Risma Diduga Remehkan Budaya dan Sejarah Arek Suroboyo

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 17 Jul 2019 07:45 WIB

Risma Diduga Remehkan Budaya dan Sejarah Arek Suroboyo

Menelusuri Jejak Bangunan Cagar Budaya di Surabaya yang Kini Sudah Lenyap (1) Laporan Tim Investigasi Surabaya Pagi Sejak dipimpin Walikota Surabaya Tri Rismaharini pada 2010 silam, sejumlah gedung menjulang di kota Surabaya, bertebaran. Entah itu hotel, apartemen, pusat perbelanjaan (mall dan ruko) maupun gedung perkantoran lainnya. Semuanya itu dimiliki orang-orang kaya alias pengusaha, yang mayoritas kalangan Tionghoa. Namun ironis, di era Risma pula identitas Surabaya sebagai kota Pahlawan, cenderung memudar. Pasalnya, sejumlah bangunan bersejarah dan telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya, justru tak diperhatikan Tri Rismaharini. Bahkan, ada yang dirusak dan dibongkar. Sebut saja Rumah Radio Bung Tomo di Jalan Mawar No 10, Surabaya dirobohkan oleh pihak PT Jayanata pada Mei 2016. Lalu, dihancurkannya bangunan Sinagog Jalan Kayon, yang kini berdiri hotel bintang empat bernama Grand Dafam. Begitu juga Toko Nam di Jalan Embong Malang dan Toko Metro di Jalan Tunjungan, dihancurkan dan beralihfungsi menjadi gedung pusat perdagangan. Penjara Kali Sosok yang legendaris pun, tak diurus. Ahli sejarah, budayawan, dan aktivis pecinta cagar budaya Surabaya menyesalkan Walikota Tri Rismaharini yang memipin Surabaya dua periode, berindikasi meremehkan budaya dan sejarah Surabaya. Ada apa? Benarkah ini murni tidak hormati sejarah atau ada bargaining bisnis dengan pemodal? Tim investigasi Wartawan Surabaya Pagi yang terdiri Miftachul Ilmi, Achmad Fathoni, Ali Mahfud, Raditya M. Khadaffi , melakukan pelacakan dan menemui pelaku sejarah sampai undercover. Berikut tulisan pertamanya. Kota Surabaya yang memiliki sebutan Kota Pahlawan sebenarnya memiliki banyak peninggalan bangunan cagar budaya (BCB). Setidaknya, ada 160-an bangunan kuno yang sudah ditetapkan sebagai BCB oleh Pemkot Surabaya sebagai bangunan yang harus dilindungi dan dilestarikan. Hanya saja, kebanyakan dari bangunan itu dikuasai swasta. Dampaknya, upaya pelestarian bangunan cagar budaya seperti diatur dalam Undang Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan UU Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, terabaikan. Kota Surabaya juga memiliki sejumlah aturan terkait cagar budaya. Diantaranya, Peraturan Daerah (Perda) Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pelestarian Bangunan Dan/Atau Lingkungan Cagar Budaya. Namun faktanya, sejumlah bangunan cagar budaya malah dihancurkan dan dialihfungsikan menjadi bangunan untuk aktivitas bisnis, yang berbau hedonis. Seperti pembongkaran rumah bekas tempat pemancar radio Bung Tomo pada era revolusi kemerdekaan di Jalan Mawar No 10, Kecamatan Tegalsari, Kota Surabaya. Bangunan yang berdiri di atas lahan 15 x 30 meter persegi itu, hancur dan rata dengan tanah pada awal Mei 2016. Tanah dan bangunan ini dikuasai oleh PT Jayanata Kosmetika Prima yang dibeli dari pemilik sebelumnya bernama Narindrani. Saat istri Pahlawan Nasional Sutomo atau Bung Tomo, yakni Sulistina menghembuskan nafas terakhirnya pada Agustus 2016 silam, Wali Kota Tri Rismaharini belum juga menyelesaikan kasus pembongkaran gedung bersejarah itu. Bahkan, hingga sekarang ini janji Risma membangun kembali rumah radio Bung Tomo belum juga diwujudkan. PantauanTim Surabaya Pagi,Senin (15/7/2019), lokasi bekas rumah radio Bung Tomo yang hancur itu kini ditutupi dengan pagar seng dengan tinggi sekitar 4 meter. SaatSurabaya Pagi melihat dari celah-celah pagar seng, terlihat ada beberapa pekerja yang melakukan proses pembangunan. Sekilas terlihat para pekerja itu membangun rumah. Untuk memastikan apakah bangunan yang tengah digarap itu rekonstruksi Rumah Radio Bung Tomo atau bukan,Surabaya Pagi mencoba masuk menerobos pagar agar bisa masuk ke dalam. Sayangnya, petugas keamanan di sana melarangSurabaya Pagi memasuki area tersebut. "Ini kan sudah hak milik Jayanata mas,sampean harus izin dulu. Kalau diperbolehkan,sampean baru boleh masuk ke sini," ucap Didik, petugas keamanan Jayanata. Setelah melakukan kordinasi dengan pihak keamanan Jayanata, ternyataSurabaya Pagi dilarang masuk area bekas bangunan Rumah Radio Bung Tomo. Menurut petugas di sana, larangan itu menjadi perintah dari manajemen PT Jayanata. Siapapun dilarang masuk tanpa adanya izin dari pemilik lahan. Kalau saya mengizinkan masuk, takut kena marah. Sebab itu pesan pemiliknya, kalau foto di luar saja silakan," tutur Didik **foto** ***** Menurut sejumlah ahli sejarah dan pecinta cagar budaya Surabaya. rumah Radio Bung Tomo ini menyimpan sejarah perlawanan bangsa Indonesia dalam perang melawan sekutu di Surabaya 53 tahun silam. Di salah satu ruang di rumah itu, pejuang asal Surabaya, yakni Bung Tomo, mendirikan studio Radio Pemberontakan Republik Indonesia dengan pemancar portabel. Studio itu terpaksa diciptakan karena RRI saat itu masih ragu dengan sepak terjang Bung Tomo. Dari ruang itulah, perang 10 November kemudian berkobar. Dari ruang itu, ratusan ribu pejuang Surabaya tersulut semangatnya untuk mengangkat senjata berperang melawan penjajah pada 10 November 1945 hingga Surabaya dijuluki Kota Pahlawan. Namun jejak sejarah itu kini benar-benar hilang. Tak hanya bangunannya yang sudah hancur. Namun Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya pada Desember 2016, juga mengabulkan permohonan PT Jayanata, selaku pemilik lahan dan bangunan rumah, atas penghapusan surat keputusan (SK) cagar budaya bangunan bersejarah. Rumah Radio Bung Tomo ini ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya melalui SK Wali Kota Surabaya No 188.45 Tahun 1998. Dengan dikabulkannya permohonan itu, proses hukum terhadap pembongkaran Rumah Radio Bung Tomo yang dilaporkan ke Polrestabes Surabaya, juga tak dilanjutkan. Sementara Walikota Surabaya Tri Rismaharini, juga belum menunaikan janjinya membangun kembali rumah Radio Bung Tomo seperti bangunan sebelum dibongkar oleh PT Jayanata. ***** Tak hanya Rumah Radio Bung Tomo yang hancur. Dulu, Surabaya juga memiliki satu-satunya bangunan Sinagog di Indonesia. Lokasinya di Jalan Kayon no 2 4 Surabaya. Sayangnya, tempat ibadah agama Yahudi yang berdiri sejak era kolonial Belanda itu, kini sudah dibongkar. Padahal, Sinagog tersebut seharusnya bisa dijadikan sebagai saksi sejarah, tentang persentuhan antara Yahudi dengan Indonesia di masa silam. Bangunan Sinagog itu berupa rumah, namun berartistik Eropa. **foto** Senin (15/7) kemarin,Surabaya Pagi melakukan penelusuran terhadap jejak bangunan bersejarah itu. Ternyata, tidak sulit menemukan lokasi bekas Sinagog. Letaknya di ujung Jalan Kayoon. Mendekati pertigaan Jalan Pemuda. Tepatnya, sekitar 500 meter dari Monumen Kapal Selam. Namun, ketika sampai di lokasi, Sinagog legendaris sudah tidak tampak. Lahan bekas Sinagog yang memiliki luas sekitar 70 meter persegi itu berubah menjadi bangunan gedung pencakar langit, Hotel Grand Dafam. Penginapan bintang empat ini, memiliki tinggi 17 lantai dengan jumlah 179 kamar. Sedangkan luas total bangunannya adalah 1600 meter persegi. Surabaya Pagi belum mengetahui, kapan persisnya Sinagog dibongkar. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan security hotel, groundbreaking Hotel Grand Dafam baru dilakukan sekitar tiga tahun lalu, tepatnya 10 September 2015. Ini berarti Tri Rismaharini sudah menjadi Walikota Surabaya. Memang lahan tempat berdirinya hotel ini, dulunya Sinagog mas. Tapi sekarang, sudah nggak ada. Semenjak hotel ini dibangun sekitar tiga tahun lalu, ungkap Ferdian, security Hotel Grand Dafam. ****** Baktiono, anggota Komisi B DPRD Kota Surabaya menilai Pemkot Surabaya tidak tegas dalam menindak para perusak cagar budaya. Tidak hanya Toko Nam yang kini berdiri Tunjungan Plaza 5. Banyak bangunan bersejarah lain yang juga dibiarkan tersingkir oleh pembangunan gedung baru. Lha gimana? Wong pemerintahnya (Walikota Tri Rismaharini) nggak tegas. Nggak hanya Toko Nam saja yang amblas. Misalnya, Sinagog kuno di Jalan Kayoon juga dibiarkan roboh dan diganti dengan hotel megah. Lalu ada Rumah Radio Bung Tomo di Jalan Mawar, yang dirobohkan oleh perusahaan swasta di bidang kecantikan, PT Jayanata, pertengahan tahun 2016 lalu, ujarnya. Kalau begini terus lama lama bangunan bersejarah di Surabaya bisa habis. Pemerintah memang kurang serius melestarikan cagar budaya. Kantor Walikota saja, catnya selalu berubah ubah. Padahal itu cagar budaya golongan A, yang bentuk dan bahkan catnya nggak boleh diubah, tandas Baktiono yang terpilih lagi sebagai anggota DPRD kota Surabaya periode 2019-2024 pada Pileg 2019 lalu. Senada diungkapkan Tjuk Sukiadi. Budayawan Surabaya yang juga pakar ekonomi Unair ini menuntut Pemkot Surabaya tegas menindak para perusak cagar budaya. Dia mendesak Pemkot untuk menggunakan hak pengaturan kota. Kita ini selalu protes kalau ada tindakan perusakan cagar budaya. Misalnya runtuhnya Radio Bung Tomo itu, kami tentang betul. Tapi, kami ini paling banter cuma bisa protes. Yang bisa mengeksekusikan Pemkot. Pemkot harus tegas. Hukum harus ditegakkan, tegas Tjuk Sukiadi. Saat ini, lanjut dia, Pemkot harus lebih ketat dalam menjaga cagar budaya. Perlu mengontrol dengan seksama, pembelian lahan dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di kawasan cagar budaya. Kalau ada yang ngajukan izin perubahan cagar budaya, ya harus ditolak. Setiap pembelian harus dimonitor. Harus cepat mengendus rencana perusakan cagar budaya, tandasnya. Selain itu, Tjuk Sukiadi meminta Pemkot perlu memahami dengan benar sejarah Surabaya. Supaya tidak keliru dalam menindak perusak cagar budaya dan melakukan pembangunan kota. Sebab, ini berkaitan dengan sejarah dan warisan budaya terhadap generasi mendatang. Misalnya, sekarang Risma (Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya) rencananya mau bikin alun alun di depan Balai Pemuda. Itu nggak benar. (Surabaya) Ini kota, bukan kabupaten. Alun alun kan peninggalan Belanda. Settingan Belanda. Kota memang nggak punya alun alun. Itu berarti Risma nggak ngerti sejarah. Mestinya dibangun saja misalnya lapangan perjuangan pemuda. Untuk memperingati pemuda - pemuda yang gugur pada 10 November 45, ujarnya. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU