Home / Korupsi : Pedagang Pasar Tradisional di Surabaya Sambat. Sud

PD Pasar, Banyak Pungutan

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 07 Jan 2019 08:24 WIB

PD Pasar, Banyak Pungutan

Firman Komeng- Alqomar, Tim Surabaya Pagi Pedagang pasar tradisional di kota Surabaya resah, lantaran Perusahaan Daerah (PD) Pasar Surya akan menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (Ppn) 10 persen pada awal 2019 ini. Pungutan pajak itu akan menambah beban pedagang, karena Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemkot Surabaya itu masih terus memungut retribusi atau Iuran Layanan Pasar (ILP). Jadi, pedagang dibebani pungutan dobel. Ini ironis, mengingat internal PD Pasar Surya dalam kondisi kacau. Selain diterpa kasus korupsi, PD Pasar bertahun-tahun tak memiliki direktur utama (dirut) definitif. Dikhawatirkan pungutan ganda yang membebani pedagang itu menjadi lahan korupsi atau pungutan liar (pungli) lagi. Apalagi, PD Pasar Surya mengelola sekitar 26 ribu pedagang tersebar di 67 pasar di Surabaya. ---- Herwanto, pedagang Tionghoa yang punya tiga stan/toko di dalam Pasar Kapasan terpaksa menyewakan dua stan lainnya. Pasalnya, omzet penjualannya terus menurun. Meski dua stand yang dimilikinya itu dalam kondisi tutup atau belum digunakan, Herwanto tetap harus mengeluarkan uang kebersihan, keamanan dan listrik tiap hari dan bulannya. "Iya meski tidak ada aktifitas,tetap saja retribusinya bayar mas. Makanya saya sewakan itu pertahun Rp 35 juta, kalau ambil dua tahun jadi 30 juta per tahun," ucap Herwanto kepada Surabaya Pagi. Herwanto adalah salah satu pedagang yang keberatan jika pajak pertambahan nilai 10% diberlakukan. Sebab menurutnya, untuk harga barang saja sangat relatif dan tidak bisa dihitung secara pasti. Belum lagi, laba yang terus menyusut menjadi bahan pertimbangan pedagang, padahal retribusi terus naik tiap tahunnya. "Ya gimana ya pak, liat sendiri ini kan sedang sepi juga,padahal hari Minggu. Sampean bisa lah nilai gimana. Terus terang pasti akan berkeberatan kami pedagang. Pungutannya sudah banyak," katanya. Pasar Kapasan yang merupakan pasar tradisional cukup besar, pedagang di sana sambat. Lalu, bagaimana di pasar-pasar kecil seperti pasar Pakis Surabaya? Arip Purwanto, menceritakan bagiamana ia harus mengakhiri kontrak stand di pasar tersebut. Pedagang baju itu memilih untuk membuka toko di rumahnya. Sebab, antara hasil laba dan uang sewa serta retribusi dianggap Arip tak memenuhi target penghasilan. "Di sini kontrak awal Rp 4 juta pertahun, stan 2 kali 3 meter. Kemudian dinaikkan di tahun kedua menjadi Rp 5 juta. Uang retribusi kebersihan dan keamanan serta listrik itu 200 ribu perbulan. Padahal kita dagang gak sampai 24 jam. Omset sebulan cuma Rp 2,5 sampai 3 juta aja. Ya gak nyucuk," kata Arip. Hal senada diungkapkan pedagang Pasar Bratang. Saleh, misalnya. Ia menyebutkan pemberlakuan PPn 10 persen sangat memberatkan pedagang. Sebab, kondisi pasar sepi. Belum lagi pungutan lain, seperti listrik dan keamanan. Kalau pasarnya ramai, dagangan laku, nggak masalah kami ditarik pajak. Lha kalau saat ini dengan kondisi pasar sudah sangat sepi, lalu kami bayarnya pakai apa," keluh dia. Pungutan Lain Selain itu, sejumlah pedagang mengungkap pungutan lain. Diantaranya, uang sewa stan, listrik dan kebersihan dan uang keamanan. Di Pasar Kapasan, misalnya, sewa stand setiap bulannya variatif, tergantung ukuran. Paling murah dibandrol Rp 15 juta per tahun untuk ukuran stand 1×2 meter, lalu 25 juta hingga 35 juta per tahun. Uang sewa itu tidak semua dikelola PD Pasar Surya, melainkan ada beberapa stand toko yang disewakan secara pribadi karena telah dibeli. Selain stand toko yang disediakan, PD Pasar juga mematok sewa stand di emperan pasar. Nilainya sekitar 1,5 juta rupiah perbulan dengan luas 1 x 3 meter. "Ya ada juga yang beli terus disewakan mas, harganya sama," kata Bogel (nama samaran) salah satu pedagang emperan. Tak hanya uang sewa yang harus dikeluarkan para pedagang tiap tahunnya, per bulan, mereka juga dikenakan retribusi kebersihan dan keamanan. Perhari, untuk dua urusan itu,pedagang harus mengeluarkan 10 ribu rupiah. Belum lagi listrik. Setiap bulan mereka harus merogoh kocek sebesar 200 ribu per stand. "Sistem bayar lampunya beda-beda, kalau saya yang emperan gini dihitung per lampu, untuk lampu kecil 3 ribu per hari, itu satu lampu. tinggal kalikan saja. Kalau lampu neon harganya 7,5 ribu per hari,per lampu. Ada pula yang langsung perbulan bayar 200 -300 ribu," tambah Bogel. Begitu juga di Pasar Pucang. Meski sudah direvitalisasi, kondisi pasar tetap bocor dan becek. Seperti diungkapkan Primayestri, yang telah puluhan tahun berdagang di Pasar Pucang. Ia mengaku kecewa dengan pengelola pasar lantaran tingginya biaya retribusi bulanan. "Setelah revitalisasi itu naik mbak tarifnya, dari Rp 225 ribu menjadi Rp 285 ribu untuk ukuran stan 2 x 4 meter," ungkapnya. Primayestri menambahkan seringkali ada permasalahan pada pembayaran biaya kontribusi bulanan, karena pengelola pasar yang tidak mengakui pembayaran pedagang. Akibatnya, pedagang harus membayar dobel. "Seringkali saya malas bayar iuran, karena pernah saya bayar 3 bulan yang diakui petugas cuman 2. Jadi harus bayar lagi. Apalagi di sini biaya bulanan dan listrik juga mahal, sampai-sampai lebih mahal dari biaya listrik rumah saya," papar dia. Ia mengaku tingginya biaya listrik tidak sebanding dengan pemakaian, karena ia hanya membuka stan/lapak siang pukul 12.00 hingga malam pukul 19.00. Namun biaya listik yang ditarik lebih dari Rp 100 ribu. "Pernah saya disuruh mengontrakan stand yang telah saya beli ini, karena masalah buka standnya siang. Saya sudah protes karena ini kan hak pedagang membuka lapak dari pagi atau siang. Intinya pengurus di sini selalu mencari masalah lah. Karena itu pula banyak pedagang yang nutup tokonya," beber dia. Pasti Gugat Walikota Sebelumnya, Perkumpulan Pedagangan Pasar Tunjungan (P3T) menolak pengenaan PPn 10 persen yang double, karena keputusan Direksi PD Pasar Surya merupakan tindakan tanpa dasar hukum yang sah dan cenderung sewenang-wenang. Pedagang yang bermaksud membayar retribusi atau ILP ditolak, jika tidak disertai PPn 10 persen. Karena itulah, mereka makin yakin untuk menempuh jalur hukum, yakni menggugat Walikota Surabaya Tri Rismaharini dan manajemen PD Pasar Surya. "Kalau beliau (Tri Rismaharini, red) wali kota kami, warga Surabaya, tentulah Bu Risma akan menemui kita. Melihat langsung seperti apa Pasar Tunjungan yang sepi, rusak, tapi kami terus ditarik retribusi dan pasar tak kunjung direvitalisasi," ungkap Ketua P3T Sistono, Minggu (6/1/2019) kemarin. Namun sampai saat ini belum ada itikad baik dari Pemkot untuk langsung bertemu dengan Pedagang Pasar Tunjungan. Lebih lanjut, ia menegaskan saat ini langkah mengajukan gugatan sudah dimatangkan oleh pihaknya. Bahkan materi gugatan sudah selesai disusun dan siap diajukan ke Pangadilan Negeri Surabaya. "Gugatannya sudah siap. Ini proses finishing. Maksimal akhir Januari kami masukkan. Kalau sudah masuk gugatannya, tidak ada damai, tidai ada mediasi, tidak ada mundur," tandas Sistono. Direaksi Komisi B Keluhan pedagang soal dobel pungutan oleh PD Pasar Surya, direaksi Komisi B DPRD Kota Surabaya. Ketua Komisi B Mazlan Masyur mengatakan selama ini PD Pasar Surya belum bisa memberikan pelayanan yang baik terhadap para pedagang. Ia pun meminta agar penarikan PPn 10 persen tidak terapkan lebih dulu. Mengingat dalam manjanemen PD Pasar ini masih carut marut, belum bisa memberikan pelayanan yang baik kepada pedagang. Sebaiknya (pungutan PPn 10 persen, red) tidak diberlakukan dulu, cetus Mazlan dihubungi Surabaya Pagi, Minggu (6/1) sore. Politisi PKB ini melanjutkan, pungutan itu memang menjadi dilemma. Sebab, keuangan PD Pasar Surya saat ini terus melemah. Keuangan PD Pasar saat ini buruk, karena masih banyak problem yang ada dalam PD Pasar, kata Mazlan. Semasa Bambang Parikesit menjadi Plt Dirut Perusahaan Daerah Pasar Surya (PDPS), ia terjerat dua kasus. Pertama, Bambang diduga terlibat korupsi pinjaman dana koperasi karyawan PD Pasar Surya yang bersumber dari kredit pinjaman dana BRI Cabang Mulyosari Surabaya pada tahun 2016 lalu. Kasus kedua, kasus korupsi dana revitalisasi peremajaan atau pembangunan PD Pasar Surya periode tahun 2015-2016. Dalam kasus korupsi dana revitalisasi pasar di Surabaya 14,8 miliar, Bambang divonis Hakim Pengadilan Tipikor Suabaya dengan hukuman 3 tahun dan 6 bulan penjara. Sedang dalam kasus korupsi dana operasional Koperasi Karyawan PD Pasar Surya yang bersumber dari pinjaman di Bank BRI Mulyosari sebesar Rp 13,4 miliar, Bambang Parikesit dituntut 4 tahun penjara. PD Pasar Surya juga menghadapi persoalan serius lainnya, karena dianggap menunggak pajak hingga Rp 7 miliar. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kantor Surabaya Madya sejak 18 April 2017, memblokir seluruh rekening PD Pasar. Kasus ini juga terjadi di era kepemimpinan Bambang Parikesit. Mazlan mengatakan, PPn ini berbeda dengan pajak penghasilan (PPh) atau pendapat. Menurutnya, PPn ini kebijakan dari Kantor Ditjen Pajak. Menurutnya PPn ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan tunggakan pajak PD Pasar yang besar hingga berakibat rekening diblokir. PPn itu hanya salah satu faktornya, dan nilainya kecil kalau PPn yang ditanggung PD Pasar. Yang ditanggung PD Pasar itu PPh badan dan PPn stan. Pajak penghasilan dengan PPn itu berbeda, kata Mazlan. Di Atas UMK Hal senada diungkapkan Baktiono, anggota Komisi B dari Fraksi PDIP. Menurutnya, penarikan PPn untuk pedagang itu bukan kebijakan Pemkot Surabaya maupun PD Pasar Surya, melainkan kebijakan Ditjen Pajak. Setiap transaksi ka nada PPn 10 persen. Itu kebijakan pusat, bukan Pemkot dan PD Pasar. PD Pasar itu hanya memfasilitasi itu (pungutan PPn 10 persen, red), papar Baktiono dihubungin terpisah. Baktiono mengingatkan jangan sampai terjadi kesalahan seperti tahun lalu, rekening PD Pasar diblokir karena menanggung pajak pedagang. Tunggakan pajak PD Pasar 7 miliar itu kan karena menanggung PPn pedagang, terang dia. PPn itu, lanjutnya, dikenakan kepada seluruh pedagang yang berpenghasilan di atas UMK kota Surabaya. Ketentuan PPn itu bagi setiap pedagang yang berpenghasilan di atas UMK, pungkasnya. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU