Wanita Tionghoa Selat Menyebut Dirinya ‘Nyonya’

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 20 Des 2019 06:19 WIB

Wanita Tionghoa Selat Menyebut Dirinya ‘Nyonya’

Kisah Perantau Tiongkok di Surabaya (25) Wanita keturunan Tionghoa Selat entah dipanggil atau menyebut dirinya sendiri sebagai "Nyonya". Kata "nyonya" (juga sering salah dieja "nonya") adalah sebutan kehormatan Jawa yang merupakan pinjaman dari istilah Italia "nona" ("nenek") yang berarti: wanita asing yang sudah menikah. Atau lebih mungkin dari kata "Donha", sebutan Portugis untuk "wanita". SURABAYAPAGI.COM, Surabaya -Karena orang Jawa pada saat itu memiliki kecenderungan untuk menyebut semua perempuan asing (dan mungkin orang-orang yang penampilannya seperti dari luar negeri) sebagai "nyonya", mereka pun menggunakan istilah tersebut untuk wanita Tionghoa Selat, dan secara bertahap menjadi lebih terkait secara eksklusif dengan mereka. "Nona" dalam bahasa Jawa berarti "wanita". Tionghoa Selat didefinisikan sebagai mereka yang lahir atau tinggal diNegeri-Negeri Selat: sebuah koloni Inggris yang terdiri dariPulau Pinang,Malaka danSingapura yang dibentuk tahun 1826. Tionghoa Selat tidak dianggap sebagai "Baba Nyonya" kecuali mereka menampilkan atribut fisik tertentu yang merupakan campuran Melayu pribumi dan Tionghoa. Kebanyakan Peranakan adalah dari keturunanorang Hoklo (Hokkien), meskipun jumlah yang cukup besar adalah dari keturunanorang Tiociu atauorang Kanton. Peranakan sendiri adalah keturunan ras campuran, sebagian Tionghoa, sebagianPribumi Nusantara (Indonesia / Melayu). Baba Nyonya adalah subkelompok dalam masyarakat Tionghoa, dan adalah keturunan serikat Sino-pribumi (Tionghoa asli) di Melaka, Pinang, dan Indonesia. Adalah hal yang biasa bagi pedagang Tionghoa awal di Nusantara zaman dahulu untuk mengambil perempuan pribumi Nusantara dari Semenanjung Malaya / Sumatra / Jawa sebagai istri atau selir, akibatnya Baba Nyonya memiliki campuran ciri-ciri budaya Tionghoa dan Nusantara. Catatan tertulis dari awal abad ke-19 dan abad ke-20 menunjukkan bahwa pria Peranakan biasanya mengambil pengantin dari dalam komunitas Peranakan setempat. Keluarga Peranakan kadang-kadang mengimpor pengantin wanita dari Tiongkok dan mengirim putri mereka ke Tiongkok untuk mencari suami. Di Indonesia, orang Peranakan muda masih bisa berbicara bahasa kreol ini, meskipun penggunaannya terbatas pada acara-acara informal. Peranakan muda telah kehilangan banyak bahasa tradisional mereka, sehingga biasanya ada perbedaan dalam kosakata antara generasi tua dan muda. Beberapa sumber mengklaim bahwa Peranakan awal telah menikah-campur dengan penduduk Nusantara pribumi setempat; klaim ini mungkin berasal dari kenyataan bahwa beberapa pegawai yang menetap di Bukit Tionghoa yang melakukan perjalanan ke Malaka dengan Laksamana dari Yunnan adalah Muslim Tionghoa. Namun pakar lainnya, melihat kurangnya kemiripan fisik, sehingga mereka berpendapat bahwa etnis Tionghoa Peranakan telah hampir tidak bercampur dengan Pribumi Nusantara. Satu kasus penting untuk mendukung klaim tentang percampuran tersebut adalah dari masyarakat Peranakan diTangerang, Indonesia, yang dikenal sebagaiTionghoa Benteng. Penampilan fisik mereka adalahPribumi Nusantara, tetapi mereka mematuhi adat istiadat Peranakan, dan kebanyakan dari mereka adalah penganutBuddhisme. Beberapa Peranakan membedakan antara "Baba-Peranakan" (Peranakan dengan keturunan Melayu Semenanjung) dari "Peranakan" (mereka yang tanpa keturunan Melayu Semenanjung). Kegiatan perekonomian orang-orang Tionghoa Peranakan, pada umumnya mereka tidak hanya berdagang tetapi juga bertani dan menjadi buruh pabrik di Batavia. Orang Tionghoa Peranakan bekerja untuk Belanda, mereka menggarap ladang dan juga di pabrikpabrik yang dibuat oleh pemerintah Belanda. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai buruh di pabrik gula, oleh karena itu produksi gula menjadi komoditi paling utama di Batavia. Hal ini membuat Belanda mendapatkan keuntungan besar dari produksi pabrik. Bahkan pemerintah Belanda melarang orang Eropa untuk memproduksi gula, Belanda meminta orang Eropa menyerahkan gudang gula mereka kepada Belanda. Sehingga Belanda lebih banyak mempekerjakan orang Tionghoa Peranakan. Selain itu, adat istiadat orang tionghoa peranakan, ini dikenal lebih patuh dan lebih setia pada kehidupan keluarga, bahkan mereka sangat tidak menyetujui terhadap perkawinan poligami, Penyelesaian yang dilakukan oleh orang Tionghoa Peranakan lebih bersifat kekeluargaan, termasuk ketika mereka memilih pasangan suami atau istri, mereka pasti meminta nasihat terlebih dahulu kepada orang tuanya. Demikian pula dalam hal keyakinan religius, pada masyarakat Tionghoa Peranakan upacara-upacara pemujaan kepada para arwah nenek moyang senantiasa dikerjakan secara teratur dan dipandang sebagai suatu kewajiban dalam tradisi kekeluargaan.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU