Home / Pilpres 2019 : Refleksi Pers Independen pada Hari Pers Nasional 2

Pers Independen “Kecil” tak Perlu Gentar dengan New Media Raksasa

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 11 Feb 2019 22:38 WIB

Pers Independen “Kecil” tak Perlu Gentar dengan New Media Raksasa

Tidak ada kesengsaraan di bumi yang tidak dapat ditangani dengan sukses dalam skala kecil, sebaliknya, tidak ada penderitaan di bumi yang dapat ditangani sama sekali kecuali dalam skala kecil. Dalam keluasannya, semuanya runtuh, bahkan yang baik, karena satu-satunya masalah di dunia bukanlah kejahatan, tetapi kebesaran: dan bukan pada hal yang besar, apa pun itu, tetapi besar itu sendiri. (Kohr, 1957/2001, hal.95) Beberapa acara seminar, diskusi dan konvensi media pada HPN 2019, mayoritas pembicara menyoroti fenomena Google, Facebook dan Instagram. Media sosial ini dianggap ancaman bagi media mainstream. Benarkah? Menurut akal sehat saya, medsos ini tidak selalu benar menjadi ancaman media mainstream. Google, dkk adalah perusahaan raksasa dunia yang beroperasi menggunakan teknologi internet. Google, Facebook, Instagram dan Yahoo, termasuk website sekaligus media online. Media mainstream pun kini bisa membikin website seperti Google. Persoalannya, siapkan menggelontorkan dana seperti perusahaan raksasa dari Amerika Serikat. Dengan gambaran ini, menurut akal sehat saya, yang bersaing sebenarnya ada dua yaitu ketersediaan modal dan kedua kecerdasan pengelola media mainstream. Dua alasan ini mengacu pada pengalaman saya yang dijangkiti virus pemikiran empu marketing Kotler. Menurut Kotler, dalam bisnis, tidak ada pasar yang jenuh. Justru yang jenuh adalam manusia dibalik perusahaan, The Man Behind The Gun.. Akal sehat saya memaknai istilah ini bahwatidak ada yang salah dengan suatu alat ataupun teknologi. Pengalaman saya, istilah ini justru merujuk pada pengelola atau pengguna teknologi. Cernaan akal sehat saya ini teringat saat saya muda melihat sebuah film tentang teknologi yang judulnya lupa. Saat duduk di kursi peserta mendengar ceramah pada HPN 2019, saya lupa judul dan pemainnya, tapi ingat jalan cerita dan kesimpulan akhir film-nya. Film tersebut bercerita tentang seorang ilmuwan, yang hampir seumur hidupnya dihabiskan dengan meneliti sebuah teknologi. Saat penelitiannya sudah sampai tahap akhir dan siap diproduksi, pemodal malah mengarahkan produksinya untuk menjadi senjata penghancur massal. Dan ia menyaksikan korban mulai berjatuhan. Padahal ciptaannya belum diproduksi. Akhirnya, ilmuwan dengan sangat terpaksa menghancurkan ciptaannya sendiri. Film ini sangat berkesan bagi saya setelah menjadi wartawan dan pengelola koran dengan modal semangat idealisme melawan ketidak adilan (karena saya wartawan biasa yang modal finansialnya menggadaikan rumah dan mobil serta perhiasan istri). Akal sehat saya meyakinkan nurani saya bahwa dalam diri ilmuwan ini adanya unsur tanggung jawab. Dan memang, wartawan pun harus mengedepankan tanggungjawab, bukan sekedar terpesona dengan teknologi. Mengingat teknologi, meski penting, fungsinya hanya alat bantu atau media. Dalam film itu, ilmuwan membuktikan dirinya tidak hanya berlindung bahkan bersembunyi di balik istilah "The man behind the gun". Ia turut menganalisa apakah teknologi yang diciptakannya akan lebih banyak membawa manfaat atau mudharat bagi masyarakat. *** Sebagai pengelola media mainstream yang independen dengan misi melawan ketidak adilan di masyarakat, saya tidak kepincut dengan fenomena yang disodorkan bos CT Corp, Chairul Tanjung, tentang raksasa Google. Apalagi menggunakan jargon The Winner Takes All Market. Jargon ini terkait dengan terpaan persaingan media antara mainstream dengan ew media, Google, facebook dan Instagram, dll. Beberapa pembicara, baik dari agency dan harian dari Jakarta, sama-sama ketakutan dengan fenomena new media. Saya yang bukan perusahaan pers kapitalis, tidak ingin terseret pada jargon, soal kalah menang merebut pasar. Sebagai pengelola media UMKM yang independen, saya harus mengambil strategi lain yaitu perusahaan harus dikelola untuk survival. Jargon yang saya bisikan ke anak saya, The small press companies must survive not win. Menang melawan pers kapitalis tingkat nasional., apalagi raksasa media tingkat dunia, tidak perlu diladeni. Ini terkait terpaan adanya kue iklan nasional mulai tergerus ke new media seperti Google, Istagram, Facebookj dll. Adalah E.F. Schumacher, yang mempublikasikan karya utamanya yang berjudul Small is Beautiful: A Study of Economics as if People Mattered pada tahun 1973. Karya tersebut terdiri dari 19 bab dan sebuah epilog yang menyatukan berbagai artikel, esai dan ceramah yang ditulisnya dari pertengahan 1960-an hingga awal 1970-an. Pusat pemikiran Schumacher adalah masalah ukuran organisasi. Dalam karyanya ini dia sangat dipengaruhi oleh ide-ide ekonom Austria, Leopold Kohr, terutama bukunya The Breakdown of Nations. Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1957. Kohr mengembangkan apa yang ia sebut teori ukuran kesengsaraan, dimana teori ini mengklaim bahwa : there is no misery on earth that cannot be successfully handled on a small scale as, conversely, there is no misery on earth that can be handled at all except on a small scale. In vastness, everything crumbles, even the good, because the worlds one and only problem is not wickedness but bigness: and not the thing that is big, whatever it may be, but bigness itself. tidak ada kesengsaraan di bumi yang tidak dapat ditangani dengan sukses dalam skala kecil, sebaliknya, tidak ada penderitaan di bumi yang dapat ditangani sama sekali kecuali dalam skala kecil. Dalam keluasannya, semuanya runtuh, bahkan yang baik, karena satu-satunya masalah di dunia bukanlah kejahatan tetapi kebesaran: dan bukan pada hal yang besar, apa pun itu, tetapi besar itu sendiri. (Kohr, 1957/2001, hal.95) Terinspirasi oleh Kohr, Schumacher meningkatkan kritik secara terus-menerus terhadap kecenderungan organisasi untuk menjadi semakin besar. Seperti yang ia katakan, Saya dibesarkan pada teori ekonomi skala (theory of economies of scale) - bahwa didalam industri dan perusahaan, seperti halnya dengan negara-negara, ada kecenderungan yang tak tertahankan, didikte oleh teknologi modern, agar industri dan perusahaan itu menjadi semakin besar ((Schumacher, 1973/1993, hal.48). Schumacher mengkarakteristikkan sebuah gagasan bahwa organisasi harus terus menjadi lebih besar sebagai penyembahan terhadap ukuran besar dan mengistilahkan seluruh fenomena tersebut sebagai gigantisme. Menurut Schumacher, organisasi raksasa, hampir pasti akan menghasilkan sistem birokrasi yang melemahkan, anonimitas dan ketidaksehatan. tidak ada yang benar-benar menyukai organisasi berskala besar; tidak ada yang suka menerima perintah dari atasan yang menerima peruntah dari atasan yang menerima perintah Bahkan jika aturan yang dibuat oleh birokrasi luar biasa manusiawi, tidak ada yang suka diatur oleh aturan, artinya, jawaban dari orang-orang yang menerima setiap keluhan adalah: Saya tidak membuat peraturan: Saya hanya menerapkannya. (Schumacher, 1973/1993, hal.203) *** Inspirasi dari pikiran Schumacher ini mendorong akal sehat saya untuk tidak takut terhadap masyarakat termasuk insan pers yang dikuasai oleh pemujaan harta dan meng-agung-agungkan konglomerat pers sebagai pahlawan-kebudayaannya. Ini karena Schumacher mengajarkan pada saya, orang yang memuja harta tidak akan mendapat manfaat apa-apa. Apalagi bagi wartawan yang independen dan benci terhadap ketidakadilan. Maka itu, saat sejumlah wartawan berebut potret bersama dengan CT, saya ngeloyor keluar ruangan, dengan ingatan bahwa wartawan independen itu sederhana dan tidak borjuis. Pengusaha pers kapitalis menurut akal sehat saya hanya memikirkan keuntungan seperti tema dalam konvensi nasional media massa. CT tergiur sekali dengan idea pasar. Akal sehat saya menilai pengusaha pers yang suka merebut kemenangan dan menguasai semua pasar tak ubahnya seperti pelembagaan individualisme yang tak memiliki tanggung jawab sosialnya. Padahal pers, sesungguhnya merupakan kepanjangan tangan dari hak-hak sipil publik, masyarakat umum, atau dalam bahasa politik disebut rakyat. Dan dalam sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan, seperti yang dikhawatirkan oleh Lord Acton, sejarawan Inggris (1834 1902),The power tends to corrupt, the absolute power tends to absolute corrupt (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak). Sebagai konsekwensi dari hak kontrol tersebut, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat diakses (diinformasikan, diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik. Dan ini hanya bisa diakses pada pers yang menjaga independensinya terhadap kekuasaan, meski perusahaan pers itu bersize kecil. Indonesia yang kini dikuasai perusahaan pers kapitalis, menurut akal sehat saya pers independen tetap dibutuhkan. Pers independen ini dapat mewakili publik untuk mengakses informasi. Ini yang oleh wartawan-wartawan senior dulu disebut pers bebas (free press) atau kebebasan pers (freedom of the press). Dua hal ini sebagai syarat bagi sebuah negara yang demokratis dan terbuka. Tak salah, Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat (1743 1826), pada tahun 1802 menulis, Seandainya saya diminta memutuskan antara pemerintah tanpa pers, atau pers tanpa pemerintah, maka tanpa ragu sedikit pun saya akan memilih yang kedua. Padahal, selama memerintah ia tak jarang mendapat perlakuan buruk dari pers AS. Mengapa kebebasan pers sangat penting dalam sebuah negara demokratis? Salah satu pertimbangannya, kebebasan pers sesungguhnya merupakan sarana bagi publik untuk menerapkan hak-hak sipil sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dan salah satu hak sipil itu ialah hak untuk mengetahui (the right to know) dari kebebasan untuk berbicara atau berpendapat (freedom to speech) dan kebebasan untuk berekspresi (freedom to expression). Ini karena perusahaan pers kapitalis cenderung diciptakan untuk menjadi alat pencetak keuntungan bagi pemilik modal. Termasuk new media yang bermodal raksasa, seperti Google, Istagram dan Facebook. ([email protected])

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU