Oligarki Politik di Surabaya, Belum Goyah, Ayo Rek Ojok Milih Mereka

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 16 Des 2019 21:15 WIB

Oligarki Politik di Surabaya, Belum Goyah, Ayo Rek Ojok Milih Mereka

Surat Terbuka untuk Calon Walikota Surabaya, 2020-2025 (3) Pembaca yang Budiman, Ternyata yang terjadi di Surabaya, calon calon yang muncul ingin merebut kursi walikota Surabaya, masih sekitar pelaku oligarki. Mereka umumnya tidak terlalu kaya, tapi punya hubangan kuat dengan elite ekonomi dan pebisnis. Sederhananya adalah secara pribadi cawali yang sudah mempublish tidak kaya, tapi disokong anggota keluarga dengan kemampuan ekonomi tinggi. Anggota keluarga atau jaringannya ini yang kelak akan mendanai kampanyenya. Sebagai jurnalis yang berkarir sejak tahun 1977, saya telah kenal dengan banyak lapisan masyarakat yang berpraktik oligarki. Adalah tidak etis saya membeberkan nama-namanya dalam surat terbuka saya. Menurut catatan saya, minimal ada dua jenis elite lokal cenderung mendominasi politik lokal. Mereka terdiri elite birokrasi (orang-orang dengan posisi tinggi dalam pemerintahan lokal yaitu Pemkot) dan elite ekonomi pelaku bisnia. Elite lokal ini ada yang duduk di ormas, ada yang di parpol dan tak sedikit menduduki jabatan publik yang didanai APBD. Maka itu, munculnya kandidat dari birokrat dan relasi birokrat, saya amati rentan mempraktikkan kecurangan. Termasuk gunakan politik uang (money politics). Oleh karena itu, munculnya kandidat lain yaitu calon walikota independen yang berlatar belakang advokat dan seniman, untuk ukuran partisipasi politik dari publik, baik-baik saja. Tapi saya meragukan keampuhannya menghadapi praktik politik oligarki di Surabaya. Menurut pendapat saya praktik politik oligarki menggambarkan adanya segelintir orang yang masih berkuasa, sehingga mereka bisa menentukan semua keputusan politik bagi ratusan juta orang lainnya untuk dikerjakan segelintir orang. Praktik ini bertahun-tahun saya amati, secara ekonomi, muncul yaitu sejumlah kecil manusia menguasai sebagian besar kekayaan bangsa. Misal kasus pembangunan Pasarturi baru. Mengapa pengelolaannya bisa jatuh ke sekelas Henry J Gunawan alias Cen Liang, pebisnis yang sering bermasalah. Sekali lagi ada dugaan praktik oligarki antara elite politik dengan segelintir pengusaha yang dekat dengan elite politik lokal. Kasus pengelolaan Pasarturi baru adalah salah satu contoh adanya sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan terjadinya pengumpulan kekayaan dan kewenangan di tangan segelintir elite di Surabaya. Dan dari segelintir orang yang berkuasa dari sisi politik ini ternyata juga berimbas kepada orang-orang yang sama dengan mereka yang berkuasa secara ekonomi. Kasus pengelolaan Pasarturi baru yang tak segera rampung, menurut saya buah dari ketimpangan penguasaan ekonomi dan politik oleh elite Surabaya. Secara defacto, pilihan kepada PT Gala Bumi Perkasa, milik Cen Liang, dilahirkan oleh keputusan politik walikota Bambang DH yang didukung elite politik lokal Surabaya. Praktik oligarki semacam ini ternyata bisa semakin memperkaya mereka yang kuat (investor Pasarturi dan kroni-kroninya) dan semakin memarginalkan mereka yang lemah yaitu pedagang Psar Turi lama. Maka, tidak heran jika sejumlah politisi menggambarkan bahwa demokrasi di Surabaya pun masih mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran karena ia justru dibajak oleh para elit politik dan pengusaha lokal. Bahkan mendalami kasus pengelolaan Pasarturi baru, terjadi apa yang dijuluki elite dan pengusaha Surabaya, peristiwa predator. Misalnya Wisnu Shakti. Bila dia kelak jadi mendapat rekomendasi dari Ketua Umum PDIP Megawati, menjadi kandidat Wawali Surabaya tahun 2020-2025. Dan kemudian masyarakat Surabaya, memilihnya lebih 50%, maka dia bisa jadi Walikota. Nah, dia punya kakak yang adalah pebisnis bernama Seno. Selama ini kakak kandung Wisnu, sudah sering menangani berbagai proyek yang didanai APBD, mulai komputer sampai ikut pengelolaan sampah. Ini terjadi era Bambang DH hingga Risma. Belum pertemanannya dengan mantan Ketua Kadinda Surabaya, Dr. Ir. Jamhadi MBA. Jamhadi, dikenal oleh sejumlah kontraktor Surabaya, pernah ikut bekerja di perusahaan ayah Wisnu Shakti, yang berkantor di Jl. Pandigiling Surabaya. Pemilik modal yang dekat dengan Wishnu bukan hanya mereka. Ada beberapa pengembang yang dikenal akrab dengan walikota Risma. Keakraban ini terkait dengan masalah perijinan penggunaan lahan dan urusan policy . Misal soal transportasi kota. Dari sisi ekonomi, praktik oligarki di Surabaya pun juga menghasilkan masalah sosial-ekonomi. Sebagaimana dirilis oleh berbagai lembaga riset dunia, Indonesia mengalami problem ketimpangan ekonomi yang semakin meningkat. Pada tahun 2017, Oxfam, suatu lembaga peneliti bahkan mengungkapkan bahwa satu persen warga terkaya negeri ini menguasai hampir separuh (49 persen) kekayaan nasional. Salah satunya adalah investor Pasarturi yang dalam rilis internal mereka, hasil penjualan stan Pasarturi, mereka memetik laba Rp 1 triliun. Laba yang menggiurkan ini menyebabkan elite pengusaha Cen Liang ini pecah kongsi sampai Desember 2019 ini. Urusan oligarki ini ada yang membuat saya miris. Ternyata ada empat orang terkaya di Indonesia yang memiliki kekayaan lebih besar dari 40 persen penduduk termiskin, atau sekitar 100 juta orang. Ada yang menghitung dalam satu hari, pendapatan dari bunga orang terkaya di Indonesia melampaui 1.000 kali belanja orang miskin untuk kebutuhan pokok selama satu tahun. Masya Allah. Konklusi berpikir ekonomi kerakyatan, praktik oligarki di Surabaya, sampai pendaftaran cawali 2020-2025, masih belum goyah. Pelaku oligarki masih nyaman-nyaman saja bertaring predator ekonomi. Di tengah kota Surabaya, kita tahu di belakang mall TP dan gedung-gedung megah seperti hotel Sheraton dan JW Marriot ada perkampungan warga yang sederhana dan kumuh. Disana, ada gang-gang sempit, sungai yang keruh, dan permukiman tak layak huni. Inikah yang digembar-gemborkan walikota Risma, smart city. ? Arek kampung Plemahan, dan Kedungturi bisa bilang, mbel... Jujur, dengan realita seperti ini, sebagai warga kota yang setia, saya bila nanti mau coblos, tidak akan memilih cawali yang dekat dengan elite politik oligarki. Saya pikir selama parpol-parpol level menengah atas di Surabaya belum mau menghilangkan cengkeraman oligarki ini, saya akan kampanye untuk peningkatan partisipasi dan selalu kritis terhadap pelaksanaan demokrasi wawali di Surabaya, antara lain kampanye terbuka dan tertutup untuk jangan pilih cawali dari kelompok oligarki yang kini berkuasa di pemkot dan jaringannya. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU