Home / Pilpres 2019 : Kampanye Jokowi-Ma’ruf vs Prabowo-Sandiaga Uno

Masih Perang Diksi dan Narasi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 15 Feb 2019 09:05 WIB

Masih Perang Diksi dan Narasi

SURABAYAPAGI.com - Kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 hingga saat ini masih sebatas perang diksi dan narasi. Disadari atau tidak oleh aktor politik di dua kubu pasangan capres-cawapres, komunikasi politik model ini tidak mendidik masyarakat. Apalagi narasi politik yang dibangun masing-masing kubu tidak bermutu. Diksi dan narasi yang muncul justru seolah-olah terjadi perang antara kubu pasangan nomor 01 Jokowi-Maruf Amin dengan pasangan nomor 02 Prabowo-Sandiaga Uno. Sementara hari H coblosan makin dekat, yakni 17 April 2019. ------ Pengamat politik Emrus Sihombing mengatakan, diksi dan narasi yang muncul seolah berhadap-hadapan antara poros satu dengan poros lain. Di satu sisi muncul ungkapan dan narasi tentang ekonomi kebodohan, menteri pencetak utang, anggaran negara bocor Rp500 triliun, negara punah. Semua itu dinilai abstrak. Di sisi lain, kata dia, mengemuka pandangan dan ungkapan terkait konsep politik sontoloyo, genderuwo dan propaganda Rusia. Sebutan ini juga masih sulit untuk merumuskan batasannya. "Lontaran dari kedua kubu tersebut, dari aspek komunikasi, berpotensi menimbulkan polarisasi sempit di tengah masyarakat. Berdasarkan pandangan kedua kubu tersebut, saya berpendapat, pola komunikasi politik semacam ini harus sesegera mungkin kita hentikan," tutur Emrus, Kamis (14/2/2019). Menurut dia, realitas komunikasi politik di atas mengandung dua kerugian sekaligus. Pertama, rakyat dirugikan karena perang diksi dan narasi yang mampu mengubur dalam-dalam daya kritis masyarakat terhadap program dari kedua kubu kandidasi. "Energi rakyat terkuras kepada perang komunikasi politik yang tidak produktif. Rakyat seolah hanyut dalam arus wacana dari para elitis. Akibatnya, ketika salah satu kandidat memenangkan kontestasi Pilpres 2019, rakyat amat sulit menagih janji politik sebuah rezim yang berkuasa karena sudah terkubur oleh wacana perang diksi dan narasi," papar Direktur Eksekutif Emrus Corner ini. Kedua, lanjut dia, konsekuensi perang diksi dan narasi berpotensi kuat memanipulasi persepsi dan emosi rakyat dalam menentukan pilihan terhadap salah satu dari dua pasangan calon. Bukan tidak mungkin, menurut Emrus, rakyat memilih atas pertimbangan emosional, persepsi yang disesatkan, dan berdasarkan suka tidak suka kepada salah satu pasangan calon. "Sebagai akibat dari perang diksi dan narasi yang dilontarkan oleh sebagian aktor politik dari kedua kubu," tandas dosen Universitas Pelita Harapan ini. Adu Ide dan Data Dia memaparkan kedua faktor di atas sangat tidak baik menumbuhkembangkan kedewasaan demokrasi di negeri ini. Kedewasaan demokrasi akan terbangun dengan baik bila para aktor politik menawarkan ide, gagasan dan program yang terukur dengan kemasan pesan komunikasi berbasis rasionalitas. "Karena itu kepada rakyat harus diberikan sajian diksi dan narasi yang berbasis fakta, data, bukti dan argumentasi yang kuat," tuturnya. Menurut dia, perang narasi dan diksi yang terjadi hingga kini sama sekali jauh dari tujuan kampanye dalam suatu kontestasi politik yang mencerdaskan rakyat dan mendorong rasionalitas menentukan pilihan. "Sebab dalam suatu kampanye politik yang mendidik, sejatinya berlomba-lomba menawarkan visi, misi dan program yang terukur secara kuantitatif serta mampu menciptakan suasana tenang dan damai secara kualitatif. Bukan menimbulkan suasana panas di tengah masyarakat," tuturnya. Perang Total Perang diksi dan narasi dengan konflik yang terbangun makin kuat dengan ungkapan strategi perang total. Ini diungkapkan Ketua Harian Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf Amin, Moeldoko. Ia mendeklarasikan "perang" total jelang dua bulan Pilpres di Markas TKN Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (13/2) lalu. Wakil Ketua TKN Jokowi-Maruf Arsul Sani kemudian meluruskan maksud perang total itu. Menurut Arsuk, tim kampanye akan mengerahkan semua kekuatan yang ada di daerah-daerah. "Perang total artinya kami infanteri dan melakukan micro canvasing, door to door. Tetapi, kini dengan target yang jelas dan konkret," ujar Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/2/2019). Misalnya, seorang caleg partai pendukung akan ditargetkan mendatangi beberapa rumah dalam satu hari. Perang total ini akan memanfaatkan tenaga tim kampanye yang ada di daerah-daerah. Arsul mengatakan, strategi ini akan dilakukan di daerah-daerah yang belum dimenangi Jokowi pada Pilpres 2014. "Selain itu, juga di daerah yang meskipun Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla dulu menang dalam Pilpres 2014, tetapi tingkat selisihnya tidak banyak," kata Arsul. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU