Home / Skandal Properti : Menguak Penghilangan Jejak Sejarah Toko Nam yang D

Tim Cagar Budaya : Bangunan Toko Nam tak Boleh Dibongkar Total

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 25 Jun 2019 20:53 WIB

Tim Cagar Budaya : Bangunan Toko Nam tak Boleh Dibongkar Total

Toko Nam, dicatat memiliki jejak warisan atau aset bangunan bersejarah di Kota Surabaya. Bangunan Toko Nam, menjadi saksi sejarah pergerakan melawan penjajah Belanda. Sayang, kini jejak warisan sejarah Indonesia, khususnya sejarah perlawanan arek-arek Surabaya itu dilenyapkan oleh kepentingan bisnis warga keturunan Tionghoa bukan arek Suroboyo. Alex Tedja, Melinda dan Saibun, taipan asal Medan yang diduga menggusur bangunan sejarah cagar budaya Toko Nam, dengan menggunakan badan hukum PT Pakuwon Grup. Kini bangunan bersajarah itu sudah musnah dan hanya tinggal bangunan semacam gapura. Secara fisik, gapura itu berbentuk replika yang saat kita melewati Jl. Tunjungan berbelok ke Jalan Embong Malang, di sebelah kiri, terdapat replika yang tak berbicara sebagai cagar budaya. Maklum, replika ini dikitari bangunan bertingkat milik Pakuwon Grup. Disana dijual barang bermerek produk hedonis, bukan produk yang membangkitan patriotisme kebangsaan Indonesia. Tim investigasi harian Surabaya Pagi yang terdiri Raditya M Khadaffi, Ali Mahfud, Ariel Dahrullah, Miftahul Ilmi, Achmad Fatoni, dan periset Dr. H. Tatang Istiawan (Arek Suroboyo), menguak penghilangan jejak sejarah peristiwa sekitar Toko Nam, dari aspek nilai-nilai sejarah, cagar budaya, estetika kota yang berbudaya, aspek hukum sampai bisnis mall yang mengabaikan jejak sejarah kota Surabaya. Berikut tulisan pertama dari beberapa penulisan jurnalisme investigasi. Tim Jurnalisme Investigasi Surabaya Pagi Warga kota yang lahir antara tahun 1945-1960, mengenal Jalan Tunjungan - Jalan Embong Malang, mengenang memori jejak sejarah arek-arek Surabaya, mengenang tentang kejayaan masa lalu, kearifan, dan kehangatan. Artinya, sejak zaman Belanda, Tunjungan sudah dikenal sebagai sebuah kawasan yang sudah menjadi ikon bagi Kota Surabaya. Sejak tahun 1945, jalan Tunjungan telah dikenal sebagai kawasan pertokoan, dengan pemandangan semarak. Disana dibangun trotoar yang nyaman untuk jalan-jalan sore hingga malam hari. Arek-arek Suroboyo berusia 60 ke atas yang masih hidup, ingat Jalan Tunjungan dan sekitarnya merupakan kawasan hangat. Disana tempat berinteraksinya warga kota bermacam suku, jawa, tionghoa dan peranakan Belanda. Teringat dalam benak, Jalan Tunjungan menjadi tempat jalan-jalan dan rekreasi bagi warga kota Surabaya. Sekarang Jalan Tunjungan sebagai salah satu pusat Kota Surabaya memiliki nilai historis yang kuat. Lokasinya sangat strategis di tengah kota. Jalan ini menghubungkan banyak jalan utama di Surabaya seperti Jalan Gubernur Suryo, Jalan Embong Malang, Jalan Blauran, Jalan Praban, Jalan Genteng Besar dan Jalan Gentengkali, dan Jalan Gemblongan. Kini, Jalan Tunjungan, dikenali kawasan segitiga emas dengan Jalan Embong Malang dan Jalan Blauran. Praktis, kawasan Tunjungan memang menarik. Kenangan masa lalu masih bisa dilihat dari deretan bangunan kuno peninggalan Hindia Belanda. Hampir di setiap gedung menyimpan pesona bentuk dan detil masing-masing. Arsitektur gedung-gedung dan lanskap yang tersaji mengundang decak kekaguman kejayaan masa dulu. Toko Lalwani, Sporting House, Optik Seis, dan Toko Tjantik, memberi warna nyata kejayaan Tunjungan. Dalam catatan sejarah, sejak awal tahun 1910, kawasan Tunjungan, mulai berkembang dengan cepat. Berturut-turut berdiri Gedung Whiteaway Laidlaw tahun 1923. Ini perusahaan dagang Inggris yang mempunyai jaringan internasional dengan cabang di Burma, Srilanka, Singapura dan Malaysia. Di Indonesia, Whiteaway Laidlay melebarkan sayapnya ke Surabaya dan mendirikan gedung paling indah di Hindia Belanda saat itu. Jalan Tunjungan selain memiliki lokasi penting juga menjadi tempat aksi heroik arek-arek Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Salah satu, Hotel Oranje yang kemudian menjadi Hotel Majapahit. Hotel ini dicatat sebagai lokasi perobekan bendera Belanda menjadi bendera Indonesia. Hotel ini didirikan oleh Lucas Martin Sarkies. Pernah juga berganti nama menjadi Hotel Yamato pada masa kekuasan Jepang. *** **foto** Sejarah mencatat, kawasan Tunjungan sejak awal didesain sebagai kawasan komersial dengan koridor panjang (863 meter) melintasi berderet took, restoran, dan hotel. Wilayahnya, dari ujung Whiteaway (Siola) hingga Toko Kundandas samping Toko Metro. Dari catatan dan dokumen foto-foto sejarah Tunjungan, diketahui kawasan ini sudah dikenal sejak tahun 1923. Bangunan-bangunan cantik berdiri di sepanjang jalan ini. Beberapa yang dikenal dan menjadi land mark adalah Toko Siola, Toko Aurora, Toko Metro, Toko Sentral, Toko Nam dan sebagainya. Di seberang Monument Pers Perjuangan Surabaya, di tikungan Jl Tunjungan dan Jl Embong Malang, arek arek Suroboyo yang lahir tahun 1945-1960, mengenal ada bangunan toko bernama Toko Nam. Bangunan modern saat itu sudah berdiri 1930-an. Dianggap bangunan modern, karena Toko Nam didirikan dengan struktur beton. Konon sebelumnya, lokasi Toko Nam adalah bekas sebuah toko agen penjual mobil. Sampai tahun 1980-an, Toko Nam dikenal sebagai toko pakaian dan kain untuk masyarakat kelas menengah atas. Toko Nam sempat bernama Toko Kwang. Sayang, bangunan legendaris ini sekarang telah dirobohkan dan dikuasai perusahaan property milik orang tionghoa Cimed ( Cina Medan) Pakuwon. *** Sekarang, sampai akhir Juni 2019 ini, kemegahan dan menjulangnya gedung Tunjungan Plaza 1-6, telah membuat bangunan Toko Nam Surabaya, yang bersejarah, nyaris tak terlihat. Bahkan replica tiang Toko Nam, mirip gapura diatas trotoar. Pengamatan di lapangan, sisa bangunan fToko Nam Surabaya saat ini menyisakan bangunan tembok dengan panjang sekitar 25 meter dan tinggi sekitar 4 meteran. Bangunan ini sepintas seperti gapura gedung. Tetapi bila di amati dengasn seksama, gapura ini berbentuk seperti bekas pintu berjumlah lima biji, yang dicat warna putih. Fisikal temboknya, terkesan baru dilakukan pengecatan. Hal yang merusak estetika kota, sisa bangunan cagar budaya Toko Nam Surabaya ini ternyata disanggah dengan 6 batang besi . Besi ini menjorok dan tertanam di pedestrian jalan Embong Malang. Tepatnya di depan Tunjungan Plaza 5. Tak pelak, posisi 6 batangan besi ini mengganggu pejalan kaki yang melintas di sana. Padahal saat kemerdekaan, trotoar di sana tempat nyaman untuk jalan-jalan warga kota. Ya kalau kita nggak hati-hati, bisa kesandung besi ini. Apalagi kalau anak kecil yang lewat, bisa jatuh kalau kesandung besi-besi ini. Lha pas nyelempang nang tengah dalan ngene (pas menghadang di tengah jalan), kata Yuni, salah satu pengguna jalan yang melintas di sana, Selasa sore (25/6/2019). Dari segi estetika, penampakan bangunan cagar budaya Toko Nam ini tak terlihat jelas. Karena berdiri di depan gedung Tunjungan Plaza yang menjulang tinggi. Apalagi, di depan bangunan ini, entah sengaja atau tidak, terdapat 4 pohon besar yang menghalangi pandangan ke arah serpihan cagar budaya Toko Nam Surabaya. Bagi sebagian warga, bahkan tidak tahu kalau bangunan itu adalah bekas Toko Nam Surabaya yang berstatus cagar budaya. Terutama bagi mereka yang baru lahir di era 1990-an ke atas. Saya sih gak tahu ini bangunan apa, kok ada di sini, dan bentuknya gak sama dengan Tunjungan Plaza-nya, ini hiasan atau apa, saya nggak tahu. Sejahay yang say abaca,di depan Toko Nam dulu tempat arek-arek Suroboyo berjuang melawan penjajah Belanda. Apa sekarang dengan pilar replica ini, arek arek Surabaya harus melawan penjajah ekonomi?, kata Norma, bernada tanya. Norma, adalah seorang mahasiswi semester 1 salah satu Perguruan Tinggi swasta yang baru saja belanja di Sogo. Jika dilihat dari sisi depan Tunjungan Plaza 5, bangunan tersebut malah tak tampak seperti bekas bangunan bersejarah di zaman dulu. Maklum, bangunan ini tertutup lebih dari separo tembok Tunjungan Plaza. Namun, di belakang bangunan ini, ada tangga yang langsung tembus ke pintu lobi Tunjungan Plaza 5. Saya sering lewat sini, dan naik tangga ini, kalau mau masuk ke TP, tapi nggak tahu juga ini bangunan apa, terang Yuni, ibu muda yang tampak habis belanja. *** Tim Cagar Budaya Surabaya menetapkan Toko Nam sebagai bangunan cagar budaya golongan C dengan skor 49. Dengan status seperti ini, bangunan Toko Nam tidak dapat dibongkar total melainkan harus menjalani revtalisasi atau adaptasi. Ketentuan tersebut tercantum dalam Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 tahun 2005 tentang pelestarian bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya. Dalam bab V pasal 11 Perda No 5 tahun 2005, tertulis, bangunan cagar budaya golongan C adalah bangunan cagar budaya yang dapat dipugar dengan cara revitalisasi/adaptasi. Bab V pasal 16 Perda tersebut menjelaskan ketentuan revitalisasi/adaptasi sebagai berikut, perubahan bangunan dapat dilakukan tetapi harus mempertahankan tampang bangunan utama termasuk warna, detail, dan ornamen bangunan. Sedangkan, warna, detail dan ornamen bangunan yang diubah harus disesuaikan dengan arsitektur bangunan aslinya. Dengan predikat, bangunan Toko Nam tidak dapat dibongkar total melainkan harus menjalani revitalisasi atau adaptasi, saatnya arek-arek Suroboyo yang patriotis bangkit menuntut Pemerrintah kota, Provinsi dan Pusat menegakan hukum sesuai ketentuan cagar budaya, termasuk Perda No 5 tashun 2005. (bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU