Penyakit Langka yang Kerap Disangka Infeksi HIV

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 09 Mar 2018 10:44 WIB

Penyakit Langka yang Kerap Disangka Infeksi HIV

SURABAYAPAGI.com - Bayi baru lahir biasanya terlindung dari infeksi virus dan bakteri oleh antibodi yang disalurkan dari ibu mereka. Dalam beberapa bulan berikutnya, sistem imun mereka akan ikut tumbuh dan mulai bertanggung jawab untuk memerangi infeksi. Tapi kadang ada beberapa bayi yang memiliki imunodefisiensi atau sistem imun yang tidak berfungsi, sehingga mereka tidak mampu untuk melawan infeksi dari tubuh mereka sendiri. Salah satu penyakit imunodefisiensi adalah Severe Combined Imunodeficiency atau SCID. SCID, merupakan penyakit genetik langka yang mengancam nyawa bayi baru lahir dimana kombinasi sel T dan sel B dalam sistem kekebalan tubuh tidak berfungsi sehingga tubuh rentan terkena infeksi bakteri, virus, atau jamur, seperti dikutip dari situs KidsHealth. SCID termasuk kondisi kegawat-daruratan medis pada anak (pediatric emergency) yang membutuhkan penanganan segera. Pengidap SCID yang tidak mendapatkan penanganan medis jarang bisa mencapai usia satu tahun. Penyakit ini juga dikenal dengan "bubble boy disease" karena pengidapnya harus memakai bola bening tiap hari karena badannya rentan terhadap infeksi (diisolasi). Kemudain harus segera diberikan obat-obatan antibiotik, anti virus, dan anti jamur setiap hari serta immunoglobulin setiap 4 minggu untuk mencegah infeksi. Hal itu dilakukan sambil menunggu dilaksanakannya Bone Marrow Transplant / BMT (transplantasi sumsum tulang) sesegera mungkin, yang merupakan satu-satunya prosedur untuk memberikan kesempatan hidup bagi penderita SCID. Di Indonesia, SCID belum begitu terkenal dan kerap salah diagnosa seperti penyakit langka lainnya. Dituturkan oleh Siswo Haryoko, orang tua dari Khalifandra dan Kendra yang keduanya sama-sama mengidap SCID tak lama sejak lahir, bahwa penyakit ini tak pernah terdengar di Indonesia tapi justru terkenal di luar negeri. "Penyakit ini biasanya tidak terdiagnosa, penderitanya kebanyakan meninggal saat bayi karena infeksi, seperti yang dialami anak pertama kami. Dokter pun banyak yang tidak memahami penyakit ini," kata Siswo, Senin (5/3/2018). Sangat disayangkan karena infeksi dan tanpa diagnosa yang jelas, Khalifandra meninggal dunia pada umur 3 bulan. Dan ternyata Kendra, anak keduanyapun mengalami gejala yang sama seperti anak pertamanya. Dan ia juga pernah salah didiagnosa HIV AIDS oleh dokter di Puskesmas karena gejalanya yang mirip yaitu lemahnya sistem imun. Padahal penyakit ini tidak selangka yang dikira sebelumnya. Sebelumnya, menurut National Center for Biotechnology Information diperkirakan keterjadian penyakit ini adalah 1:200.000 (1 dari 200.000 bayi yang lahir menderita SCID). Namun data di AS terakhir menunjukkan angka 1:58.000. Data ini bisa diperoleh karena AS sudah menjalankan newborn screening untuk SCID (semua bayi yang baru lahir di screeningSCID) sejak sekitar 8 tahun lalu. Bayi SCID tampak sehat saat lahir namun akan fatal bila mendapatkan imunisasi/vaksin virus/bakteri hidup (vaksin polio oral, vaksin campak, vaksin gondongan, vaksin rubella, dll) dikarenakan mereka kekurangan antibodi. Anak pengidap SCID juga hanya bisa menerima transfusi darah dengan darah yang telah terradiasi untuk membunuh sel darah putihnya, karena dapat menyerang tubuh anak tersebut. Kemungkinan dokter akan menyarankan untuk infusi immunoglobulin (IVIG) untuk membantu mencegah infeksi. "Seperti anak pertama kami yang mengalami infeksi setelah imunisasi kemudian meninggal setelah dirawat di RS selama 15 hari. Karena itu newborn screening seperti di AS sangat penting untuk dilakukan agar bayi SCID segera terdeteksi dan mendapatkan penanganan medis," tegas Siswo yang kini masih berada di Malaysia sejak Desember 2017 untuk penanganan transplantasi sumsum tulang bagi Kendra. (dt/01)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU