UU Cipta Kerja, Bisa Jadi Sumbu Pendek

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 11 Okt 2020 22:29 WIB

UU Cipta Kerja, Bisa Jadi Sumbu Pendek

i

Dr. H. Tatang Istiawan

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, kini telah disahkan di DPR-RI menjadi Undang-Undang.

Baca Juga: Dalam Kapasitas Ketua DPR, Puan Ngaku tak Panas

Ternyata pengesahan UU Cipta Kerja ini langsung memicu gelombang penolakan dari masyarakat. Khususnya kalangan buruh dan pekerja serta mahasiswa. Kemudian dicampuri kelompok anarko. Praktis aksi unjuk rasa pun terjadi di mana-mana, hampir seluruh kota besar di Indonesia.

Secara konstitusi, pantaskah UU yang baru disahkan di tingkat parlemen, ditanggapi dengan aksi-aksi aspirasi unjuk rasa yang sampai melakukan perusakan fasilitas umum?. Padahal hakikat unjuk rasa adalah penyampaian aspirasi rakyat, bukan aksi pembakaran dan pengrusakan fatsum dan fatsos.

Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terutama Pasal 72 ayat (1), RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Pemerintah, aturannya disampaikan lebih dulu oleh Pimpinan DPR kepada Presiden. Proses ini terkait pengesahan sebagai Undang-Undang. Orang hukum mengakui yang mengesahkan suatu RUU menjadi undang-undang adalah presiden.

Orang hukum paham suatu undang-undang yang sudah disahkan baru dapat berlaku mengikat umum apabila diundangkan dalam suatu lembaran negara.

Secara hukum, pengesahan suatu undang-undang dalam paripurna DPR-RI tidak serta-merta menandakan bahwa undang-undang itu sudah mulai berlaku dan mengikat.

Aturan suatu undang-undang bisa berlaku dapat dilihat pada bagian Ketentuan Penutup UU Cipta Kerja.

UU Cipta Kerja mesti mengikuti pengundangan yaitu penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. (Pasal 1 angka 12 UU 12/2011).

Hukum mengatur daya ikat suatu UU tergantung dari bunyi Ketentuan Penutupnya yang menyatakan kapan diundangkannya undang-undang tersebut. Sampai semalam, saya masih tidak tahu ketentuan penutup UU Cipta kerja, karena memang belum terpublikasikan. Masalahnya, ada apa beberapa serikat buruh sebelum tanggal 5 Oktober, saat pengesahan ditingkat DPR-RI sudah menggaungkan aksi buruh mogok secara nasional mulai tanggal 6-8 Oktober?

Benarkah penggagas aksi buruh mogok nasional ini mengerti proses hukum berlakunya suatu UU yang baru disahkan di DPR-RI? Atau Pengurus Serikat buruh ini tahu ketentuan keberlakuan suatu UU tetapi mereka ingin mempolitisasi, agar menarik perhatian publik. Terutama saat pandemi Covid-19 berlangsung antara lain tidak boleh melakukan kumpul kumpul, karena bisa mendatangkan penularan covid-19. Pada saat pandemi, terdapat jutaan buruh dan pekerja terkena PHK dan perumahan.

Dalam ketentuan penutup  Pasal 185 RUU Cipta Kerja dijelaskan, peraturan pelaksana berupa peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres) wajib ditetapkan paling lama tiga bulan. Menariknya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, meski UU mengamanatkan tiga bulan, penyusunan rancangan peraturan pemerintah (RPP) bisa dipercepat menjadi maksimal satu bulan karena merupakan arahan dan target dari Presiden. Nah, saat ini UU Cipta Kerja belum satu bulan disahkan.

***

Kalangan praktisi hukum tata Negara paham bahwa pembentuk peraturan perundang-undangan hendaknya tetap berpegang teguh pada tujuan negara yang ingin dicapai dalam membuat suatu produk hukum. Dengan konsep ini, rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat terakomodir dalam setiap hukum yang diciptakan DPR bersama eksekutif.

Ketentuan ini memiliki kaitan dengan “roh” apakah suatu UU mewakili kepentingan masyarakat secara mayoritas, atau hanya kelompok-kelompok tertentu.?

Catatan saya, sejak masih dalam Rancangan UU Omnibus Law, RUU Cipta Kerja telah mendapat banyak kritik. Bahkan ada pertentangan diantara serikat buruh di berbagai daerah. Artinya

semula masih di tataran kritik, kini sudah diikuti unjuk rasa yang disusupi kelompok anarko. Unjuk rasa dilakukan karena konon ada sejumlah pasal dari RUU Cipta Kerja yang dianggap dapat merugikan para pekerja.

Baca Juga: Berlakunya Omnibus Law, Buruh Desak Pemerintah Naikkan Upah Minimum

Pertanyaan besarnya, meski Presiden Jokowi, mencanangkan RUU Cipta Kerja ini untuk menarik investor asing, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, tetapi telah disahkan pada saat pandemi, menurut akal sehat saya bukan solusi atau momen yang tepat. Apalagi diketok oleh DPR-RI pada saat resesi ekonomi.

Akal sehat saya mengatakan, pengesahan pada saat resesi ekonomi dan pandemi, memunculkan sejumlah pihak merasa dirugikan. Khususnya buruh dan tenaga kerja. Secara politis, hal ini rentan di politisasi oleh pengurus serikat buruh dan pekerja serta elite politik yang tidak puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi, selama ini.

Pengesahan yang terburu-buru, kata pengurus serikat buruh, bisa terkait suatu momen atau terkait menjaga momentum. Mengapa DPR-RI mengesahkan tanggal 5 Oktober 2020? apakah wakil rakyat telah mendengar ajakan aksi buruh mogok nasional dimulai tanggal 6 Oktober sampai 8 Oktober 2020.

Momentum disahkan tanggal 5 Oktober bisa jadi agar wakil-wakil rakyat dan pemerintah tidak rugi saat aksi buruh mogok nasional 6 Oktober. Makanya wajib diupayakan UU Cipta Kerja disahkan satu hari sebelum seruan aksi buruh mogok nasional.

Bisa jadi, saat wakil rakyat mengesahkan RUU menjadi UU Cipta Kerja, berpikiran bila mereka tidak memanfaatkan momentum tanggal 5 Oktober, akan merasa menyesal. Mengingat tidak dapat memanfaatkan momentum sebelum ada aksi buruh mogok nasional.

Bisa jadi wakil-wakil rakyat  telah memanfaatkan waktu atau momen yang tepat, agar bisa keluar sebagai wakil rakyat yang beruntung.

Pertanyaan mendasarnya, benarkah motif menarik investor, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, hanya merupakan suatu “kepura-puraan ideologis” semata? .

Secara politis, tiga motif tersebut bisa untuk menghibur  elite daerah dengan diberikan iming-iming kemudahan perijinan? Padahal, secara ekonomi bisa jadi elite  daerah hanya akan dijadikan subordinasi kepentingan konglomerasi besar di Jakarta.

Adalah wajar seorang elite politik lokal bertanya UU Cipta Kerja ini tak ubahnya pola klasik bahwa di Indonesia perubahan ekonomi hanya terjadi pada sektor distribusi kekuasaan politik, dan tidak pada sektor ekonomi rakyat.

Baca Juga: Tolak Gugatan Ciptaker, Partai Buruh Akan Laporkan 5 Hakim Ke MKMK

Artinya, bahwa penerapan hukum Indonesia termasuk UU Cipta Kerja adalah bukti penerapan hukum penuh berbau kapitalisme.

Menurut akal sehat saya, bisa jadi dengan aksi penolakan dimana-mana sebelum UU Cipta Kerja disahkan, mencirikan ini adalah produk undang-undang yang ‘sumbunya’ pendek. Artinya, produk undang-undang ini berpotensi dicabut atau dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi.

Kecenderungan ‘’sumbuh pendek’’, karena pengesahannya dilakukan pada momen yang tidak tepat. Katakan misi Presiden Jokowi, untuk menarik investor, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan, tetapi momen saat disahkan di DPR-RI, terjadi berbarengan ketika bangsa Indonesia dihadapkan PHK buruh, resesi ekonomi dan pandemi. Otomatis, situasi saat pengesahan, banyak buruh dan pekerja yang butuh pekerjaan, kecewa dan marah. Disamping orang miskin berteriak minta makan, daya beli semua kelas menurun, orang kaya menahan uangnya dan nafas pengusaha ‘’Senin-Kamis’’.

Dan saat ini, pekerja yang terkena PHK naik menjadi 2,1 juta. Pekerja migran 34.100 dipulangkan. Sementara tingkat kemiskinan  naik dari 9,41 persen menjadi 9,78 persen.

Saya khawatir dengan ada kegaduhan di sana-sini, UU Cipta Kerja tidak bisa menjangkau untuk jangka waktu yang dibutuhkan untuk menarik investor asing. Apalagi bisa menyelesaikan persoalan tiga hal diatas. Mengingat kini baru disahkan di DPR-RI, sudah menimbulkan kegaduhan sosial.

Akal sehat saya berbisik, penolakan dini seperti ini, bisa terjadi saat proses pembentukan UU Cipta kerja, wakil wakil rakyat tidak melibatkan stakeholders terkait, atau bila ada pelibatannya masih sangat formal.

Bahkan bisa terjadi ada fakta ‘obesitas’ peraturan perundang-undangan Cipta Kerja belum ditangani dengan baik. Sehingga harus memangkas regulasi yang tidak harus dilanjutkan dan mana yang harus diubah. Karena memang tabiat birokrasi dan legislator kita selama ini rajin ingin membentuk satu produk hukum dengan terburu-buru, khususnya peraturan perundang-undangan, tetapi tidak memikirkan secara mendalam substansinya.

Pertanyaan kritisnya, benarkah ada kekuatan kapital dibalik percepatan UU Cipta Kerja kali ini? Mereka adalah pemilik kapital yang lebih menguasai dunia politik dan ekonomi, hingga tak sejalan dengan filsafat Pancasila yang selama ini diajarkan sampai tingkat Sekolah Dasar. Walahualam. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU