Home / Pilpres 2019 : Surat Terbuka untuk Capres Jokowi-Prabowo, Peserta

Pembakaran Bendera di Garut, antara Akal Sehat dan Politisisasi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 23 Okt 2018 22:02 WIB

Pembakaran Bendera di Garut, antara Akal Sehat dan Politisisasi

Yth Pak Jokowi-Pak Prabowo, Saya termasuk warga Negara Indonesia yang dikirimi viral video tentang aksi pembakaran bendera warna hitam bertuliskan berlafah Tauhid di Garut. Saat menyaksikan video viral ini, saya terhenyak, adanya warga berpakaian sipil dan seragam banser, bersorak-sorak, membakar bendera warna hitam bertuliskan Tauhid dengan huruf arab. Saiful Rahmat Dasuki, Ketua GP Ansor, dalam wawancara di TVOne, Senin (22/10/2018) lalu mengatakan bendera itu tercecer, berserakan dan terjatuh, lebih baik dibakar. Tindakan anggota banser ini dinilai spontan. Termasuk dirinya, memandang itu bendera HTI, organisasi terlarang, Tekadnya turut melakukan pembersihan bendera organisasi terlarang. Bendera itu jelas bendera HTI. Seharusnya bendera-bendera semacam itu harus tidak boleh ada. Termasuk simbol-simbol HTI dan PKI. Secara organisatoris, kata Saiful, GP Ansor sudah memberi instruksi agar melihat bendera-bendera berlafal kalimat Tauhid berindikasi HTI, segera diserahkan ke aparat keamanan. Berhubung teman-teman sedang ada acara, khawatir salah persepsi saat membawa bendera HTI ke aparat. Khawatir dianggap melakukan penyusupan. Menurut Saiful, pada hari Santri, Senin (22/10/2018), banser menjadi bagian dari hari Santri. Bagi dirinya dan banser, dalam keseharian, selalu mengunakan kalimat tauhid, tetapi saat kalimat Tauhid ada di bendera HTI, Saiful menyamakan dengan organisasi terlarang PKI. Banser dengan spontan mengambil tindakan. Sementara itu, TVOne menyiarkan wawancara dengan Kapolres Garut AKBP Budi Satria. Kapolres AKBP Budi mengakui kejadian pembakaran terjadi pasca Hari Santri nasional di Kabupaten Garut. Menurut Kapolres Garut, pembakaran bendera kaitan dengan organisasi HTI. Ia bersama Dandim, melakukan pengamanan dan mengumpulkan barang bukti, termasuk dari warga. Kapolres AKBP Budi menjelaskan, asal-usul bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid, berdasarkan informasi yang dikumpulkannya, dibawa satu orang yang nama dan alamatnya sedang diselidiki. Bersamaan, Polres mengamankan tiga orang yang membakar. Bersama Kodim Garut belum tahu motif pembakaran dan latarbelakangnya. Polres Garut memeriksa dua peristiwa hukum yang diselidiki. Dandim Garut, Letkol Inf Asyraf Abdul Aziz, pasca kejadian itu meminta ormas di Garut menahan diri. Dandim menjelaskan seperti Kapolres, bendera dibawa seseorang dan direbut orang lain. Motif orang itu kini sedang diselidiki bersama Polres Garut. Baik Kapolres maupun Dandim Garut menegaskan, sebelum kejadian pembakaran, tidak ada gejala bakal ada peristiwa mengebohkan. Sampai semalam, situasi kota Garut kondusif. Yth Pak Jokowi-Pak Prabowo, Ekses dari peristiwa pembakaran bendera warna hitam berlafah Tauhid, menyebabkan Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas, dilaporkan ke Bareskrim Polri. Yaqut dilaporkan melakukan penodaan agama terkait peristiwa pembakaran bendera HTI berkalimat tauhid. Ternyata, pria yang karib disapa Gus Yaqut ini, tak gentar dan akan mengikuti proses hukum yang berlaku. "Kalau soal laporannya, silakan saja. Nanti kan ada prosesnya. Lho iya dong (mengikuti proses hukum). Saya kan warga negara yang baik," tutur Gus Yaqut saat dimintai tanggapan, Selasa (23/10/2018). Sementara itu, kuasa hukum LBH Street Lawyer Sumadi Atmadja, mengatakan alasannya melaporkan Ketua GP Ansor adalah sebagai ketua, Yaqut bertanggung jawab terhadap anggota-anggotanya yang telah melakukan pembakaran di Garut. Pernyataan Atmadja ini disampaikan kepada wartawan di Bareskrim Polri, gedung KKP, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Selasa kemarin. Laporan terhadap Ketua Umum PP GP Ansor diterima polisi dengan Nomor LP/B/1355/X/2018/BARESKRIM tertanggal 23 Oktober 2018. Gus Yaqut, dilaporkan dengan Pasal 156 a KUHP tentang Penodaan Agama, Pasal 28 a juncto Pasal 45 UU ITE, dan Pasal 59 ayat 3 juncto Pasal 82 a UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Peristiwa ini dengan cepat diketahui publik se Indonesia. Maklum, video pembakaran diviralkan seketika. Akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan jumpa pers bersama Polri. MUI menyesalkan pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid di Limbangan, Garut. MUI meminta polisi bergerak cepat menangani kasus tersebut. Pernyataan ini disampaikan Sekjen MUI Anwar Abbas dalam jumpa pers di kantor MUI, Jl Proklamasi, Jakarta Pusat, Selasa (23/10/2018). Ikut hadir dalam jumpa pers Waketum MUI Zainut Tauhid Saadi serta Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto. Yth Pak Jokowi-Pak Prabowo, Sebagai jurnalis yang beragama Islam, semula saya memang agak geram menyaksikan pembakaran bendera warna hitam bertuliskan kalimat tauhid. Tetapi saat kami putar berulang-ulang video itu, saya mulai berpikir dengan akal sehat, bukan emosi apalagi mempolitisasi kasus ini. Cucu saya bertanya, apa sebenarnya akal sehat itu? Saya jelaskan, kata akal didefinisikan sebagai penilaian yang akurat, pengertian, dan kebijaksanaan atau pertimbangan yang praktis. Guru filsafat ilmu saya pernah mengingatkan bahwa kata akal sehat menyiratkan tentang seseorang yang mempunyai kesanggupan untuk menilai dan membuat keputusan dengan menggunakan kecerdasannya. Maka itu saya berpendapat bahwa akal sehat adalah menuntut seseorang untuk menggunakan kesanggupannya berpikir. Sementara guru ngaji saya semalam saya hubungi menanyakan ayat tentang akal sehat. Guru ngaji saya menyebut surat Al-Hasyr ayat 14: Mereka tiada akan menyerang kamu dalam keadaan padu, kecuali di dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok-tembok. Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Engkau mengira mereka bersatu padahal hati mereka berpecah belah. Itu disebabkan karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak berakal/mengerti. Pemahaman saya bahwa kadang seseorang tidak mau menggunakan akalnya dalam meraih pengetahuan dan hikmah., Saya pernah membaca seorang pengamat pernah menyatakan, Akal sehat benar-benar langka. Lalu bagaimana seseorang, setiap hari bisa memperoleh atau menggunakan akal sehat? Apa saja manfaatnya. Bahkan seorang penyair dari Swiss mengaitkan akal sehat dengan pengalaman hidup. Ia menyatakan, Akal sehat adalah . . . gabungan dari pengalaman dan wawasan. Teman bisnis saya yang beragama Kristen malah mengatakan orang yang kurang berpengalaman, percaya pada setiap perkataan, tetapi orang yang cerdik mempertimbangkan langkah-langkahnya. (Amsal 14:15) Sejak mempelajari filsafat ilmu dan hukum, saya terbiasa menggunakan akal sehat sebaik-baiknya. Ini penting agar saya bisa mendapatkan kebaikan di dunia maupun di akhirat. Maklum, tugas saya sebagai jurnalis sejak tahun 1977 mengkukuhkan diri untuk bertindak watchdog dalam menjalan sikap kritis sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy) Kesadaran saya mengakui bahwa akal manusia bisa mendapatkan penghormatan dari manusia lainnya, dan karena akal pula manusia bisa mendapatkan celaka dari manusia yang lainnya. Dalam pergaulan dengan banyak profesi dan status sosial selama menjadi wartawan selama 42 tahun, saya mendapatkan pengalaman bahwa antara manusia, terdapat orang-orang yang tidak menghargai akalnya. Mereka terdiri orang-orang malas untuk mengasah otaknya dengan hal-hal yang berguna bagi dirinya maupun orang lain. Bahkan ada yang lebih memilih mengikuti hawa nafsunya daripada akal mulianya. Malahan saya menemukan ada yang dengan sengaja membuat akal sehatnya hilang. Menggunakan pendekatan ini, saya menganggap orang-orang di luar Kabupaten Garut yang langsung mereaksi kasus pembakaran bendera berwarna hitam berlafal kalimat Tauhid, termasuk orang yang tidak menggunakan akal sehat. Bahkan ada yang mempolitisasi, sehingga menimbulkan kesan Negara ini sedang menghadapi gejolak. Yth Pak Jokowi-Pak Prabowo, Sadar atau tidak, kasus pembakaran bendera ini telah ada yang mempolitisasi. Apa itu politisasi? Sumbernya dari kata Inggris politicization. dan politisir dari Belanda yang artinya sudah diapkir. Dan arti denotatif to politicize adalah menjadikan sadar politik atau menjadikan bersifat politik. Jadi tidak dengan sendirinya buruk negatif, tapi dalam pemakaian umum hampir selalu berkonotasi miring. Teman-teman saya yang ahli bahasa menyebut adasalah kaprah terhadap bentukan kata politic+ization. Makanya lahir kata politisasi, bukan politikisasi atau politisisasi. Menurut teman saya, kedua pilihan terakhir ini yang lebih tepat. Tetapi baik elite maupun pejabat sudah biasa menggunakan kata politisasi untuk hal-hal yang dipakai dalam arti negative, yaitu maneuver atau trik mengukuhkan kekuasaan politik diri dengan mengorbankan orang banyak atau menyelewengkan makna sejati suatu situasi yang sebetulnya tidak bernilai politis. Bahkan si penuduh juga tak luput dari tuduhan balik bahwa dirinya sendiri juga melakukan politisasi dengan cara menuduh orang lain berpolitisasi. Menurut Oxford English Dictionary, politicization berarti menjadikan (seseorang) warganegara, menangani sesuatu secara diplomatis, atau menjalin hubungan politik dengan. Sedangkan menurut Webster, artinya berbalah seperti politikus. Nah, menggunakan akal sehat, mungkinkah pada hari Santri nasional, ada umat Islam yang mau membuat bendera berlafah tauhid dalam bahasa Arab?. Masih menggunakan akal sehat, sebaiknya semua pihak menunggu tim penyidik Polri mengusut kasus ini. Pertanyaan ini setelah saya mengutip pernyataan Kapolres Garut AKBP Budi Satria, yang diwawancarai TVone. Kapolres menyebut, kejadian pembakaran bendera di Garut, ditemukan dua kasus. Kasus kesatu, mengusut orang yang membawa bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid pada Perayaan Hari Santri Nasional (HSN) ke-3 di desa Limbangan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Menurut akal sehat saya, Polisi bisa mengusut siapa orang yang membawa bendera ini? Ini orang sudah dewasa atau masih anak-anak dibawah umur? Bagaimana keluarganya? Benarkah ada anggota yang anggota HTI? Atau adakah ini anak disuruh seseorang? Akal sehat saya, Anak ini bisa disidik secara intensif. Ia bisa ditanya siapa yang membuat bendera berwarna hitam berlafalkan kalimat Tauhid? Dimana bendera ini disablon? Kapan? Untuk tujuan apa? Apa relevansi/kepentingan seorang anak mengarak bendera yang menyerupai bendera HTI di tengah keramaian perayaan hari Santri Nasional di lapangan Alun-alun Limbangan, Garut? Kasus kedua, Polri perlu menyidik intensif juga terhadap tiga orang dalam kerumunan Banser, yang diduga membakar bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid? Tiga orang ini perlu diperiksa intensif? Artinya, aparat penegak hukum Polres Garut dan Polri, harus bisa menemukan bukti-bukti yang mengarah pada niat jahat (mens rea) dan perbuatan jahat (actus reus) dari pelaku tindak pidana pembakaran bendera berwarna hitam berlafal kalimat tauhid. Tiga orang ini apakah diilhami atau bayang-bayang bendera HTI, organisasi yang dilarang negara? Atau tiga orang ini memiliki kebencian atau kesengajaan tidak suka terhadap kalimat tauhid? Bila ternyata sengaja, apa agama tiga orang itu? Benarkah ia masih berakal sehat (waras?) Dan nenarkah mereka membakar karena spontan? Saat saya menulis malam tadi, saya bertanya mengapa sampai Ketua GP Ansor dilaporkan melakukan penistaan agama? Apakah lawyer yang datang ke Bareskrim Polri melaporkan Ketua GP Ansor, mengerti unsur-unsur tindak pidana penodaan agama? Atau bisa jadi laporannya sebuah politisasi untuk menarik perhatian publik dan pemerintah? Akal sehat saya menyarankan, bagi elite yang masih berakal sehat dan belum mengetahui hasil penyelidikan dan penyidikan Polres Garut dan Mabes Polri, hendaknya tidak melakukan politisasi pembakaran bendera mirip bendera HTI dengan mengatasnamakan agama. Bagi saya, tentu elite partai dan ormas yang berakal sehat tidak mau mempolitisasi kasus yang sedang diusut. Menggunakan akal sehat, saya berbisik kepada para elite, ormas dan aktivis yang terlanjur bereaksi keras tanpa mau (sabar) menunggu hasil penyidikan Polri, untuk menghentikan aksinya. Eksesnya, bisa-bisa dibidik pasal hoaks atau pasal ujaran kebencian (Hate Speech) sepertiyang diatur dalam Pasal 156 KUHP dan Pasal 45 ayat (2) UU No 11 tahun 2008 tentang informasi & transaksi elektronik. Malahan menurut Surat Edaran Kapolri No SE/X/06/2015 yang dimaksud kedalam Ujaran Kebencian (Hate Speech) di antaranya adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan menyebarkan berita bohong baik secara langsung di muka umum maupun lewat sosial media. Secara hukum, ujaran kebencian mengara kepada individu atau kelompok yang lain. Subhanalloh. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU