Prabowo: Kemenkeu Mesin Pencetak Utang

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 28 Jan 2019 15:07 WIB

Prabowo: Kemenkeu Mesin Pencetak Utang

SURABAYAPAGI.com - Pernyataan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto kembali menyita perhatian publik. Masih soal utang, Prabowo mengatakan utang pemerintah terus menumpuk. Sebab itu, Prabowo mengatakan, tak perlu lagi menyebut Menteri Keuangan (Menkeu) tapi Menteri Pencetak Utang. "Kalau menurut saya, jangan disebut lagilah ada Menteri Keuangan, mungkin Menteri Pencetak Utang. Bangga untuk utang, yang suruh bayar orang lain," ujar Prabowo dalam acara dukungan alumni perguruan tinggi di Padepokan Pencak Silat, Taman Mini, Jakarta Timur, Sabtu (25/1/2019). Bukan hanya itu, Prabowo juga mengibaratkan utang saat ini seperti penyakit tahap stadium lanjut. Sebagaimana diketahui, dari data APBN KiTa Kementerian Keuangan (Kemenkeu) utang pemerintah pada Desember 2018 sebesar Rp 4.418,30 triliun. Angka ini naik Rp 22,33 triliun dari bulan November yang sebesar Rp 4.395,97 triliun. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nufransa Wira Sakti mengatakan, pernyataan Prabowo terkait Menteri Pencetak Utang menciderai perasaan pegawai yang bekerja di Kemenkeu. "Apa yang disampaikan oleh Calon Presiden Prabowo: Jangan lagi ada penyebutan Menteri Keuangan (Menkeu), melainkan diganti jadi Menteri Pencetak Utang, sangat menciderai perasaan kami yang bekerja di Kementerian Keuangan," katanya dalam keterangan tertulis, Minggu (27/1/2019). Dia menerangkan, Kementerian Keuangan merupakan institusi negara. Sehingga, tak sepantasnya dihina maupun diolok-olok. "Kementerian Keuangan adalah sebuah institusi negara yang penamaan, tugas dan fungsinya diatur oleh Undang-undang. Siapapun tidak sepantasnya melakukan penghinaan atau mengolok-olok nama sebuah institusi negara yang dilindungi oleh Undang-undang, apalagi seorang Calon Presiden," paparnya. Lebih lanjut, dia menerangkan, pengelolaan utang diatur dalam undang-undang dan dengan persetujuan DPR. Lalu, dibahas secara mendalam dan teliti. "Utang adalah bagian dari pembiayaan yang merupakan bagian dari kebijakan fiskal (APBN). Kebijakan fiskal dan APBN adalah alat untuk menjaga perekonomian dan alat untuk memakmurkan rakyat dan mencapai tujuan bernegara," ujarnya. "APBN dituangkan dalam UU yang merupakan produk bersama antara pemerintah dan semua partai yang berada di DPR," tambahnya. Nufransa Wira Sakti menerangkan, keuangan negara dalam kondisi sehat. Dia pun menepis utang negara dalam stadium lanjut. Dia bilang, pengelolaan utang diatur dalam undang-undang dan pengajuannya harus melalui persetujuan DPR. Serta, dibahas secara mendalam dan teliti. "APBN dituangkan dalam Undang-undang (UU) yang merupakan produk bersama antara pemerintah dan semua partai yang berada di DPR," kata dia. Dia menerangkan, pelaksanaan UU APBN dilaporkan secara transparan dan diaudit oleh lembaga independen BPK dan dibahas dengan DPR. Kemudian, pengelolaan dan kredibilitas APBN dan utang juga dinilai oleh lembaga rating dunia yang membandingkan utang dan kualitas kesehatan keuangan negara secara konsisten. "Indonesia termasuk dalam kategori investment grade oleh lembaga rating Moodys, Fitch, S&P, RNI dan Japan Credit Rating Agency," katanya. "Dengan peringkat tersebut adalah salah menyatakan utang negara sudah dalam stadium lanjut. Yang benar adalah kondisi keuangan negara dalam keadaan sehat dan bugar. Seharusnya semua calon presiden menyampaikan informasi yang benar pada rakyat, bukan ucapan menyesatkan dan bahkan bertujuan menakut-nakuti rakyatnya," paparnya. Selain itu, Nufransa mengatakan, utang sudah ada sejak tahun 1946, di mana pemerintah sudah mengeluarkan surat utang negara yang disebut pinjaman nasional. "Kami jajaran di Kementerian Keuangan (bukan Kementerian Pencetak Utang), yang mayoritas adalah generasi milenial-bekerja dan bertanggung jawab secara profesional dan selalu menjaga integritas," tambahnya. Anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Dradjad Wibowo memberikan penjelasan terkait pernyataan calon presiden yang nomor urut 2 Prabowo Subianto yang mengganti sebutan Menteri Keuangan (Menkeu) menjadi Menteri Pencetak Utang. Dradjad mengatakan, pernyataan tersebut merupakan rangkaian kritik Prabowo tentang pengelolaan ekonomi Indonesia. "Saya tidak akan berspekulasi apakah itu ditujukan ke Bu Sri Mulyani atau ke menteri keuangan yang lain. Saya hadir dalam acara Sabtu kemarin. Pernyataan mas Bowo (Prabowo) tentang Menteri Pencetak Utang itu sebenarnya dalam satu rangkaian kalimat dengan kritik tentang pengelolaan ekonomi Indonesia," ujarnya. Dia menerangkan, awalnya Prabowo menyinggung soal pernyataan seorang menteri yang menyinggung produk petani Indonesia tak mampu bersaing sehingga lebih baik impor. Setelah itu, Prabowo juga mempertanyakan rezim ekonomi yang melarang petaninya menjual produknya. Hal itu berkaca pada peristiwa yang terjadi pada bulan Agustus 2017 di mana 15.877 ton gula petani di Cirebon disegel Kementerian Perdagangan. "Setelah itu mas Bowo berkata (kira-kira), di bidang keuangan jika Menkeu hanya bisa menumpuk utang, jangan sebut Menkeu, tapi Menteri Pencetak Utang," sambungnya. Dradjad menjelaskan, hal itu tak lepas dari meroketnya jumlah nominal utang pemerintah selama Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selama 4 tahun Jokowi (Desember 2014 sampai Desember 2018), utang pemerintah naik Rp 1.809 triliun, dari Rp 2.609 triliun menjadi Rp 4.418 triliun. Sebutnya, tiap tahun naik Rp 452,25 triliun. Dia mengatakan, kenaikan utang itu jauh lebih tinggi dari 10 tahun pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Utang pemerintah Jokowi tiap tahunnya naik sampai 3 kalilipat dibanding utang zaman SBY. "Sebagai perbandingan, selama 10 tahun Presiden SBY, kenaikan utang pemerintah hanya Rp 1.309 triliun, atau Rp 131 triliun per tahun. Jadi setiap tahun pemerintahan Presiden Jokowi berhutang rata-rata 3,45 kali lipat dari pemerintahan Presiden SBY. Ini kenaikan yang sangat luar biasa," jelas Dradjad. Memang, kata dia, banyak yang berargumen rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah di sekitaran 30%. Sementara, Jepang sudah mencapai 250,4%. Tapi, kata dia, rasio pajak Jepang jauh lebih tinggi dari Indonesia. "Di Jepang angkanya sekitar 36%. Di Indonesia hanya 10,7% tahun 2017. Ini juga terus turun dari 13,7% (2014), 11,6% (2015) dan 10,8% (2016)," terangnya. Oleh sebab itu, kata Dradjad, Prabowo menilai siapapun tidak pantas disebut Menkeu jika utang terus menumpuk tapi rasio pajak turun. "Jadi jika hanya bisa meroketkan jumlah utang pemerintah, sementara rasio pajak turun dan pembayaran utang menjadi beban besar APBN, mas Bowo menilai tidak pantas disebut Menkeu. Siapapun dia," tutupnya. an/d

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU