Profesi Advokat dan Masalah Pidana Pencucian Uang

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 02 Okt 2017 23:01 WIB

Profesi Advokat dan Masalah Pidana Pencucian Uang

Advokat sebagai pemberi jasa hukum dalam melaksanakan tugasnya mengacu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia. Namun, dalam perjalanannya tak jarang ada aturan hukum saling bertentangan, sehingga menjadi polemik ketika menjalankan tugas profesi advokat. Lalu bagaimana jika klien diduga tersangkut dengan kasus tindak pidana seperti korupsi, terorisme ataupun pencucian uang? Dalam Pasal 19 ayat (1) UU Advokat, profesi ini diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Ayat (2)-nya berbunyi advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumen terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik. Selain itu, dalam alinea kedua pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia disebut advokat adalah profesi terhormat yang dalam menjalankan profesi berada di bawah perlindungan hukum, undang-undang, dan kode etik, memiliki kebebasan yang didasarkan pada kehormatan, kepribadian yang berpegang teguh pada kemandirian, kejujuran, kerahasiaan dan keterbukaan. Dalam Pasal 4 huruf h Kode Etik Advokat Indonesia juga disebutkan advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah hubungannya dengan klien berakhir. Hindari Jeratan TPPU Profesi advokat, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), akuntan publik, dan perencana keuangan disebut sebagai pihak pelapor dalam Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Definisi pelapor menurut Pasal 1 angka 3 UU TPPU disebutkan setiap orang yang menurut peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) wajib menyampaikan laporan kepada PPATK. UU TPPU itu hanya menyangkut dua pokok, yaitu mengenal pengguna jasa atau Know Your Customer (KYC) dan Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM). Penerapan pengguna jasa atau KYC ditetapkan oleh setiap lembaga pengawas dan pengatur seperti yang dimaksud dalam UU TPPU. Namun, jika lembaga itu belum ada, maka menjadi tugas PPATK untuk mengawasi. Masalahnya, apa profesi advokat bersedia melakukan KYC?. Ketika ada sebuah firma hukum luar negeri yang ingin menggunakan kantor hukumnya karena ada transaksi yang berhubungan dengan Indonesia. Dan firma hukum tersebut lantas mengirimkan formulir KYC ke kantor hukumnya. Hal ini firma hukum di luar negeri itu telah menerapkan prinsip dan standar KYC dalam melaksanakan profesinya. Sayangnya, di Indonesia profesi advokat belum menerapkan hal itu. Karena itu organisasi seperti HKHPM (Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal) bisa menyusun formulir standar mengenai KYC. Hal itu bentuk prinsip kehati-hatian guna mengetahui siapa yang akan menjadi pengguna jasa advokat. Dengan begitu, advokat dapat terhindar dari tudingan turut serta dalam TPPU. Transaksi Keuangan Mencurigakan Selain KYC, dalam pencucian uang ada istilah Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM). Tidak semua advokat mempunyai kemampuan maupun kewenangan untuk menginvestigasi adanya temuan TKM seperti aparat penegak hukum lain ataupun PPATK. Hal yang harus diwaspadai, jangan sampai Advokat dimanfaatkan menjadi perpanjangan tangan langsung pengguna jasa (klien). Sebab dikhawatirkan advokat itu justru seolah membantu pengguna jasa yang terindikasi melakukan pidana pencucian uang. Sebab, jika menjadi perpanjangan tangan langsung seperti diatur Pasal 3 ayat (2) Peraturan Kepala PPATK Nomor 11 Tahun 2016, advokat ini bukan dianggap sebagai pemberi jasa hukum, tetapi bagian dari legal owner. Jika prosesnya pengguna jasa menolak mematuhi prinsip KYC yang ditawarkan profesi hukum baik itu advokat, PPAT, notaris, ataupun profesi lain yang masuk kriteria pelapor itu yang juga meragukan kebenaran informasi yang disampaikan pengguna jasa, maka penyedia jasa wajib memutuskan hubungan dengan pengguna jasa tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 22 UU Nomor 8 tahun 2010 juncto Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kepala PPATK Nomor 7 Tahun 2017. Ayat (2)-nya disebutkan sebagaimana dimaksud ayat (1) jika melakukan hubungan pemutusan, maka wajib melaporkannya kepada PPATK. (ho)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU