Politik Elektoral Semakin Eksklusif

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 25 Feb 2019 10:27 WIB

Politik Elektoral Semakin Eksklusif

SURABAYAPAGI.com - Kontestasi pesta demokrasi menjadi sebuah momentum bagi masyarakat untuk berkompetisi dalam memperebutkan kursi di pemerintahan. Berbagai macam janji dan jargon mengatas-namakan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat ditawarkan. Fenomena pengeluaran biaya sejumlah jutaan bahkan miliaran untuk membiayai serangkaian agenda kampanye dan pemenangan diri sudah menjadi konsekuensi logis dari pencalonan diri dalam politik elektoral. Struktur sosial masyarakat yang terjadi di masa kini tidak lepas kaitannya dengan kejadian sosial-politik di masa lalu. Masyarakat bukanlah sekumpulan dari subyek-subyek manusia, yang dengan keinginannya dapat mengukir sejarahnya sendiri. Menurut George Ritzer, masyarakat merupakan suatu struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan dan terintegrasi dengan elemen-elemen konstituennya; seperti: Norma, adat, tradisi, dan institusi. Teori sosiologis ini biasa dikenal dengan fungsionalisme struktural. Demokrasi di Indonesia dan sebagian besar negara di dunia memiliki jejak historis yang sama. Lahirnya demokrasi politik erat kaitannya dengan sejarah pergolakan masyarakat Eropa menentang model pemerintahan monarki absolut pada abad ke-18. Di akhir masa feodalistik, masyarakat Eropa mengalami perkembangan signifikan dalam intelektualitas dan perekonomian. Perkembangan tersebut melahirkan kelas sosial baru dalam masyarakat yaitu; para intelektual, produsen, dan pedagang. Kelas sosial ini menjadi pemimpin dalam pengorganisiran masyarakat untuk menumbangkan sistem monarki absolut di berbagai negara. Sebut saja seperti gerakan Renaissance di Italia, gerakan Enlightment di Inggris, dan gerakan Affclaro di Jerman. Puncak dari gerakan rakyat ini melahirkan sebuah Revolusi Politik di Prancis pada tahun 1789-1799. Dengan tumbangnya sistem pemerintahan monarki, maka lahirlah sistem parlementer sebagai aktualisasi dari demokrasi politik dengan prinsipnya yaitu Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Negara secara historis merupakan produk fiksi hasil revolusi kognitif manusia. Menurut Yuval Noah Harari, negara berakar dari mitos kebangsaan bersama. Negara muncul dari imajinasi kolektif masyarakat untuk menciptakan struktur sosial yang menciptakan keharmonisan dan keteraturan sosial dalam masyarakat. Negara sebagai kontruksi sosial dalam masyarakat merupakan produk dari bayangan atas realitas yang dipercaya setiap orang. Sepanjang kepercayaan tersebut tersebut tetap eksis di masyarakat, negara mendatangkan kekuatan di dunia. Dan kekuatan ini sering kali dimanfaatkan secara tidak bertanggung-jawab oleh oknum tertentu. Gramsci menjelaskan bahwa dalam masyarakat memang selalu ada yang menguasai dan ada yang dikuasai. Kontradiksi kepentingan antara lembaga pemerintahan dengan rakyatnya merupakan salah satu contoh dari adanya hegemoni yang dibangun melalui mekanisme konsensus melalui institusi dalam masyarakat. Ketimpangan dalam struktur sosial (ada yang menguasai dan ada yang dikuasai), tidak disadari oleh masyarakat. Dengan memanfaatkan dominasi yang dimiliki, lembaga pemerintahan menggiring masyarakat agar menilai dan memandang problematika ini sebagai suatu kewajaran atau bahkan keniscayaan dalam praktik politik kenegaraan. Sosialisasi ini dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan pejabat publik agar masyarakat tidak mengusik kepentingan yang telah mereka susun. Momentum pemilihan umum yang tidak mengijinkan seluruh elemen masyarakat untuk berkesempatan menjadi aktor di dalamnya dan cenderung diisi oleh masyarakat dari kalangan atas menimbulkan skeptisisme pada banyak elemen masyarakat. Transformasi pejabat pemerintahan menjadi kapitalis birokrat yang menjadi penghubung antara pemerintah dengan investor menjadi salah satu lahan basah bagi para pejabat pemerintahan untuk memperkaya diri. Fenomena masuknya pengusaha dalam politik elektoral mengindikasikan kepentingannya untuk memperlancar bisnis dengan memangkas rantai birokrasi untuk mempermudah proses ekspansi. Paradigma yang justru terjadi di masyarakat, pebisnis yang masuk dalam politik elektoral pasti mementingkan kepentingan rakyat. Karena mereka sudah kaya, dan karena mereka kaya kemungkinan mereka untuk korupsi semakit sedikit. Eksklusifitas politik elektoral terletak pada proses pemilihan umum yang demokratis secara parsial, yang hanya mengijinkan rakyat golongan atas untuk menjadi aktor dalam kontestasi pesta demokrasi. Urgensi dari aktualisasi demokrasi ekonomi adalah sebagai tonggak keadilan dalam partisipasi seluruh masyarakat untuk menjadi aktor dalam kontestasi pemilihan umum. Inklusifitas politik elektoral harus menjadi visi bersama dalam menegakkan keadilan dalam demokrasi politik dan ekonomi. Modal bukanlah insturumen penting sebagai prasyarat utama dalam memenangkan kontestasi pemilihan umum, melainkan kejujuran dan kredibilitas individu.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU