Home / Surabaya : Persoalan Tunjungan Belum Tuntas, kini Revitalisas

Risma Dikritik Lagi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 22 Jan 2019 08:56 WIB

Risma Dikritik Lagi

Prila Sherly-Alqomar, Wartawan Surabaya Pagi Sisa dua tahun memimpin Surabaya, Walikota Tri Rismaharini tak lepas dari kontroversi. Belum tuntas revitalisasi Tunjungan, kepala daerah yang telah menjadi kader PDIP ini juga merevitalisasi kawasan kota tua di Surabaya utara. Seperti di Jalan Panggung, Karet, dan Kembang Jepun. Namun revitalisasi ini tak berjalan mulus. Bahkan menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat. Mulai anggota DPRD Surabaya, pengamat sejarah dan komunitas pemerhati budaya, yang merasa tidak dilibatkan dalam merevitalisasi kawasan kota tua. ------ Kritik itu dilontarkan setelah Pemkot Surabaya memulai revitalisasi kota tua dengan pengecetan warna-warni bangunan lama peninggalan Belanda. Seperti tampak di Jalan Panggung. Warna-warna yang tampak di sejumlah bangunan rumah itu, seperti kampung warna-warni nelayan di Kenjeran. Pengecatan ini dinilai tidak mencerminkan kawasan heritage. Kuncarsono Prasetya, insiator komunitas Pegandring memberikan masukan kepada Pemkot Surabaya agar tidak terjadi lagi kesalahan seperti di Jalan Panggung dalam rangka revitalisasi. Menurutnya, hal yang harus diperhatikan adalah pembuatan desain pemilihan warna dan partisipasi publik, termasuk juga pakar maupun komunitas komunitas. "Ini kan bukan kampung kumuh yang dasarnya dicat warna-warni, ini kawasan sejarah, artinya banyak yang harus dipertimbangkan," ujar Kuncarsono. Pantauan di Jalan Panggung, banyak gedung tua di kawasan ini. Pasar Pabean, misalnya. Dikenal sebagai salah satu pasar modern tertua di era Hindia Belanda. Kawasan ini ada Menara Pandang Kalimas yang unik karena terletak di pinggir sungai dan disebut-sebut sudah ada sebelum Pelabuhan Tanjung Perak berdiri. Karena itulah, Firman selaku admin dari Surabaya Tempo Dulu, komunitas pemerhati heritage Surabaya mengaku prihatin dengan yang terjadi di Jalan Panggung. Ia menyayangkan Pemkot Surabaya yang menyatakan bahwa pengecetan itu atas permintaan warga. Padahal kenyataannya tidak. Kami tidak diajak berdiskusi mengenai revitalisasi ini, padahal kami sendiri juga telah menggunakan software sedemikian rupa agar melihat warna asli dari bangunan, papar Firman kepada Surabaya Pagi, Senin (21/1/2019). Ternyata, lanjut dia, Pemkot sudah memiliki warna yang disepakati seperti krem, hitam, dan coklat. Namun, Firman menyesalkan yang terjadi pada kenyataannya akibat kurang pengawasan. Di Jalan Panggung, ketika ada proses pengecatan ternyata catnya warna warni bukan yang telah disepakati. Saya ingin agar tim cagar budaya Pemkot Surabaya ke depannya harus aktif berkomunikasi dengan teman-teman komunitas. Selain itu, pentingnya keaktifan masyarakat dalam isu (revitalisasi kota tua, red) ini. Tidak hanya itu, seharusnya revitalisasi bukan persoalan cat saja, melainkan aspek lainnya seperti penyediaan wifi dan sebagainya, tambahnya. **foto** Substansi Revitalisasi Adnan Perkasa, dosen Ilmu Sejarah di Universitas Airlangga (Unair) menjabarkan mengenai arti revitalisasi pada tingkat cagar budaya yaitu perlindungan, pengembangan, dan kemanfaatan. Namun, saat ini pihak Pemerintah Kota Surabaya hanya sampai pada tahap pengembangan, tanpa memperhatikan aspek aspek lainnya. Ujung dari pelestarian harusnya dilindungi bukan sebaliknya, terang Adnan dihubungi terpisah. Revitalisasi, menurut Adnan Perkasa juga harus memperhatikan hal penting seperti tidak boleh menyingkirkan yang sudah ada dan menggusur para pedagang di kawasan tersebut. Untuk bangunan yang dianggap telah mati tanpa pemilik, bisa dihidupkan kembali dengan digunakan sebagai ekonomi kreatif berbasis budaya atau art center. Sedangkan, Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair) menambahkan revitalisasi memang harus dilakukan di kawasan kota tua. Yang paling penting dalam revitalisasi adalah bagaimana caranya Pemkot mampu memberdayakan kawasan tersebut. Salah satunya dengan bekerja sama dengan travel agent dan mampu memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pelibatan teknologi di dalamnya, ujarnya. Tjiptohadi juga menekankan masyarakat tidak perlu khawatir akan terjadinya penggusuran di berbagai tempat. Pada kenyataannya, seperti pasar modern Jakarta ternyata berhasil diberdayakan dengan baik. Tidak hanya mampu menanggulangi bau amis dari ikan, melainkan juga bisa pemanfaatan teknologi. Jalan Karet Dicat Kawasan kota tua Surabaya terkenal dengan berbagai bisnis perdagangan yang berlangsung hingga saat ini. Di Jalan Panggung dengan adanya pasar ikan, toko buku, dan parfum menjadi ciri khasnya yang tidak bisa ditinggalkan. Sedangkan, di Jalan Karet dengan kekhasan pada toko-toko besar, bank, dan sebagainya. Lalu, di Kembang Jepun lebih beragam lagi menampilkan campuran antara kekhasan budaya Tiongkok dengan Arab. Ketika Surabaya Pagi melakukan pantauan di kawasan Jalan Karet, Senin (21/1/2019) sekitar pukul 10.00, ternyata ada petugas dari Pemkot Surabaya yang sedang mengecat bangunan lama. Namun, bedanya dengan Jalan Panggung, pengecatan menggunakan cat warna aslinya. Bukan warna warni seperti di Jalan Panggung. Ternyata revitalisasi kawasan kota tua Surabaya mulai dilanjutkan di Jalan Karet dengan mempertahankan keaslian warna. Namun, Syai, selaku Ketua RT Jalan Karet mengaku tidak mengetahui rencana pengecatan tersebut. Tiba-tiba pihak Pemerintah Kota Surabaya mengecat kawasan tersebut. "Saya tidak tahu tiba tiba saja ada petugasnya yang mengecat. Tapi kalau misalnya akan diberikan cat warna warni, jelas saya menolak, ini kan bangunan bersejarah," ungkapnya kepada Surabaya Pagi ditemui di rumahnya, kemarin. **foto** Konsep Kota Tua Menanggapi hal itu, anggota Komisi C DPRD Surabaya Vinsensius Awey juga mengkritik pengcetan warna-warni pada bangunan tua. Menurutnya, hal itu tidak serasi dengan estetika sebagai kawasan kota tua. "Warna-warna yang tampak di sejumlah bangunan rumah yang sudah dipoles cat seperti kampung warna-warni nelayan yang ada di Kenjeran," katanya. Padahal, lanjut dia, semestinya Pemkot Surabaya bisa melakukan intervensi dengan mengajak warga dan pegiat sejarah duduk bersama guna menjelaskan atmosfer yang ditampilkan pada kampung yang masuk kota tua. "Karena menurut penjelasan Prof. Johan Silas. Meski tim cagar budaya sudah memiliki konsep warna, namun keinginan warga sebagai pemilik bangunan justru berbeda," papar politisi Partai Nasdem ini. Ia menyampaikan dari sejumlah bangunan yang ada Jalan Panggung, tersisa empat bangunan yang belum dicat. Nantinya, di empat bangunan tersebut, pengecatannya diupayakan selaras dengan konsep kota tua. "Jangan sampai kalau kita klik di google Kota tua di Surabaya yang muncul warna-warni rumahnya seperti Barbie Dream House," cetus Awey. Pengecatan bangunan rumah warga di Kampung Melayu yang ada di Jalan Panggung menggunakan dana Corporate Social Responsibility (CSR) karena berdasarkan Perda 5 Tahun 2005 tentang Pelestarian Bangunan dan Lingkungan Cagar Budaya, dana APBD tak bisa digunakan untuk persil. Namun demikian, menurut Awey, revitalisasi kawasan kota tua yang ada di Surabaya utara juga menggunakan dana APBD. Beberapa OPD ikut ambil bagian dalam program pembangunannya, seperti Dinas PU Bina Marga dan Pematusan yang akan mengerjakan trotoar, Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau menangani penerangan Jalan Umum (PJU). Menurut Awey, konsep pembangunan kawasan kota tua ada tiga yakni pelestarian bangunan atau kawasan yang ada karena memiliki nilai historis, arsitektur dan ekonomi, kemudian pengembangan dan bisa dimanfaatkan. Karena itu, agar proses revitalisasi tak seperti di Jalan Panggung, ia berharap Pemkot menyampaikan gagasannya dengan mempertontonkan visualisasinya dahulu. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU