Home / Hukum & Pengadilan : Laporan Investigative Reporting Dugaan TPPU 22 Per

Pdt Ronny, Laporkan Budi, Diduga tak Pikirkan Tempus Delicti dan Logika Huk

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 24 Jul 2018 22:12 WIB

Pdt Ronny, Laporkan Budi, Diduga tak Pikirkan Tempus Delicti dan Logika Huk

Kapolri dan Kapolda Yth, Berdasarkan hasil investigasi saya, pengelola apartemen Royal Afatar World (RAW) di Waru Sidoarjo, adalah PT Bumi Samudra Jedine. Perseroan ini didirikan berdasarkan Akte No. 135 tanggal 26-07-2013 yang dibuat di notaris Widatul Millah, SH. Dalam perjalanan, kemudian dibuat berita acara (BA) No. 30, tanggal 17 Februari 2014, di depan notaris Irianto Tanawidjaya SH. Berita acara No 30 ini tentang perubahan pemegang saham dan pengurus yaitu : masuknya PT SGP senilai Rp 375 saham atau senilai Rp 375 juta; PT GBJ, sebesar 875 saham atau senilai Rp 875 juta Pengurus berdasarkan BA No 30 di Notaris Irianto Tanawidjaya SH ini ada beberapa direktur antara lain Klemens Sukarno Candra, Siauw Siauw Tiong, Direktur Debie Puspasari Sutedja, Sedangkan komisaris Budi Santoso, Yahya Wahono, Hadi dan Tee. Kepengurusan berdasarkan Akte perubahan No 30 PT Bumi Samudra Jedine ini, telah disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM No. AHU-AH 01.10.16214 tanggal 17-4-2014. Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 27 April 2015, dibuat BA no. 75, di notaris Irianto Tanawidjaja SH, tentang perubahan pengurus. Kali ini, Budi Santoso ditunjuk menjadi yaitu Direktur Utama dibantu Klemens Sukarno Candra. Siauw Siauw Tiong dan Aris Birawa. Sedangkan Komisaris Utama Rusdi Hasan Tumbelaka, dibantu Yahya Wahono, Hadi, Ronny Suwono dan Prajitno, dan Tee, keluar sebagai pengurus. Tujuh bulan kemudian tepatnya tanggal 29 Desember 2015, dibuat BA lagi dengan No. 167. Perubahan yang dibuat di depan notaris Irianto Tanawidjaya SH, membahas perubahan susunan pengurus perseroan. Dalam Berita Acara No. 167, Hadi sudah tidak tercantum dalam kepengurusan PT Bumi Samudra Jedine. Perubahan ini telah disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM no. 01.03.0006981. tanggal 28 -1- 2016. Tetapi pada Tanggal 26-08-2014, dibuat Akte Perjanjian No. 061 di notaris Wahyudi Suyanto. Dalam akte No 061 ini telah dibuat perjanjian antara Hadi bersama Budi Santoso dkk dengan Tee, dari PT MKS. Ternyata dalam Akte No. 061 ini, telah dibuat perjanjian jual beli Sdr. Budi Santoso dan Hadi, mengenai perjanjian membeli lahan seluas 40.000 m2 atas nama PT Rantai Panca Daya, di Kecamatan Wonocolo, kelurahan Dukuh Menanggal, Surabaya. Bahwa Obyek tanah yang diperjanjian dalam Akte No. 061 ini, ternyata telah dijaminkan oleh PT Rantai ke Bank Umum Nasional dan piutangnya telah dialihkan ke BPPN. Kemudian dialihkan secara berulang ke PT Okansa Capital, YPH Holding Ltd, Rockford Prime Holding Ltd. Dalam peralihan ini, Budi Santoso dan Hadi mengikuti lelang yang diselenggarakan oleh KPKNL (Kantor Pelayanan kekayayaan Negara dan Lelang). Harga yang disepakati Rp 425 miliar. Harga lelang seharga Rp 425 miliar ini dibagi tiga yaitu Ny. Tee, sebesar Rp 63.750 miliar dan Ny. Soebagio Rp 63.750 miliar. Kedua ibu ini masing-masing mengambil porsi 15% dan PT Bumi Samudra Jedine sebesar Rp 297.500 miliar atau senilai 70% . Bahwa dalam perjanjian di notaris Wahyudi Suyanto, Hadi, ditulis sebagai saksi. Kemudian dibuat Akte Addendum. Dalam Akte ini diatur ketentuan Ny Tee dan Ny. Soebagio masing-masing Rp 63.750 miliar dan PT Bumi Samudra Jedine sebesar Rp 38 miliar. Sedangkan sisa sebesar Rp 242.517.000.000,-, belum pernah dibayar oleh PT Bumi Samudera Jedine; Bahwa jumlah uang Rp 38 miliar ini oleh PT Bumi Samudra Jedine, dibayarkan kepada PT SGP masing-masing sebesar Rp 30 miliar dan Rp 8 miliar. Ini dinyatakan sebagai pembayaran atas kewajiban perseroan terbatas PT KJS sebesar Rp 60 miliar, kepada PT SGP. Ini yang menjadi misteri. Mengingat, dalam Akte Perjanjian No. 61 tanggal 26-08-2014, tidak ada nama Ronny Suwono maupun PT KJS. Justru yang ada hanya PT Bumi Samudra Jedine. Tetapi mengapa Ronny Suwono membayar kepada PT SGP. Apakah ini pembayaran Budi Santoso melalui PT KJS, dimana ia adalah pemegang saham mayoritas PT KJS. Mei 2018 yang lalu, tiba-tiba, Pdt Ronny Suwono malah melaporkan Budi Santoso, keponakannya ke Polda Jatim. Laporan Pdt Ronny tercatat dalam polisi LPB/589/V/2018/UM JATIM, tertanggal 11 Mei 2018. Ronny menyatakan, dia merasa ditipu Budi, orang yang mengajaknya ikut memperkuat imperium Sipoa, yang bergerak dalam bisnis apartemen, ruko dan perkantoran. Laporan Ronny itu, Budi Santoso dianggap melakukan penipuan dan perbuatan berlanjut pasal 378 jo 64 KUHP. Sampai pertengahan Juli 2018 ini laporan Ronny masih tingkat penyelidikan. Dalam laporanya, pendeta berusia 59 tahun ini menyatakan kapasitasnya sebagai Direktur Utama PT Kurnia Jedine Sejahtera (KJS). PT KJS yang saham mayoritasnya adalah Budi Santoso, malah dilaporkan Ronny yang meminjamkan uang ke kepada Budi Santoso, 50, warga Jemur Andayani 21, Surabaya, secara bertahap. Pengiriman uang PT KJS dilakukan sejak tanggal 18 Desember 2014 hingga 26 April 2016. Jumlahnya mencapai Rp 35.998.926.000,-. Alasan Ronny, uang ini untuk kepentingan pribadi Budi Santoso. Kemudian Ronny mengaku, Budi Santoso, meminjam uang kembali untuk kepentingan pembangunan sipoa dan total mencapai Rp 58.157.353.426. Kemudian, pada tanggal 29 September 2015, Budi Santoso, dilaporkan meminjam kembali uang sebesar Rp 15 miliar. Hingga Juli 2018 ini, pinjaman Budi ke PT KJS, belum dikembalikan lagi. Kapolri dan Kapolda Yth, Berdasarkan kronologis kejadian yang saya gali berdasarkan dokumen yang diserahkan Ronny pertengahan tahun 2017, dan laporan Ronny Suwono, ke Polda Jatim tanggal 11 Mei 2018, yaitu setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka dugaan penipuan dan penggelapan bersama Budi Santoso, malah melaporkan Budi Santoso, secara pidana. Laporan Ronny Suwono ini diduga tak memperhatikan logika hukum selain tak menyentuh atau tak memikirkan tempus delicti yaitu waktu terjadinya suatu tindak pidana. Saya menyebut tak mempertimbangkan logika hukum (legal reasoning), karena Ronny mengeluarkan uang perusahaan PT KJS sampai Rp 58 miliar lebih kepada Budi Santoso, melaporkan Budi Santoso. Apakah Pdt Ronny tak memakai logika hukum siapa Budi Santoso?. Dalam Akte pendirian PT KJS, Budi Santoso, memiliki saham mayoritas, sedang Ronny pemegang saham minoritas. Nah, dalam perbuatan hukum untuk menggunakan harta perseroan, apalagi menjual aset perseroan, menurut UU Perseroan Terbatas (UUPT) khususnya Pasal 102 ayat (1) huruf a wajib mendapat persetujuan rapat RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Apalagi untuk mengalihkan kekayaan perseroan lebih dari 50% (lima puluh perseratus) jumlah kekayaan bersih perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih. Nah, Budi Santoso adalah Pemegang Saham mayoritas di PT KJS. Pertanyaannya logika hukum apa yang dipakai Pdt Ronny sampai melaporkan Budi Santoso? Logika hukumnya lagi, mestinya Pdt Ronny yang dipercaya Budi Santoso, untuk duduk sebagai Direktur Utama PT KJS, sebelum melaporkan Budi Santoso, konsultasi ke pengacaranya. Tentu pengacara yang mengetahui hukum perusahaan dan hukum pidana sekaligus atau mungkin sudah untuk setting suatu harapan. Logika hukum adalah suatu penalaran dalam bidang hukum, termasuk kajian logika terhadap suatu proses atau putusan hukum. Antara lain dengan melakukan penelaahan terhadap argumentasi, ketepatan dan kesahihan alasan pendukung keputusan melapor atau tidak suatu peristiwa hukum. Sedangkan mengenai tempus delicti, dimana terlapornya adalah Budi Santoso. (Koreksi Widjiono Nurhadi atau Hadi, ternyata tidak menjadi terlapor laporan Ronny-red). Logika hukumnya, sebelum melaporkan Budi, Ronny mesti bertanya kepada pengacaranya bahwa dalam suatu perkara pidana, tempus delicti menjadi penting, karena antara lain berhubungan dengan apakah suatu perbuatan Budi Santoso, pada waktu itu telah dilarang dan di ancam dengan pidana?. Selain itu, menyangkut perubahan dalam perundang-undangan. Artinya ketentuan manakah yang diterapkan bila melaporkan Budi Santoso yang adalah keponakannya? (Budi Santoso memanggil Ronny dengan sebutan- panggilan susuk/paman). Pertanyaan lain, apakah terlapor Budi Santoso pada saat dilaporkan oleh Ronny, telah melakukan tindak pidana penipuan, apa memilki kemampuan yang bertanggung jawab di PT KJS. Kemudian Pdt Ronny, juga mesti bertanya pada saat Budi Santoso, melakukan tindak pidana apakah bukan sudah daluarsa? Maklum, dalam setiap pekara pidana, tempus delecity, adalah penting, karena menyangkut asas legalitas. (Pasal 1 ayat 2 KUHP) dan nebis in idem. Kapolri dan Kapolda Yth, Semua penegak hukum, termasuk pengacara tahu bahwa tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari, menemukan dan menggali kebenaran materil (materielle warheid). Kebenaran material ini adalah kebenaran yang sesungguh-sungguhnya atau kebenaran hakiki. Dengan demikian dalam hukum acara pidana tidak dikenal adanya kebenaran formal (formeele warheid). Kebenaran formal ini hanya didasarkan semata-mata ditujukan pada formalitas-formalitas hukum. Dalam praktik hukum pidana, usaha mencari kebenaran materil tidak semudah yang dibayangkan oleh kebanyakan pengacara. Mengapa? Praktek yang saya jumpai selama 25 tahun, kebanyakan pengacara, mengaku cukup rumit untuk menemukan kebenaran materil. Maklum, hal ini sangat bergantung pada berbagai aspek dan dimensi. Misal dimensi waktu. Dalam dimensi waktu (tempus delicti) misalnya, gambarannya bahwa suatu peristiwa pada masa lampau atau beberapa bulan yang lalu tidak mungkin dapat diingat seratus persen pada saat sekarang. Artinya, semakin lama waktu lampau, umumnya makin sulit buat para hakim (bila laporan Ronny yang melaporkan Budi Santoso sampai diproses ke Pengadilan), Pemahaman ini bagi Hakim untuk menyatakan kebenaran atas peristiwa peristiwa tersebut. Maklum karena manusia tidak mampu untuk mengembalikan waktu lampau tersebut. Teori yang saya pelajari saat kuliah dulu, hukum acara pidana berguna menunjukkan jalan untuk mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran sejati. Nah, agar supaya hakim bisa mendapatkan keyakinan maka hakim membutuhkan alat-alat bukti, guna menggambarkan lagi peristiwa-peristiwa yang sudah lampau dalam mengambil keputusan. Pendalaman dari hasil wawancara saya dengan beberapa hakim senior teman saya pada tahun 1980-1990an, pada saat menerapkan pembuktian, hakim acapkali bertolak pada sistem pembuktian. Ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diadili. Maka berdasarkan sistem pembuktian dalam perkara pidana, sering dikenal ada tiga teori sistem pembuktian. Nah, tidak banyak pengacara yang mendalami sistem pembuktian pidana. Maka itu, saya meneliti, atas laporan Ronny terhadap Budi Santoso, saya sinyalir ada unsur pengabaian tempus delicty dan logika hukum. Kapolri dan Kapolda Yth, Saat saya kuliah dulu, dosen hukum pidana berpesan bahwa manfaat diketahuinya tempus delicti antara lain berkaitan asas legalitas yang diatur dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Sampai kini, mahasiswa Fakultas Hukum umumnya diajarkan bahwa asas legalitas merupakan salah satu asas yang sangat mendasar dalam hukum Indonesia. Asas ini juga biasa disebut dengan adagium Nullum Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege Poenali. (Tidak ada tindak pidana/delik, tidak ada hukuman tanpa peraturan yang mendahuluinya. Dalam praktik, adagium ini juga dapat dibagi dalam 3 yakni, tidak ada hukuman, jika tak ada Undang-undang; tidak ada hukuman, jika tak ada kejahatan dan tidak ada kejahatan, jika tidak ada hukuman yang berdasarkan Undang-undang. Jadi, logika hukum saya mengatakan asas legalitas ini sangat penting untuk menjamin kepastian hukum. Mengingat dengan asas ini, keadilan bagi tersangka atau terdakwa akan tersedia sesuai kejujuran terdakwa dalam fakta persidangan (dalam hal ini khususnya mengenai waktu terjadinya peristiwa hukum). Dengan demikian peraturan perundang-undangan yang dipakai juga dapat sesuai dengan waktu terjadinya peristiwa hukum. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU