Pro-Kontra Hak Pilih Bagi Orang Gila, Berpotensi Disalah Gunakan

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 27 Nov 2018 10:47 WIB

Pro-Kontra Hak Pilih Bagi Orang Gila, Berpotensi Disalah Gunakan

SURABAYAPAGI.com, Jakarta - Komisioner KPU Pusat Hasyim Asyari mengatakan penyelenggara pemilu tetap melayani hak pilih penyandang disabilitas, termasuk penyandang disabilitas mental atau orang yang mengalami gangguan jiwa. Khusus untuk disabiliti mental (sakit jiwa), tetap didaftar (sebagai pemilih). Hanya saja penggunaan hak pilih pada hari-H sesuai dengan rekomendasi dokter yang merawatnya, ujar Hasyim, beberapa kesempatan lalu. Menurut Hasyim, bila pada saat pemungutan suara Pemilu 2019 penyandang disabilitas mental dinyatakan waras oleh dokter yang menangani, maka dimungkinkan menggunakan hak pilih. Pendataan disabiliti mental tentu lihat situasi dan kondisi. Bila saat pendataan sedang kumat, tentu tidak mungkin ditanya sendiri, ucapnya. Pendataan, kata Hasyim, akan dilakukan dengan menanyakan kepada keluarga, dokter, atau petugas medis yang menangani penyandang disabilitas mental. Jadi, penyandang disabiliti mental yang memungkinkan didaftar adalah hanya yang berada di rumah kumpul keluarga atau sedang dirawat di rumah sakit jiwa atau panti, katanya. Hasyim mengatakan, penyandang disabilitas mental pada dasarnya tak dapat melakukan tindakan hukum, sehingga tindakannya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Sementara hubungan hukum pada dasarnya adalah hubungan pertanggungjawaban. Menurutnya, dalam hukum, perlakuan terhadap penyandang disabilitas mental dianggap sama dengan perlakuan terhadap anak di bawah umur. Yaitu, dianggap belum dewasa atau tidak cakap melakukan tindakan hukum. Karena itu dalam pengampuan oleh wali atau keluarga yang dewasa atau cakap secara hukum. Itulah alasan kenapa dalam hal penggunaan hak pilih, disability mental harus ada penjamin oleh pihak yang punya otoritas (dokter) bahwa yang bersangkutan pada hari-H sedang waras dan karenanya cakap melakukan tindakan hukum untuk memilih. Pengamat politik, Wempy Hadir menilai setiap warga negara memang memiliki hak yang sama dalam konstitusi, termasuk untuk orang yang menderita gangguan jiwa. Namun Wempy mewanti-wanti bahwa KPU harus menetapkan standar yang jelas untuk orang-orang yang disebut gila itu. Pasalnya suara dari penderita gangguan jiwa berpotensi disalahgunakan oleh oknum politikus busuk. Sangat rawan jika orang dengan gangguan jiwa diberikan hak politik maka bias saja hak politik mereka dimanfaatkan oleh orang lain demi kepentingan tertentu. Kata Wempy kepada wartawan, kemarin. Wempy berpendapat dengan tidak memberikan hak politik bagi penderita gangguan jiwa merupakan langkah preventif agar tidak ada penyalahgunaan suara. Ini bukan tentang diskriminasi, tapi langkah preventif agar tidak ada penyalahgunaan suara. Ujar pengamat dari indopolling ini. Wempy menilai ada yang perlu dijelaskan kembali dalam konstitusi sehingga tidak menimbulkan perdebatan di ruang publik. Sebelumnya banyak juga politisi dan para tokoh yang menyayangkan terkait keputusan ini. Seperti missal Fadli Zon dalam kesempatannya, Semestinya ada kriteria standar yang ditetapkan secara medik. Siapa yang punya hak pilih, siapa yang tidak. Saya kira, ini kita harus berpegang pada standar itu, karena kalau tidak, nanti kita akan mengikuti polemik yang tidak perlu, kata Wakil Ketua DPR-RI Fadli Zon di Jakarta. Kondisi seperti ini, kata Fadli Zon, membuat masyarakat bertanya-tanya, kenapa orang yang kondisi kejiwaannya tidak sehat dipaksakan untuk memenuhi hak pilih. Sementara, banyak masyarakat yang namanya belum terdaftar sebagai daftar pemilih tetap (DPT), dan juga ada yang belum mendapat undangan memilih, hal ini harus menjadi perhatian penyelenggara pemilu dan pemerintah. Jk

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU