Home / Peristiwa : Gaduh Pemerintahan Jokowi Jelang Tahun Politik

Panglima TNI pun Ditegur

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 02 Okt 2017 22:59 WIB

Panglima TNI pun Ditegur

Presiden Joko Widodo ternyata risau juga melihat perselisihan antar pimpinan lembaga negara yang mencuat akhir-akhir ini. Paling mencolok, pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengenai pembelian 5.000 pucuk senjata oleh lembaga non-militer. Saat memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (2/10/2017) kemarin, Presiden Jokowi kembali memerintahkan menteri Kabinet Kerja dan pimpinan lembaga negara agar tidak membuat gaduh. Peringatan Jokowi ini tergolong keras, sampai-sampai ia menegaskan bahwa dirinya adalah Panglima Tertinggi di atas 3 matra angkatan bersenjata, yakni Laut, Darat, dan Udara. Benarkah ini sebagai teguran untuk Jenderal Gatot Nurmantyo? Di sisi lain, survei terbaru elektabilitas capres jelang Pemilu 2019 menunjukkan, bahwa mayoritas responden menginginkan capres alternatif di luar Jokowi dan Prabowo Subianto. Lantas, apa ini menjadi kesempatan bagi Jenderal Gatot yang sebelumnya disebut-sebut layak menjadi kandidat di Pilpres 2019? ----------------- Laporan : Joko Sutrisno Tedjo Sumantri, Editor : Ali Mahfud ----------------- "Political harus kondusif. Jangan bertindak atau bertutur kata yang membuat masyarakat bingung. Ini semuanya, permasalahan antar lembaga, antar kementerian selesaikan secara kondusif," kata Jokowi dalam kata pengantar di Sidang Kabinet, kemarin. Polemik pembelian 5.000 pucuk senjata api ini mencuat dari pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saat silaturahmi TNI dengan purnawirawan di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Jumat 22 September. Ia menyebut pembelian senjata ini sebagai ancaman keamanan lantaran dilakukan oleh lembaga non-militer. Jokowi meminta tiap kementerian atau lembaga bisa menyelesaikan masalah di tingkat menteri koordinator terkait. Bila tak selesai, bisa dibahas bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. "Masih belum selesai masih bisa ke saya," ucap dia. Ia tak ingin masalah antar kementerian dan lembaga diumbar ke publik. Apalagi, 2018 sudah masuk tahun politik. Tahapan Pilkada 2018, Pileg dan Pilpres 2019 sudah dimulai. Jokowi tak ingin permasalahan yang diumbar ke publik memunculkan kegaduhan dan kontroversial. Karena itu, ia ingin anak buahnya fokus bekerja. Sebagai kepala pemerintahan, sebagai kepala negara, sebagai panglima tertinggi Angkatan Darat, Laut, dan Udara, saya ingin perintahkan kepada Bapak, Ibu, Saudara sekalian, fokus pada tugas masing-masing," lanjut Jokowi. Kontroversi pernyataan Gatot Nurmantyo mengenai rencana pengadaan 5.000 pucuk senjata oleh lembaga non-militer membuat kondisi politik nasional memanas. Bahkan, Presiden turun tangan untuk mencari tahu akar persoalannya. Jokowi memanggil Gatot pada Selasa (26/9) malam, di Halim Perdanakusuma. Namun, Kepala Negara enggan membeberkan hasil pertemuannya. Dia hanya menegaskan, sudah mendapat penjelasan lengkap dari Gatot soal informasi pengadaan 5.000 pucuk senjata oleh lembaga non-militer. Sementara Menko Polhukam Wiranto mengklarifikasi polemik pernyataan Panglima TNI pada Minggu (24/9) di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta. Wiranto menuturkan polemik itu terjadi akibat kesalahan komunikasi Panglima TNI soal informasi pembelian senjata yang diterima. Penjelasan Wiranto disampaikan setelah mempertemukan Gatot, Kepala BIN Budi Gunawan, dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Wiranto menjelaskan, senjata itu sebetulnya dibeli oleh BIN untuk keperluan pendidikan. Jumlahnya pun hanya 500 pucuk, bukan 5.000 pucuk. Tahun Politik Sekretaris Kabinet Pramono Anung menegaskan apa yang disampaikan Presiden sudah jelas dan tak perlu penafsiran. "Apa yang disampaikan secara terbuka oleh Bapak Presiden pada hari ini dalam pengantar sidang kabinet paripurna sudah cukup jelas, dan tidak perlu ditafsirkan atau dimaknai apapun," kata Pramono Anung usai rapat. Menurutnya, jangan sampai pro dan kontra isu pejabat pemerintahan membuat kondisi negara terpengaruh. Bila semua pihak berkonsentrasi dalam bekerja tanpa ikut ribut di tahun politik, maka pertumbuhan ekonomi dinilai Pramono bisa lebih baik lagi. Bagaimana dengan kondisi saat ini? "Saya tidak ingin menafsirkan lebih dari apa yang disampaikan Bapak Presiden. Tapi yang jelas, karena ini memang sebentar lagi, mungkin Februari, partai-partai sudah sibuk dengan pencalegan, sehingga dengan demikian pemerintah juga jangan terganggu konsentrasinya oleh itu," tutur Pramono. Bila ada pejabat yang mau maju ke Pilkada 2018 atau bahkan Pilpres 2019, maka pejabat itu perlu melapor ke Presiden. Namun sejauh ini, kata Pramono, belum ada pejabat yang melapor hendak maju Pilkada atau Pilpres. Elektablitas Capres Sementara itu, Media Survei Nasional (Median) menggelar survei elektabilitas capres jelang Pemilu 2019. Hasilnya, mayoritas responden menginginkan capres alternatif di luar Jokowi dan Prabowo Subianto. Median menyebutkan, elektabilitas Jokowi sebesar 36,2 persen. Sementara elektabilitas Prabowo sebesar 23,3 persen. Sisanya, 40,6 persen ingin capres di luar Jokowi dan Prabowo. "Ada 40,6 persen publik tidak ingin Prabowo dan tidak ingin Jokowi," kata Direktur Eksekutif Median Rico Marbun, Senin (2/10). Sementara itu, dari hasil survei Median ini, sebanyak 63,8 persen publik yang ingin pergantian pemerintahan pada Pemilu 2019 nanti. Sebab, hanya 36,2 persen yang memilih Jokowi lagi nantinya, menurut hasil survei ini. "Ada 63,8 persen publik yang menginginkan Presiden Jokowi diganti," ujar Rico. Angka kedua kesimpulan survei Median di atas, diambil dari total elektabilitas 10 bakal calon presiden, termasuk di dalamnya nama Jokowi dan Prabowo, ditambah dengan responden yang memilih tokoh lainnya dan yang tidak menjawab atau tidak tahu. Sedang posisi Jenderal Gatot Nurmantyo di urutan ke-5 dengan perolehan suara 2,8 persen, di bawah Susilo Bambang Yudhoyono (8,4 persen) dan Anies Baswedan (4,4 persen). Median juga meneliti tentang tingkat kepercayaan publik dengan kepemimpinan Jokowi. Pertanyaan yang ditanyakan oleh peneliti adalah menurut anda apakah pemerintahan Jokowi akan mampu atau tidak mengatasi masalah bangsa ini. "Ada 35,9 persen publik yang menganggap Jokowi belum mampu mengatasi masalah saat ini dibanding dengan 35,4 persen yang mampu," tambah Rico. Sementara yang tidak menjawab dalam pertanyaan ini sebanyak 28,7 persen. Survei digelar pada 14-22 September 2017 dengan sampel 1.000 responden di seluruh provinsi di Indonesia. Metode survei menggunakan multistage random sampling dengan margin of error +/- 3,1 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Quality control dilakukan terhadap 20 persen sampel yang ada. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU