Pemerintah Ungkap Alasan Pilkada Sebagai Hari Libur Naional

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 26 Jun 2018 12:20 WIB

Pemerintah Ungkap Alasan Pilkada Sebagai Hari Libur Naional

SURABAYAPAGI.com - Libur belum usai, karena pemerintah ternyata resmi menyatakan Pilkada serentak yang jatuh pada Rabu besok (27/6) sebagai hari libur nasional. Ini juga berlaku ya bagi daerah lain yang tak menyelenggarakan Pilkada, termasuk di DKI Jakarta. Kepastian Rabu esok dinyatakan sebagai hari libur ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 14 Tahun 2018 yang diumumkan pada Senin (25/6) oleh Menteri Koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan, Wiranto. "Soal libur, memang KPU mengusulkan agar ada satu hari libur saat pemilu digelar. (Liburnya) tidak hanya di 171 daerah dan ini sudah disetujui," ujar Wiranto di Mabes Polri pada Senin kemarin. Menurut Wiranto, langkah untuk meliburkan itu diikuti dengan pengesahan Perpres. Di Perpres itu sendiri tertulis dengan jelas "menetapkan Rabu 27 Juni sebagai hari libur nasional dalam rangka pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak". Nah, apa yang jadi alasan pemerintah meliburkan secara nasional saat Pilkada serentak digelar besok? 1. Pemerintah ingin memberikan kesempatan kepada pekerja menggunakan hak pilih Salah satu alasan yang menjadi penyebab 27 Juni dijadikan sebagai libur serentak, karena pemerintah ingin memberikan kesempatan kepada para pegawai yang berdomisili di luar Jakarta, sementara daerahnya menggelar Pilkada, agar bisa menggunakan hak pilihnya. "Misal DKI (Jakarta) tidak (menggelar) Pilkada, tetapi mayoritas pekerja dari swasta dan pegawai negeri tinggalnya di Depok, Bogor, Tangsel, dan Bekasi. Itu bagaimana?" ujar Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. 2. Pemerintah khawatir karena akan ada mobilisasi massa Sementara, Menkopolhukam Wiranto beralasan pemerintah sengaja meliburkan untuk mencegah peluang adanya mobilisasi massa dari pihak tertentu, agar memilih kandidat tertentu saat Pilkada. Yakni pemilih yang tinggal di luar daerah pemilihannya akan bergerak untuk memberikan suaranya. "Itu kan dilakukan di 171 daerah, dan akan berpengaruh ke daerah lainnya," tutur Wiranto kemarin. Dengan begitu, kata Wiranto, kecurangan bisa dicegah. 3. Perusahaan bisa kena sanksi jika tidak mengizinkan karyawannya mencoblos Menurut ahli hukum tata negara Fakultas Hukum Indonesia Fitra Arsil seperti dikutip dari laman Hukum Online, perusahaan itu bisa kena sanksi pidana. "Karena dianggap nya telah menghalangi hak konstitusional (warga negara) untuk memberikan suaranya," ujar Fitra. Sebenarnya, kata dia, tujuan dari diliburkan pada saat Pilkada demi menjaga netralitas. Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 mengenai pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur dan Walikota, Sudah disebut kalau hari pemungutan suara terjadi di hari kerja, maka hari itu harus dinyatakan sebagai hari libur. Fitra menjelaskan aturan itu muncul di rezim Orde Baru. "Dulu, Orde Baru memilih pemungutan suara dilakukan pada hari kerja. TPS (Tempat Pemungutan Suara) dilakukan di kantor-kantor, sekolah dan lain-lain. Dalam rangka netralitas birokrasi dan khawatir ada represei, maka sekarang jadi hari libur. Atau kalau hari itu bukan hari libur, maka hari tersebut diliburkan," kata dia. Ancaman hukuman bagi perusahaan yang gak mengizinkan karyawannya untuk mencoblos di hari Pilkada tertuang di UU Pilkada Pasal 178 dan 498. Di dalam Pasal 178 tertulis "setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, maka dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 24 bulan. Dan denda paling sedikit Rp 12 juta dan paling banyak Rp 24 juta". Sedangkan di Pasal 498 tertulis "seorang majikan atau atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja atau karyawan untuk memberikan suaranya pada hari pemungutan suara, kecuali pekerjaan itu tidak bisa ditinggalkan, dipidana dengan hukuman kurungan paling lama 1 tahun dan denda Rp 12 juta". Tetapi, ada jalan tengah untuk itu. Pengusaha bisa saja menyuruh karyawannya masuk di hari pemungutan suara, tapi harus memberikan hak lemburnya. Praktisi Hubungan Industrial Juanda Pangaribuan mengatakan perusahaan tak memiliki cara untuk mengelak dan harus membolehkan karyawannya libur. "Kalau tidak mau diliburkan secara total, pekerja diizinkan tetap masuk dengan mengatur jam kerja bagi karyawannya yang memiliki hak pilih. Silakan memilih dulu, setelah itu baru lanjut bekerja. Karena itu hari libur, maka dibayar upah lembur. Boleh begitu," ujar Juanda. Cara tersebut terlihat lebih masuk akal dan tidak melanggar aturan hukum mana pun.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU