di Facebook. Hal ini ditulis oleh akun Twitter bernama @hendralm. "Ternyata ada ya yang memperjual belikan data NIK + KK. Dan parahnya lagi ada yang punya sampe jutaan data. Gila gila gila," tulis @hendralm. Tak hanya itu, @hendralm juga membeberkan adanya akun Facebook yang memiliki data NIK + KK sebanyak satu kecamatan. Hendra juga mencantumkan beberapa tangkapan layar yang memperlihatkan oknum-oknum pengguna Facebook melakukan transaksi jual beli data NIK dan KTP di grup Facebook tersebut. Dihubungi terpisah, pemilik akun yang bernama asli Hendra Hendrawan ini menjelaskan asal mula dirinya mengetahui adanya grup Facebook ini. "Awalnya saya menemukan grup ini dari temen Facebook saya yang update status di bulan Februari lalu. Dia update kena tipu sama anggota grup itu. Nah saya iseng join grup ini," jelas Hendra, Sabtu (27/7). Diketahui, teman Hendra yang tidak disebutkan namanya itu melakukan transaksi membeli tiket pesawat rute Medan-Jogja melalui grup Facebook DREAM MARKET OFFICIAL. Teman Hendra dijanjikan harga tiket lebih murah setengah harga dari e-commerce namun setelah pembayaran dilakukan, oknum penjual tersebut hilang tanpa jejak. Karena hal itu, Hendra pun memutuskan untuk bergabung dengan grup ini. Saat bergabung, awalnya Hendra tidak memerhatikan apa isi dari grup Facebook tersebut, hingga akhirnya ia menemukan status yang mencari data NIK dan KK di grup tersebut. Setelah ditelusuri, ternyata isi dari grup tersebut banyak yang menjual data NIK dan KK. Tak hanya itu, Hendra juga mengungkapkan ada banyak transaksi jual beli yang mencurigakan selain NIK dan KK. "Selain jual KK + KTP, ada yang jual tiket pesawat, hotel, akun cc (credit card) luar negeri, akun amazon, akun traveloka, akun akulaku, akun Ovo Premiere," beber Hendra. Berdasarkan pantauan Hendra di grup Facebook itu pun ia menemukan bahwa ada oknum yang sengaja mencari data KK dan juga foto selfie KTP untuk membuat akun Playlater baru. Menurut Hendra, akun Paylater yang di-approve menggunakan data ilegal itu nantinya dipakai sendiri dan juga ada yang dijual kembali. Setelah unggahan Hendra Hendrawan viral di Twitter, nama grup Facebook tersebut kemudian berganti dari DREAM MARKET OFFICIAL menjadi JUAL BELI ALL GAME. Tak hanya itu, Hendra juga di-block dan dikeluarkan dari grup tersebut. Direspon Kemendagri Sementara itu, Kemendagri mengimbau masyarakat jangan mudah mengunggah data kependudukan, seperti e-KTP, KK atau Kartu Identitas Anak (KIA) ke media sosial. Sebab data itu akan muncul dalam mesin pencari Google, sehingga mudah disalahgunakan bahkan diperjualbelikan. "Banyaknya gambar KTP-el dan KK yang tersebar di Google juga menjadi celah bagi oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kejahatan," kata Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh, kemarin. Pernyataan Zudan menanggapi praktik jual beli data NIK, e-KTP dan KK oleh sebuah grup tertutup Dream Market Official yang viral. Selama ini, kata Zudan, banyak sekali data dan gambar KTP-el serta KK berseliweran di Medsos dan laman pencarian Google. Ia mencontohkan dengan mengetik ketik KTP elektronik di Google, dalam sekedipan mata (0,46 detik) muncul 8.750.000 data dan gambar KTP elektronik yang gambarnya tidak diblur. Data itu terpampang atau terbaca dengan jelas. Begitu juga ketika ketik clue Kartu Keluarga di google, maka dalam waktu 0,56 detik muncul tak kurang 38.700.000 hasil data dan gambar KK. Bahkan, lanjut Zudan, masyarakat pun dengan enteng menyerahkan copy KTP-el, KK untuk suatu keperluan, seperti mengurus SIM dan lainnya melalui biro jasa. "Data KTP-el dan Nomor HP kita itu sudah kita sebarluaskan sendiri saat masuk hotel, perkantoran, dan lain-lain. Tak ada jaminan data tadi aman tidak dibagikan ke pihak lain sehingga muncul banyak penipuan," ungkapnya. Begitu juga ketka mengisi ulang pulsa di konter atau warung kerap diminta menulis sendiri nomor HP di sebuah buku. Data Nomor HP di buku tadi ternyata laku dijual dan ada pembelinya. "Jadi saya pastikan data kependudukan yang dijualbelikan itu bukan berasal dari Dukcapil. Saya juga ingin memastikan bahwa data NIK serta KK tersimpan aman di data base Dukcapil dan tidak bocor seperti dugaan masyarakat," tandas Zudan. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU