Home / Hukum & Pengadilan : Sejak Dibentuk Agustus, Hanya Tangani 3 Kasus Tana

SATGAS MAFIA TANAH MANDUL

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 04 Jan 2018 01:40 WIB

SATGAS MAFIA TANAH MANDUL

SURABAYAPAGI.com, Surabaya Satgas Anti Mafia Tanah yang dibentuk Polda Jatim dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kanwil Jatim mulai mendapat sorotan publik. Pasalnya, sejak dibentuk Agustus 2017 lalu, hingga kini belum satu pun perkara yang ditangani berlanjut ke pengadilan. Perkara yang ditangani pun tergolong minim, hanya tiga kasus tanah. Padahal, sejumlah kasus sengketa tanah cukup banyak. Tak hanya di Surabaya, tapi juga daerah-daerah lain di Jatim. Terlebih lagi, ada sekitar 625.000 bidang tanah di Jatim yang belum bersertifikat. Ini belum termasuk yang berstatus kredit macet di bank. Bahkan, Kapolda Jatim Irjen Pol Machfud Arifin pernah menyebut ada 140 kasus sengketa tanah di seluruh Jatim. Sedang di Surabaya terbanyak di daerah barat. ----------- Laporan : Hendarwanto Ibnu F Wibowo, Editor: Ali Mahfud ----------- Data yang diperoleh Surabaya Pagi, ada 11 laporan yang masuk ke Satgas Anti Mafia Tanah. Namun, menurut Kepala Subdit II Hardabangtah Ditreskrimum Polda Jatim, AKBP Yudistira Midyahwan, pihaknya saat ini konsentrasi atas tiga laporan kasus tanah. " Ada tiga laporan polisi yang kita tangani," ujar AKBP Yudistira Midyahwan kepada Surabaya Pagi, kemarin. Kasus pertama dengan nomor aduan BD/872/X/2017 tanggal 6 September 2017. Nama pengadu Fatkur Rahman, terkait dugaan H Achmad Afifudin yang masuk dalam jaringan mafia tanah di wilayah hukum Sidoarjo. Kedua no BD/1024/X/2017 tanggal 13 Oktober 2017, nama pengadu Drs. Slamet Oetomo. Kemudian nomor 03/PMPMHMT/SBY/X/2017 tanggal 5 Oktober 2017 terkait pencabutan sertifikat atas nama Pemkot Surabaya. Terakhir B/1859/XI/2017 tertanggal 16 Nopember 2017 dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Probolinggo no 809/35.13/XI/2017 tertanggal 16 Nopember 2017, terkait menindaklanjuti dari surat CV. Oni Pranata. Semua laporan itu masih tahap proses penyidikan, belum ada yang P21 (berkas sempurna). Menurut Yudistira, pihaknya sudah memanggil para saksi dan meminta bukti yang diperlukan. "Kita tahu penanganan kasus tanah cukup rumit. Dibutuhkan kecermatan," alasan perwira dengan dua melati di pundak ini. Kami berharap mereka yang berperkara bisa membantu kerja kepolisian dalam menangani kasus tanah, imbuh dia. Kinerja Satgas Anti mafia Tanah ini cukup jauh dengan harapan Kapolda Jatim Irjen Pol Machfud Arifin saat penandatanganan pembentukan Satgas Anti Mafia Tanah di Hotel JW Marriott, Surabaya, 2 Agustus 2017. Irjen Machfud saat itu menegaskan dengan adanya Satgas Anti Mafia Tanah, bisa menindaklanjuti persoalan tanah yang terjadi di masyarakat. Menurutnya, ada lima poin yang akan dilakukan Satgas Anti Mafia Tanah, diantaranya persoalan tata ruang, pertanahan, hingga pidana pertanahan. "Ini (kasus) banyak terjadi di Surabaya dan daerah lain di Jawa Timur. Dengan adanya satgas anti mafia tanah, akan kita atasi bersama. Dengan sinergitas antara Polda Jatim dan Kanwil BPN, serta kantor BPN di seluruh kabupaten dan kota dengan polres-polres, kita bersama-sama memerangi ini," papar Kapolda kala itu. Jenderal bintang dua kelahiran Ketintang ini menambahkan, banyak orang memiliki sertifikat, tapi diakui oleh orang lain. Ia menyebut jika di Surabaya banyak sengketa lahan. Seperti kasus di wilayah Surabaya barat. Sengketa tanah di seluruh Jatim ada 140 kasus. "Di Surabaya modusnya sa abrek (banyak). Mafia-mafia tanah dan oknum-oknum akan kita tangani," janji Kapolda saat itu di hadapan para Kapolres se Jatim. Mafia Tanah Melihat kinerja Satgas Anti Mafia Tanah itu, advokat M. Sholeh heran. Ia mengakui minimnya penuntasan kasus dari Satgas Anti Mafia Tanah, memang perlu dilihat dari beberarapa sisi. "Ini tidak sampai P21 karena apa. Kalau karena kurang bukti, ya saya tidak bisa berkomentar. Tapi kalau karena penyidiknya malas, ya itu harus ditindak," tandas Sholeh dikonfirmasi terpisah, kemarin (3/1/2018). Menurutnya, penyidik harus kerja keras karena kasus pertanahan membutuhkan data yang akurat. Sebab, dalam sejumlah kasus pertanahan yang ia tangani, banyak mafia tanah yang bermain. "Banyak praktik mafia yang bermain bersama oknum-oknum BPN. Seperti kasus yang pernah saya tangani di Sidoarjo, ada pasangan suami-istri yang sudah menjual tanahnya. Karena mereka bercerai, lalu si suami memblock sertifikat tanah dan itu disetujui sama BPN. Kan nggak mungkin bisa itu seharusnya," tegasnya. Hal sama diungkapkan pakar hukum Universitas Surabaya (Ubaya) Sudiman Sidabukke. Ia memandang bahwa kaitan permainan mafia tanah yang terjadi saat ini sudah sedemikian parah. Hal tersebut menurutnya bertalian erat dengan teori supply and demand. "Pemain mafia tanah ini biasanya jaringan yang berasal dari pemilik modal. Mereka yang memiliki modal kuat dan bersedia untuk membayar lebih. Itu dulu pemicunya," ungkap Sudiman, secara terpisah. Peran vital PPAT sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam urusan pertanahan ini dipandang oleh pria yang juga berprofesi sebagai praktisi hukum sangat rentan untuk menjadi oknum mafia tanah. "Karena itu kan pekerjaan mereka sehari-hari. Mereka yang bersinggungan dengan kaitan pertanahan langsung," jelas Sudiman. "Ditambah lagi, PPAT ini kan sering kali juga punya jaringan yang luas di BPN sebagai sentral urusan pertanahan. Apabila pemilik modal, oknum PPAT, dan oknum BPN ini berkongsi jahat, maka itu akan runyam," tambahnya. Terkait lambatnya proses penyidikan dari Satgas Anti Mafia Tanah, menurut Sudiman hal tersebut sering kali dikarenakan minimnya SDM di lingkungan Kepolisian yang paham akan hukum agraria atau pertanahan. "Pengalaman saya, di level Polsek atau Polres itu yang paham hampir tidak ada. Di level Polda pun jumlahnya sedikit. Harusnya, ada penyidik yang mengkhususkan diri pada bidang hukum agraria atau pertanahan untuk mempercepat proses penyidikan," tegas Sudiman. "Mereka yang ada dengan pemahaman minim ini pun, kalau kita dari praktisi yang kasih input, nggak akan mau nerima ini mereka," tandas Sudiman. Tidak Pro Aktif Koordinator Malang Corruption Watch (MCW) Fahruddin mempertanyakan kinerja Satgas Anti Mafia Tanah yang terkesan mandul. "Kalau melihat jumlahnya LP tentu patut kita bertanya tanya, hasil gelar perkaranya gimana? Kalau cuman yang diinfokan itu saja, ya susah menilainya," katanya. Kepolisian harusnya mampu menindaklanjuti LP dan secara terbuka terus memberikan SP2HP kepada pelapor," lanjut Fahruddin. Menurutnya, dalam beberapa kasus yang diadvokasi oleh MCW, Kepolisian cenderung tidak pro aktif memberikan SP2HP kepada Pelapor. Itu yang mengakibatkan pelapor sering pesimis terhadap kinerja Kepolisian. Terkait kasus pertanahan sendiri, lanjut Fahruddin, MCW selama ini masih mendapatkan temuan terkait kasus Prona. "Juga soal ruislag tanah. Terutamanya soal pungutan di kasus itu, banyak. Beberapa sudah disampaikan kepada kepolisian, tapi ya kembali lagi ke penanganan di kepolisian," tutur dia. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU