Eri Cahyadi Dipasangkan Cawawali yang Diduga Pernah Mencla-mencle

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 02 Sep 2020 22:12 WIB

Eri Cahyadi Dipasangkan Cawawali yang Diduga Pernah Mencla-mencle

i

Dr. H. Tatang Istiawan

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Pengumuman Cawali dan Cawawali PDIP untuk Pilkada Surabaya, 2020, Senin kemarin (2/09) telah disampaikan Puan Maharani, atas nama Megawati, Ketua Umum DPP PDIP Megawati.

Baca Juga: DSDABM Kota Surabaya Akan Segera Tuntaskan 245 Titik Banjir di Surabaya

Ternyata, Eri Cahyadi dan Ir. Armudji, yang direkomendasi oleh Ketua Umum DPP PDIP Megawati, bukan Whisnu Sakti Buana.

Rekomendasi ini menuai pro-kontra di kalangan kader PDIP di Surabaya. Mengingat, Eri, bukan kader PDIP. Berbeda dengan Whisnu Sakti. Makanya, usai pengumuman siang kemarin, beberapa simpatisan Whisnu, ada yang marah dan kecewa, lalu ngamuk tanpa merusak di luar gedung DPD PDIP Surabaya.

Dengan rekomendasi ini, suka atau tidak suka, pertarungan antar faksi di tubuh PDIP, menurut informasi sore kemarin, bukan malah berakhir. Tetapi bisa makin menyulut api ketegangan. Terutama faksi Tri Rismaharini dengan Whisnu Sakti Buana.

Bisa ditebak, pengumuman melalui daring ini menyakitkan faksi Whisnu Sakti Buana. Secara kejiwaan, bila saya berempati terhadap suasana batin Whisnu, ada perasaan kecewa, jengkel dan terpukul. Maklum, ia adalah kader PDIP sesungguhnya, bukan Eri Cahyadi. Justru Armudji, yang dikenal kader, ditaruh menjadi orang nomor dua dalam pencalonan pilwali Surabaya 2020 kali ini. Padahal Armudji, dikenal politisi senior di PDIP.

Strategi dan taktik apa yang digunakan Risma, mengusulkan Armudji, menjadi wakil jagoannya di pilkada Surabaya?. Hanya ibu Fuad Benardi, yang tahu.

 

***

Ternyata, baik Eri maupun Armudji, pernah bertemu saya. Eri, datang ke kantor redaksi Surabaya Pagi, saat masih berkantor di Jl. Raya Gubeng Kertajaya. Saat itu Eri, memperkenalkan diri pejabat baru di Pemkot yang dipercaya Wali kota Risma.

Dengan Armudji, terakhir saya jagongan di lobi hotel Novotel Ngagel. Pertemuan dengan Armudji, ini terjadi sekitar bulan Mei 2020 lalu.

Dalam pandangan saya, dua orang ini pasangan gado-gado. Eri, birokrat yang berpenampilan tenang dan masih muda. Armudji, adalah politisi gaek yang sempat galau saat awal awal pandemi corona.

Cak Ji, panggilan akrab Ir. Armudji, bukan galau karena corona, tapi ia digoyang rekan-rekan separtainya, sehingga menyatakan mundur dari pencalonan wawali mendampingi Eri Cahyadi.

Nah gonjang-ganjing kemundurannya sebagai cawawali Eri Cahyadi, hampir dicatat oleh banyak wartawan politik yang mangkal di DPRD Surabaya dan Jawa Timur.

Tapi Armudji, saat ketemu saya di lobi Novotel Hotel, mengakui minta mundur, karena desakan dari seorang kader di DPC PDIP Surabaya.

Saat itu, saya sarankan, Armudji jangan mundur. Ini melihat peta politik di internal PDIP Surabaya, yang belum ada kader PDIP maupun pengurus yang dekat dengan Risma. Apalagi dipercaya Risma. Termasuk Armudji sendiri mengaku kesulitan berkomunikasi dengan Risma.

Saran saya, sebaiknya Armudji, menganulir isu mundur. Saya bilang, Eri Cahyadi, kesulitan mencari kader PDIP yang bisa diajak berkolaborasi untuk proses rekomendasi ke Megawati. Terutama kesepahaman dengan Risma.

Saat itu, siang menjelang sore, Armudji, yang memakai kaos Persebaya dan bersandal japit, tetapi naik mobil sedan camry warna hitam terbaru, tidak mengiyakan atau menolak saran saya untuk tetap maju menjadi cawawali Eri Cahyadi.

Sambil duduk di kursi lobi hotel, Armudji menunjukan surat pengunduran diri melalui Deskripsi

WhatsApp Messengernya. Dalam hati saya, Armudji, saat itu bimbang, antara benar-benar mau mundur atau tidak?. Sikapnya yang bila ia tidak mundur berarti ia bisa dituding plin-plan atau mencla-mencle. Padahal ia adalah penyelenggara Negara yaitu anggota DPRD Provinsi Jatim.

Bagi saya, ia tetap mundur atau tidak, bukan urusan saya. Saat itu, saya hanya memberi saran untuk kebaikan.

Baca Juga: Wali Kota Surabaya Minta Surveyor Gali Informasi untuk Atasi Kemiskinan

Plin-plan Armudji semacam ini, bukan sekali ini. Saat ia melempar isu bahwa ada anak pejabat di Pemkot terlibat pengurusan ijin proyek di Jl. Raya Gubeng, yang menyebabkan jalan disana ambles.

Ini terjadi saat ia masih menjadi ketua DPRD Surabaya. Anehnya, setelah ribut, wartawan mengklarifikasi lagi padanya tentang nama anak pejabat Pemkot yang terlibat pengurusan izin. Dan Armudji, menghindar untuk menjawab. Wartawan yang bertugas di DPRD Surabaya, kecewa, karena Armudji dianggap mencla-mencle.

 

***

 

Kata mencla-mencle menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak dapat dipercaya.

Tapi Mencla-menlce dianggap suatu keputusan dari seseorang. Bisa merupakan keputusan yang tidak terduga dan tanpa mempertimbangkan konsekuensi operasionalnya.

Tapi bagi kalangan professional, sikap mencla-mencle bisa jadi sebuah keputusan yang bimbang dalam menyelesaikan suatu masalah.

Didalam keputusan mencla-mencle, ada value seseorang. Nah, terkadang, sasaran jangka pendek lebih mendesak untuk mengambil keputusan yang berubah-ubah.

Dalam pergaulan antar manusia, keputusan mencla-mencle terkait dengan penghayatan nilai integritas. Dan ini sebuah ujian moralitas manusia.

Akal sehat saya berkata orang yang gampang berubah-ubah bisa memunculkan pertanyaan adakah jalan yang bisa menyeimbangkan antara kekuatan menjaga nilai-nilai intigritas dan sebuah target jangka pendek? Apa yang harus diutamakan? Apakah seseorang itu harus menghalalkan semua cara demi terlaksananya target. Atau menjaga komitmen dan nilai-nilai individu dengan segala konsekuensinya?

Baca Juga: PDIP Surabaya Siapkan 16.334 Saksi di Pemilu 2024

Menurut akal sehat saya, nilai intigritas setiap individu kadang terlihat pada saat-saat mengalami kegentingan. Ini karena individu yang mesti bertanya dan menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah pilihan saya perlu sampai benar-benar sempurna atau cukup 60-80 persen saja? Apakah saya harus menuntaskan komunikasi dengan teman seorganisasi terkait sebelum membuat keputusan mundur dari pencalonan dengan Eri Cahyadi yang saat itu masih pra-operasional sosialisasi?

Apakah saya memiliki komitmen dengan pihak lain diluar Eri Cahyadi?

Atau saya harus berjuang menjaga komitmen dengan Eri Cahyadi, katakan saat itu Risma belum menyetujuinya? Apalagi diinformasikan saat Armudji menyatakan mundur, ada sejumlah sandungan di internal partainya?

Pengalaman berorganisasi saya selama 34 tahun, insting, pengetahuan dan nilai moral dalam diri yang mendasari keputusan-keputusan dalam segala hal.

Ini karena, keputusan dan perilaku seseorang bukan hasil pergumulan batin dalam semalam.

Ini karena seseorang dituntut untuk membuat keputusan berbagai langkah sepanjang hidup. Di sinilah teruji kekuatan mental seseorang untuk menjaga nilai-nilai dirinya, terutama nilai integritasnya.

Literatur yang saya baca, ada ahli yang menyebut mencla-mencle sebagai incongruence between what is said and done.

Ini pengetahuan dan pengalaman saya saat mengikuti pramuka. Pembina pramuka saya mengingatkan individu dinilai dari tindakannya, bukan bicaranya. Apalagi alasannya. Ini karena seseorang bisa saja memahami kesulitannya, tetapi akan tetap menganggap bahwa pilihan sikapnya kurang baik, manakala ia hanya mengutamakan kepentingannya dan menjilat ludahnya sendiri.

Pengalaman berorganisasi saya, menunjukan orang mencla-mencle atau plin-plan, justru bakal merasa terbebani dan selalu terbayang dengan penolakan yang pernah dilakukannya.

Misal saya pribadi (bukan Armudji) menyatakan pernah mundur dari pencalolan pilwali Surabaya kepada wartawan politik di DPRD, tetapi saya diam saat saya tidak jadi mengundurkan diri dan kini diam saat diumumkan menjadi pendamping Eri Cahyadi, jago incumbent Walikota Tri Rismaharini. Jujur, saya terbebani pikiran, moral dan integritas di masyarakat. Ini bila saya. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU