Wali Kota Surabaya Milenial yang Berintegritas, Siapa?

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 28 Agu 2019 05:05 WIB

Wali Kota Surabaya Milenial yang Berintegritas, Siapa?

Mencari Sosok Wali Kota Surabaya 2020, Penerus Wali Kota dua Periode Tri Rismaharini (2-Habis) SURABAYAPAGI.com - Ajang Pemilihan Wali Kota Surabaya 2020 masih satu tahun lagi. Namun, hingga bulan Agustus 2019, sudah beberapa nama yang muncul di publik. Umumnya, nama-nama yang muncul masih berusia muda, namun ada yang sudah berusia diatas 50 tahun. Dari yang saya catat, nama-nama yang muncul adalah Eri Cahyadi, M. Sholeh, KH Zahrul Azhar Asad alias Gus Hans, Ir. Jamhadi, Wisnu Sakti Buana, M. Nur Arifi n, Bambang Haryo hingga muncul beberapa nama-nama milenial seperti mantan wartawan yang kini aktif menjadi pegiat budaya Surabaya dan pengusaha tekstil Kuncarsono Prasetyo dan mantan artis cilik yang kini menjadi presenter Agnes Santoso. Dari 10 kandidat itu yang tertua adalah Bambang Haryo, politisi asal Partai Gerindra. Menyusul Jamhadi, mantan Ketua Kadin Surabaya, Wisnu Sakti Buana, Gus Hans, M. Sholeh, Eri Cahyadi, Kuncarsono Prasetyo. Sementara yang termuda, kurang lebih antara Nur Arifi n alias Cak Ipin dan Agnes Santoso. Bambang Haryo, pengusaha transportasi laut, sejak pilwali lima tahun lalu, sudah muncul. Tapi tenggelam. Bahkan, dalam pemilihan legislatif (pileg) 2019 kemarin, namanya tersingkir oleh politisi Gerindra asal Sidoarjo Ahmad Muhajirrin. Bisa jadi, rencana Bambang Haryo, maju dalam pilkada Surabaya 2020, diurungkan. Apalagi suara Gerinda di Surabaya dalam pileg 2019 merosot hanya mendapat 5 kursi di DPRD Surabaya, dibanding sebelumnya meraih 6 kursi dan menempatkan wakilnya duduk sebagai Wakil Ketua DPRD Surabaya. Sementara sosok Ir Jamhadi, kontraktor lulusan Untag Surabaya ini, suka membuat program-program ekonomi kreatif. Pria yang dikenal dekat dengan mantan walikota Surabaya Bambang DH ini, kabarnya kurang akrab dengan walikota Tri Rismaharini. Faktor ini bisa menjadi sandungannya maju. Artinya meski Ketua DPC PDIP Surabaya, Adi Sutarwijono alias Awi, dikenal dekat dengan Bambang DH, popularitas Jamhadi, di kalangan grassroot partai berlambang banteng moncong putih, belum dikenal. Maklum Jamhadi, yang saya amati, lebih suka merangkul pengusaha dan suka mepet pejabat. Bisa jadi ini terkait dengan profesinya sebagai kontraktor. *** Lain halnya dengan Gus Hans. Pria yang namanya mencuat sejak pilkada Jatim 2018, lebih dekat dengan Gubernur Khofi fah. Tapi prestasi di publik diluar sebagai tim sukses Khofi fah, nyaris tak terdengar. Gus Hans sendiri selama ini aktif di beberapa organisasi kepemudaan. Selain itu Gus Hans yang juga Sekretaris Yayasan Pesantren Tinggi Darul Ulum Jombang juga aktif mengkampanyekan akademi sepakbola di Jawa Timur yang dimulai dari Jombang. Bahkan, ia pun telah menggandeng pihak La Liga Spanyol untuk membangun industri sepak bola yang berkelanjutan. Sementara M. Sholeh, pengacara muda asal Krian Sidoarjo ini bila bicara nadanya seperti pelat. Tapi untuk ukuran pengacara sebaya, M. Sholeh, lihai dalam mempromosikan diri. Antara lain mengajukan gugatan class action kasus-kasus yang menarik perhatian public serta berani melakukan uji materi beberapa kebijakan pemerintah ke Mahkamah Konstitusi Dibanding pengacara sebayanya, M. Soleh, diakui sebagai advokat kritis. Dengan penampilannya yang suka memposting koleksi mobil mewah, M. Sholeh, bisa disejajarkan advokat selibriti kolektor mobil. Juga muncul nama dua pemuda Surabaya yang dalam dua bulan terakhir mencuri perhatian, yakni Kuncarsono Prasetyo dan mantan artis cilik Agnes Santoso. Dua-duanya masih muda, sama-sama kritis dan pernah menjadi jurnalis. Bedanya, satunya sudah pensiun dari jurnalis danmenjadi pengusaha tekstil serta pegiat budaya Surabaya. Satunya, masih aktif menjadi presenter. Kuncarsapaan Kuncarsono, sebagai pria yang dianggap disebut anak milenial, meski sudah berkepala empat, tetapi terus mengambil hati warga kota Surabaya dengan Mengkampanyekan Suroboyo Mbois. Bahkan Kuncar pun yang paling lantang dalam menyuarakan hilangnya beberapa peninggalan perjuangan arek-arek Suroboyo, bila oleh Wali Kota Surabaya Risma tidak diurus. Secara pengalaman, antara Kuncar dan Agnes sendiri pun punya cara. Namun, apakah menjadi Wali Kota Surabaya hanya menjadi seorang pribadi yang kreatif ? Hanya menjadi seorang public figure yang sering nampang di layar televisi? *** Lantas, bagaimana peluang Eri Cahyadi?. Secara matematika, peluangnya dari aspek politik, birokrasi, ekonomi dan kultural, pria yang kini berusia 42 tahun, paling diuntungkan. Mengapa? Ia calon dari incumbent. Apalagi Wali Kota Risma, dikenal dekat dengan Megawati, Ketua Umum Megawati. Bahkan dalam kepengurusan DPP PDIP, Risma, mendapat jatah Ketua Bidang Kebudayaan. Terlepas ruang lingkup kebudayaan dalam satu partai belum dikenal gregetnya, bagi kalangan PDIP di Surabaya, Risma telah menyingkirkan figur Bambang DH, dijajaran elite partai PDIP. Apalagi sebelum ini, antara Risma dan Bambang DH, sudah diketahui publik, merupakan rival erpolitik. Terutama di pemerintahan. Kini tiket maju pilwali Surabaya 2020, buat Eri Cahyadi, bisa jadi sudah ditangan. Apalagi, Eri Cahyadi, pria kelahiran 27 Mei 1977 ini menduduki jabatan Kepala Bapeko (Badan Perencanaan Kota) Surabaya. Posisinya yang strategis ini membuat Eri bisa memotret kota Surabaya dari atas, ya penduduk, konomi, budaya sampai politik. Pendeknya, Eri mengantongi segudang bekal. Nah, background ini yang tidak dimiliki rival-rivalnya, dalam urusan tata kelola pemerintahan kota Surabaya. Tinggal sekarang kembali pada Eri Cahyadi. Jelang hari H, jago Risma ini harus bisa menahan diri dari ucapan. Sebab ucapan Eri, bisa diplintir dan diplesetkan. Termasuk dari wartawan yang kadang suruhan rival untuk memancing emosinya. Meski dalam beberapa pertemuan saya dengan Eri Cahyadi, pria yang bersinar sejak dari Kepala Bagian Bina Program masih malu-malu untuk disebut dirinya sebagai calon untuk maju Wali Kota. Namun secara tersirat dan Bahasa tubuhnya, Eri Cahyadi ini tak menampik bila digacokan untuk menggantikan Wali Kota dua periode Tri Rismaharini. *** Surabaya, menjadi kota terbesar kedua di Indonesia, saat ini, hingga Agustus 2019, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Surabaya, penduduknya, sudah mencapai 2.941.981 Jiwa. Sedangkan, pemilih tetap sesuai data KPU terakhir, 2.131.756 pemilih. Sementara pemilih yang dikategorikan sebagai pemilih muda (dibawah 40 tahun menurut KPU kota Surabaya), mencapai 1.132.667 pemilih atau 53,133 persen dari total pemilih. Artinya mayoritas pemilih di kota Surabaya adalah kaum muda. Bila dikerucutkan antara 17-30 tahun, kurang lebih mencapai 38ribu-40ribu pemilih. Dengan Banyaknya hampir separuh lebih pemilih di Surabaya adalah anak muda, harusnya pemimpin kota Surabaya selanjutnya harus yang bisa berjiwa muda seutuhnya. Yakni mengerti bagaimana membangun kota Surabaya secara integrated baik dari segi transportasi massal, ekonomi kerakyatan yang disinkronkan dengan ekonomi digital, serta pengelolaan sistem pemerintahan yang produktif dan tidak gemuk. Surabaya diapit dua kota besar juga secara industri, yakni Gresik dan Sidoarjo. Bahkan mayoritas pekerja di Surabaya, juga tinggal di Sidoarjo dan Gresik. Bukan tidak mungkin, juga bisa pemimpin kedepan pengganti Risma, bisa menggandeng dua kota penyangga Surabaya ini. Dari catatan saya, saat ini ada Wali Kota termuda di Indonesia yaitu Muhammad Syahrial, Wali Kota Tanjung Balai. Ia dua tahun lalu dilantik di Lapangan Merdeka, Rabu, 17 Februari 2016. Usianya masih berumur 26 tahun. Dalam tiga tahun memimpin, ternyata Syahrial juga mumpuni membangun kota Tanjung Balai menjadi berkembang. Bahkan, bisa menanggulangi masalah sampah yang menjadi masalah di setiap kota. Kini, Siapapun yang pada tahun 2020, terpilih menjadi Wali Kota Surabaya, ada konsekuensi peluang dan tantangan yang berbeda dengan yang dihadapi Wali Kota Tri Rismaharini. Wali Kota Surabaya mendatang, langsung disongsong fenomena revolusi industri 4.0. Dalam revolusi industri 4.0 ini, semua orang dituntut belajar dari nol lagi. Orang-orang kaya lama, politisi lokal, atau orang pintar lama belum tentu mampu beradaptasi dengan perubahan nanti. Ada fenomena menarik di era revolusi industri 4.0,yaitu uang bukanlah modal terbesar, tetapi imajinasi yang menjadi kekuatan. Contohnya adalah Mark Zuckerberg dan Sergey Brin. Keduanya tidak memulai Facebook dan Google dengan membuat pabrik, tetapi memulai dengan imajinasinya, sehingga bisa berkreasi dan berinovasi. Siapkah nama-nama yang kini muncul di publik Surabaya, membangun kota Surabaya dengan peluang dan tantangan paradigma revolusi industri 4.0. Mari kita tunggu. Semangat Rek. (radityakhadaffi @ gmail.com)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU