Home / Surabaya : Analisa Pakar Tata Kota dan Pakar Transportasi, MR

Surabaya Butuh MRT

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 27 Feb 2019 08:51 WIB

Surabaya Butuh MRT

Firman Rachman - Alqomar, Wartawan Surabaya Pagi. Pembangunan Mass Rapid Transportation (MRT) yang dirancang secara regional, mulai Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Lamongan dan Mojokerto, mendapat dukungan banyak pihak. Grand design ini dinilai lebih baik dari konsep Trem maupun Monorel hasil rancangan Walikota Surabaya Tri Rismaharini, yang hanya melayani intra kota Surabaya. Sehingga tidak menjadi solusi kemacetan di Surabaya dan sekitarnya. Sedang faktanya, pergerakan manusia di kawasan ini mencapai hampir 10 juta orang. ----------- Di akses utama Sidoarjo-Surabaya, misalnya. Setiap hari terjadi kemacetan luar biasa mulai Gedangan, Bundaran Aloha, hingga Bundaran Waru. Pergerakan orang di kawasan ini mayoritas menuju Surabaya. Sebab, banyak warga yang tinggal di Sidoarjo bekerja di Surabaya. Bahkan, berdasar pantauan Surabaya Pagi, Selasa (26/2/2019), plat nomor kendaraan yang melintas, tak hanya W (Sidoarjo). Tapi juga L (Surabaya), N (Malang, Pasuruan, Probolinggo). Bahkan, ada juga dari luar kota lainnya, seperti S (Bojonegoro, Lamongan, Jombang) dan lain-lain. Tak heran jika tingginya volume kendaraan yang melintas di kawasan ini, membuat arus lalu lintas menjadi macet. Sudah langganan macet mas, perempatan Gedangan, Aloha sampai bundaran Waru sana macet tiap hari. Apalagi pas jam berangkat dan pulang kerja, cetus Sugeng asal Porong, Sidoarjo, yang bekerja di perusahaan ekspedisi kawasan Tanjung Perak, Surabaya. Pria berkacamata ini menambahkan untuk sampai ke tempat kerjanya, dia membutuhkan waktu 1,5 jam dengan mengendarai sepeda motor. Kalau musim hujan seperti sekarang bisa lebih lama, macetnya tambah parah, lanjut Sugeng. Hal sama diungkapkan Abdi yang tinggal di Gedangan, Sidoarjo. Pria yang bekerja di dekat Tugu Pahlawan ini menyebut harusnya Bupati Sidoarjo dan Walikota Surabaya ini duduk bareng, membicarakan masalah kemacetan. Sebab Sidoarjo dan Surabaya memiliki keterkaitan. Selama ini kan bu Risma sudah bikin frontage road Jalan A Yani, makanya setelah bundaran Waru agak lancar. Tapi bagaimana yang di sini (Bundaran Waru kea rah Sidoarjo, red). Macetnya gak ketulungan. Dulu mau dibangun tol tengah tapi kan ditolak sama bu Risma, ungkap Abdi. Ketika diberitahu akan dibangun MRT yang menghubungkan wilayah Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan), ia langsung mengatakan, Bagus itu, kapan dibangun?. Kondisi di perbatasan Surabaya-Sidoarjo ini juga tak jauh beda di perbatasan Gresik-Surabaya, seperti di sekitar Oso Wilangun yang menjadi titik kepadatan setiap harinya. Begitu juga di Kletek yang merupakan akses utama kendaraan dari Krian dan Mojokerto masuk Surabaya. Solusi Efektif Dr. Machsus, S.T., MT, pakar transportasi asal Institutut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, mendukung keputusan pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang mengambil alih pembangunan Mass Rapid Transportation (MRT) di Surabaya. Menurutnya, tingkat kepadatan dan tingginya mobilisasi masyarakat kota Surabaya dan sekitarnya membuat pentingnya moda transportasi massal sebagai solusi. "Kalau urgensinya, kota-kota besar dengan jumlah penduduk yang padat dan tingkat kemacetan semakin lama semakin tinggi, utamanya pemakaian kendaraan pribadi yang dominan. Solusinya memang angkutan massal seperti MRT," kata Machsus dihubungi Surabaya Pagi, Selasa (26/2/2019). Machsus kemudian mengapresiasi langkah Pemprov Jawa Timur, terkait pengambilalihan rencana pembangunan proyek MRT yang sebelumnya diimpikan Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Menurutnya, pengambilalihan itu merupakan terobosan. Bahkan, ia menilai sangat efektif mengatasi kemacetan lantaran setiap wilayah terintegrasi secara regional. Saat ini kan banyak penduduk Sidoarjo yang aktifitas kesehariannya di Surabaya, ujar dia. Dijelaskan, kalau paradigma berbasis wilayah administrasi teritorial, maka itu tidak efektif mengatasi kemacetan. Pemprov Jatim mengambil inisiatif pengembangan angkutan massal dalam lingkup regional, otomatis memberikan jaminan terintegrasi itu lebih bagus, yang selama ini jadi problem bisa teratasi. "Tidak lagi berdiri secara sendiri-sendiri. Misalnya, Sidoarjo punya angkutan massal sendiri, Surabaya juga, pun Gresik. Kalau misal masyarakat yang ingin menempuh perjalanan diantara ketiga kota ini, maka mereka harus turun di perbatasan kemudian beli tiket lagi,menunggu lagi. Maka kebanyakan masyarakat memilih menggunakan kendaraan pribadi. Nah ini kurang efektif. Kalau misalkan pemerintah provinsi mengambil alih, tentu mekanismenya akan jauh lebih efisien," papar pria yang menjabat Kepala Departemen Teknik Infrastruktur Sipil Fakultas Vokasi ITS ini. MRT Ideal Pakar tata kota ITS, Ir. Putu Rudy Setiawan, M.Sc mengatakan hal senada. Menurutnya. kota besar seperti Surabaya sangat membutuhkan moda transportasi semacam MRT. Tak hanya Surabaya, kota-kota lain yang berada di sekitar kota besar Surabaya juga dirasa perlu, sehingga langkah Pemprov Jatim bersama Kemenhub mengambil alih proyek MRT itu sangat efektif. "MRT moda transpotasi yang sangat perlu untuk kota metropolitan. Mau tidak mau, suka ga suka, Surabaya sebagai kota metropolitan harus punya prasarana itu, papar Putu Rudy dihubungi terpisah, kemarin. Menurutnya, MRT idealnya memberikan layanan secara regional. Seharusnya MRT melayani lintas kota (outward looking), dalam skala wilayah Surabaya Metro Area (SMA). Sementara ini Pemkot hanya inward looking, hanya layani intra kota Surabaya. Ini tidak ideal dan tidak solutif. Kalau kemudian diambil alih Pemprov dan Pusat, saya kira ada harapan lebih baik," tutur Putu Rudy. Tantang Menhub Anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya Vinsensius Awey menyambut baik keputusan Kemenhub menambil alih MRT di Surabaya. Namun ia menantang Kemenhub agar segera merealisasikannya. Kalau hanya sekedar lempar wacana, semua bisa. Kalau itu (MRT) memang bisa direalisasiskan kami sangat menyambut baik keputusan Kemenhub tersebut, ucap Awey dihubungi Selasa (26/2) kemarin. Dukungannya itu, menurut Awey, karena Walikota Surabaya Tri Rismaharini hanya menawarkan pembangunan Trem. Itu pun gagal diwujudkan Risma karena tidak dapat bantuan anggaran dari pusat (APBN). Jika sekarang Pemprov sudah melakukan kajian, MRT ini harus ada kordinasi antar kepala daerah. Nanti setiap kepala daerah bertanggung jawab atas pembebasan lahannya, karena dalam pembangunan moda tranportasi ini (MRT) juga membutuhkan lahan di Surabaya, katanya. Jika diwujudkan dalam waktu dekat, Awey berharap Walikota Tri Rismaharini juga bisa membantu. Sebab, moda transportasi publik ini bukah untuk kepentingan Walikota saja, melaikan untuk kepentingan publik. Ini bukan kepentingan Risma, ini kepentingan public. Jika masa periode wali kota saat ini belum bisa menuntaskan, kan bisa diteruskan wali kota selanjutnya, kata Awey. Sinyal Jokowi Jauh sebelum polemik kemacetan Surabaya, Presiden Joko Widodo menginginkan agar Mass Rapid Transit (MRT) tidak hanya dibangun di Jakarta. Kota-kota besar lainnya juga diharapkan bisa membangun transportasi serupa untuk memberikan pilihan moda transportasi kepada Masyarakat. Menurut Jokowi, daerah-daerah seperti Bandung, Surabaya hingga Medan akan ia dorong untuk memiliki transportasi modern. Karena menurutnya, arus lalu lintas di tiga daerah tersebut sudah terlampau padat sehingga harus ada alternatif moda transportasi baru. "Sebentar lagi Bandung mulai, Surabaya mulai, Medan juga mau mulai, ini transportasi baru buat kurangi kemacetan," ujar Jokowi (6/11/2018). Hingga kemudian, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan akan mengambil alih proyek MRT di Surabaya yang gagal diwujudkan Tri Rismaharini. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU