Terancam Mati, jika Pedagang tak Beradaptasi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 08 Nov 2019 06:02 WIB

Terancam Mati, jika Pedagang tak Beradaptasi

Satria Wicaksono, pengurus BPD Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Jatim, punya pandangan tersendiri terhadap dinamika Kembang Jepun sebagai pusat grosir di wilayah pecinan Surabaya. Menurutnya, kawasan Kembang Jepun yang selama ini dikenal sebagai pusat grosir bisa mati jika pedagang di sana tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman. "Zaman sekarang kalau nggak bisa beradaptasi akan mati," ujar Satria Wicaksono kepadaSurabaya Pagi, kemarin (7/11) Ia berharap Pemkot Surabaya tidak tinggal diam. Sebab, pelaku usaha mikro dan menengah di Kembang Jepun sangat banyak. Dengan perkembangan teknologi saat ini dan berkembangnya toko-toko online, mestinya pedagang di Kembang Jepun bisa beradaptasi. Apalagi sekarang muncul pusat-pusat grosir baru di Surabaya, seperti Pasar Kapasan dan PGS. "Yang penting ada dukungan dari pemerintah (Pemkot Surabaya, red) tentunya," tandas Wicaksono. Sementara itu di lihat secara historis, Kembang Jepun sebagai wilayah Pecinan tak lepas dari kebijakan pemerintah kolonial kala itu. Bahkwa titik awal perkembangan Kota Surabaya justru ketika VOC berdaulat penuh atas kota ini. Itu terjadi sekitar abad ke-18, tepatnya 11 November 1743, setelah ada perjanjian antara Gubernur Jenderal Belanda van Imhoff dengan raja dari Mataram, yaitu Paku Buwono II. Pada masa awal perkembangan kota, Surabaya dibangun dengan pusat di sekitar kawasan Jembatan Merahyang menghubungkan Jalan Kembang Jepun dan Jalan Rajawali. Fase perkembangan kota terbagi menjadi dua. Diawali dengan terbentuknya Kota Bawah, untuk kemudian disusul dengan Kota Atas. Kota Bawah Surabaya menjadi pusat kegiatan bangsa Belanda. Mereka membangun gedung-gedung pemerintahan, juga wilayah permukiman yang terbagi menjadi dua wilayah berdasarkan etnis di bawah ketentuan undang-undang Wijkenstelsel. Permukiman pertama adalah kampung orang-orang Eropa yang terletak di barat Jembatan Merah. Kedua adalah permukiman orang-orang Timur Asing (Vreande Oostrelingen), yaitu Tionghoa (Pecinan), Arab, dan pribumi. Sejak kepemimpinan Daendels pada 1811, pusat pemerintahan Surabaya berpusat di kawasan Jembatan Merah. Kembang Jepuntempat adanya Kampung Pecinan dan berada tidak jauh dari Jembatan Merah, Sungai Kali Mas, dan Pelabuhan Tanjung Perakmenjadi kawasan strategis untuk melangsungkan aktivitas bisnis. Alhasil, kawasan Kembang Jepun berkembang menjadi pusat perdagangan dan hiburan satu-satunya di Surabaya kala itu. Bahkan, menjadi kawasan tersibuk. Perkembangan Surabaya semakin pesat setelah penghapusan Cultuurstelsel pada 1870. Tidak hanya berpusat di sekitar Jembatan Merah, bangsa Belanda mulai membangun kantor-kantor perdagangan dan permukiman ke arah selatan Surabaya. Kota Atas lahir. Kota Atas bertumbuh di sepanjang tembok kota Kota Bawah yang pada abad 19 dirobohkan, dengan pusatnya adalah kawasan Balai Kota. Jalan ini sebetulnya baru akrab disebut Kembang Jepun pada masa kolonial Jepang. Banyak serdadu Jepang (Jepun) yang punya teman-teman perempuan (kembang) di daerah ini.n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU