Birokrasi Ruwet, Kapal Rakyat Distop Subsidi Solar

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 25 Mar 2021 15:12 WIB

Birokrasi Ruwet, Kapal Rakyat Distop Subsidi Solar

i

Aktivitas kapal rakyat di Pelabuhan Kalimas Surabaya. SP/ Sem

SURABAYAPAGI.com, Surabaya - Kurang lenih sekitar 200 kapal rakyat dengan bobot di bawah 30 gross tonage (GT) terpaksa harus membeli bahan bakar non subsidi di SPBU kota Probolinggo.

Baca Juga: KPU Surabaya Paparkan Seleksi Calon Panitia Pemilihan Gubernur dan Walikota Tahun 2024

Musababnya, kapal-kapal rakyat ini tidak mendapatkan rekomendasi dari Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI). Bila mendapat surat rekomendasi tersebut, maka selanjutnya surat itu diajukan ke UPT Pelabuhan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SKP) Mayangan Probolinggo. Dari sinilah tugas P2SKP memberikan izin atau rekomendasi agar kapal nelayan dilayani pembelian BBM bersubsidi berupa solar di Stasiun Penyalur Bahan Bakar Minyak untuk Nelayan (SPBN).
 
Celakanya, Menurut Pengurus Dewan Pimpinan Daerah Pengusaha Pelayaran Rakyat (Pelra) Jawa Timur dan Bali, Oki Lukito, kepengurusan HSNI kota Probolinggo saat ini telah vakum. Alhasil HSNI Probolinggo tidak menunjukan aktivitasnya sama sekali.
 
"Itu sudah lama mereka tidak dapat solar subsidi dari pelabuhan atau SPBN. Sekitar 8 bulanlah. Karena ada kebijakan dari walikota setempat, harus ada rekomendasi dari misalnya HSNI. Tapi sekarang HSNI sedang vakum," kata Oki Lukito kepada Surabaya Pagi, Kamis (25/03/2021).
 
Bila melihat secara aturan telah disebutkan bahwa kapal dengan bobot maksimum 30 GT wajib mendapatkan BBM bersubsidi dari pemerintah. Aturan ini dapat kita temukan pada Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu, Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden Tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 23 Tahun 2012.
 
"Tapi malah sekarang kasihan teman-teman di Mayangan. Ada sekitar 200 (...) mereka harus setiap hari ngambil solar di SPBU, jadi SPBN di pelabuhan gak berfungsi," katanya
 
Perlu diketahui, saat ini SPBN di Probolinggo hanya melayani bahan bakar solar bagi tekong atau nahkoda kapal bahkan pemilik kapal besar.
 
Oki juga memberikan catatan bahwa di wilayah lain, kapal yang ingin mendapatkan subdisi BBM tak harus mendapatkan rekomendasi dari organisasi seperti HNSI.
 
"Gak (ada aturan seperti itu), ini hanya ada di kota Probolinggo saja," katanya
 
Oleh karenanya ia meminta agar pemerintah kota dapat membantu para kapal kecil di sana, sehingga bisa mengakses kembali BBM subsidi.
 
"Jadi kami minta kebijaksanaan dari walikotalah, jangan kaku dengan aturan. Kalau bisa membantu kenapa gak dibantu. Toh pemerintah kota gak dirugikan," pintanya.
 
Selain di Probolinggo, kasus lain juga ditemukan di Surabaya. Namun untuk kasus surabaya sedikit berbeda. Kapal rakyat di kota dengan julukan kota pahlawan ini dibatasi kuota dalam mengakses BBM bersubsidi.
 
Pembatasan kuota tersebut dilakukan oleh Badan Pengatur Hilir (BPH) Minyak dan Gas Bumi. BPH Migas menetapkan kuota minyak solar subsidi (Gas Oil) kapal rakyat dan perintis triwulan I tahun 2021. Menurutnya, pengaturan kuota tersebut terbilang sangat diskriminatif.
 
"Akhirnya ratusan kapal rakyat kelimpungan tidak lagi mendapat jatah solar subsidi," katanya
 
Triwulan IV tahun 2020 misalnya. Kurang lebih sebanyak 856 unit kapal rakyat masih mendapat fasilitas solar subsidi. Namun angka tersebut dibatasi pada Triwulan I tahun 2021. 
 
BPH Migas melalui surat keputusan No 59/P3JBT/BPH MIGAS/KOM/2020 menetapkan hanya 482 kapal saja dengan kuota 3.301kilo liter (KL).  Sementara hasil verifikasi BPH Migas 18 November 2020 direkomendasikan 626 kapal laik menerima solar subsidi.
 
Kapal rakyat di Surabaya dari 61 kapal yang diusulkan hanya 25 kapal disetujui BPH Migas untuk mendapat jatah solar subsidi. Gresik hanya sekitar 56 dari 87 unit kapal yang mendapatkan jatah.
 
"Padahal secara rute, Kopelra (koperasi kapal rakyat) Surabaya melayani trek Surabaya-Bima. Itu bisa menghabiskan solar antar 3 sampai 4 ton liter per trip," katanya
 
Bila aturan seperti ini terus berlanjut, yang dikhawatirkan akan terjadi praktek penjualan BBM secara ilegal di black market. 
 
Kapal rakyat yang tidak terdaftar dalam SK.BPH Migas, bila ingin terus beroperasi terpaksa harus membeli solar non subsidi dengan harga di atas Rp8 ribu per liter.
 
"Saya khawatir aturan baru BPH Migas ini akan menciptakan praktek jual beli BBM di pasar gelap yang harganya bervariasi, kisaran 6.100 hingga 6.300 per liter. Istilahnya minum minyak kencing, oplosan, tongkang di tengah laut atau minyak swasta," pungkasnya. Sem

Editor : Redaksi

BERITA TERBARU