Home / Pilpres 2019 : Catatan Politik Sekitar Peristiwa 21-22 Mei

Ironis, Pengacara Prabowo-Sandi Gugat ke MK, Gunakan Narasi Politik

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 27 Mei 2019 09:14 WIB

Ironis, Pengacara Prabowo-Sandi Gugat ke MK, Gunakan Narasi Politik

Dr. H. Tatang Istiawan Wartawan Surabaya Pagi Juru Bicara BPN Dahnil Anzar Simanjuntak, pernah mengatakan Prabowo Sandiaga tak mau menggugat hasil pilres ke MK, karena pihaknya tidak mempercayai proses hukum di Indonesia. BPN merasa kehilangan kepercayaan terhadap proses hukum di Indonesia. Dahnil, bahkan melihat ada makar hukum secara massif, makanya Prabowo-Sandi, tak mau menggugat hasil pilres ke MK. Pernyataan Dahnil ini diperkuat oleh anggota tim pemenangan BPN Prabowo-Sandi., Titiek Soeharto. Putri penguasa Orde Baru Soeharto ini, memastikan pihaknya tidak akan membawa sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Titiek mengaku trauma karena, saat melaporkan kecurangan pada Pemilu 2014, tidak mendapat keputusan yang diinginkan. Titik dan tim BPN akan berjuang di jalanan. Inikah sikap dari beberapa warga Negara dalam negara demokrasi yang tidak mengakui proses hukum sengketa Pemilu? Mengapa bila ingin memperjuangkan keadilan dalam pemilu tidak mengajukan sengketa hukum melalui MK. Apakah memperjuangkan keadilan dalam pemilu atau keadilan dalam demokrasi bisa selesai lewat aksi-aksi jalanan? Ternyata dalam aksi yang semula dirancang oleh BPN sebagai aksi damai, muncul kerusuhan yang menyebabkan asrama Brimob terbakar, beberapa mobil hangus oleh api, fasilitas jalan dirusak, ada tujuh korban meninggal dan ratusan perusuh ditangkap Polri. Kerusuhan ini oleh Mabes Polri dinilai telah dilakukan by design dan ada pendana serta dalangnya. Siapa dalang kerusuhan? Pola kerusuhan nyaris sama dengan kerusuhan Mei 1998? benarkah dalangnya sama? berikut catatan politik yang pertama dari wartawan senior harian Surabaya Pagi, Dr. H. Tatang Istiawan. ---- Akhirnya, Prabowo-Sandiaga menggugat hasil pemilihan presiden 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam permohonan gugatan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2019, tim kuasa hukumnya menggunakan pasal 22 e ayat 1 UUD 1945 sebagai dalil permohonan. Ini bermula pada 21 Mei 2019 dini hari lalu, KPU telah menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara nasional Pilpres 2019. KPU menetapkan pasangan Jokowi-Maruf memperoleh 85.607.362 atau 55,50 persen suara. Sedangkan Prabowo-Sandi mendapatkan 68.650.239 atau 44,50 persen suara. Selisih suara kedua pasangan mencapai 16.957.123 atau 11 persen suara. Prabowo-Sandi, menolak hasil pengumuman KPU ini, karena meyakini ada kecurangan. Bahkan, Prabowo sempat menyerahkan kepada para pendukungnya untuk menyampaikan aspirasi hingga terjadi unjuk rasa massa di depan kantor Bawaslu RI, yang diwarnai kerusuhan pada 21-22 Mei. Dalil yang digunakan tentang pasal 22 e ayat 1 UUD 1945, menyatakan pemilu harus jujur dan adil. Kini, tim kuasa hukum Prabowo-Sandi akan menguji di MK benarkah pemilu 2019 ini berlangsung jujur dan adil? Narasi yang dibangun oleh tim kuasa hukum Prabowo-Sandi, tidak berbeda dengan pidato-pidato dari elite politik Partai Gerindra, selama ini. Termasuk pernyataan Prabowo sendiri. Versi mereka, pemilu 2019 kali ini dianggap banyak kecurangan. Dan ini tak sesuai dengan amanah UUD 45. Oleh karenanya, tim kuasa hukum yang dipimpin oleh advokat Bambang Widjojanto., menganggap produk dari pemilu kali ini tidak sah alias inskonstitusional. Menurut pola pikir tim kuasa hukum Prabowo-Sandi, menggunakan pijakan UUD 1945, maka seluruh organ negara termasuk KPU, harus patuh pada UUD 45. Mengingat, antara rakyat dan negara sifatnya Impratif. Jadi kewajiban organ negara dari KPU melaksanakan pasal 22 e ayat 1 UUD 1945 dan itu kewajiban. Dalam pandangan Bambang Widjojanto dkk, produk KPU menjadi tidak konstitusional kalau syarat dari UUD 1945 pasal 22e ayat 1 tidak dilaksanakan dan tidak mengikat. Maka itu batal demi hukum. Hal ironis dalam ajuan gugatan ke MK ini, BW berharap MK tidak menjadi bagian dari rezim korup. BW menilai, dalam pilpres 2019 ini dinilai ada kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Bambang menyoroti, pemilu kali ini dilakukan penuh kecurangan yang tersturktur, sistematis dan masif. Tolok ukurnya ada penyalahgunaan APBN, Ketidaknetralan aparat, Penyalahgunaan Birokrasi, Pembatasan Media, Diskriminasi Perlakukan dan Penyalahgunaan Penegakan Hukum. Tudingan TSM ini diperkuat dengan bukti-bukti link berita, di antaranya: Bukti P-12 Bukti link berita 26 Maret 2019 dengan judul Polisi Diduga Mendata Kekuatan Dukungan Capres hingga desa. Bukti link berita 7 Januari 2019 dengan judul Pose Dua Jadi di Acara Gerindra, Anies Terancam 3 Tahun Penjara Bukti link berita 6 Novemver 2018 dengan judul Pose Jari Luhut dan Sri Mulyani Bukan Pelanggaran Pemilu. Bukti link berita 11 Desember 2018 dengan judul Kades di Mojokerto Dituntut 1 Tahun Percobaan karena Dukung Sandiaga. Bukti link berita 12 Maret 2019 dengan judul Bawaslu Setop Kasus 15 Camat Makassar Deklarasi Dukung Jokowi. Bukti link berita 13 Januari 2019, dengan judul Gubernur dan 9 Bupati di Bengkulu Deklarasi Dukung Jokowi-Maruf, dsbnya. Bukti-bukti pemberitaan ini dianggap oleh tim hukum Prabowo-Sandi, sebagai fakta kekeliruan yang terstruktur, massif dan sistematis yang tidak bisa diatasi oleh KPU. Bambang berharap Mahkamah Konstitusi bisa menempatkan dirinya menjadi bagian penting bahwa kejujuran dan keadilan harus menjadi watak dari kekuasaan. Dan bukan justru menjadi bagian dari satu sikap rezim yang korup. *** Sebelumnya, Juru Bicara BPN Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan Prabowo Sandiaga tak mau menggugat hasil pilres ke MK karena tidak mempercayai proses hukum di Indonesia. Alasannya, BPN merasa kehilangan kepercayaan terhadap proses hukum. Dahnil bahkan melihat ada makar hukum secara massif. Karenanya, kubu Prabowo Sandiaga sudah tak lagi memunyai harapan menyelesaikan ketidakadilan serta kecurangan selama pilpres melalui jalur konstitusional. Dahnil berjanji BPN tidak akan memproses adanya kecurangan tersebut dengan melayangkan gugatan ke MK. Dalam penilaiannya, saat ini hukum di Indonesia tidak jauh dengan istilah hukum rimba, di mana keputusan diambil dari keinginan pemimpin. Bahkan ia menganggap hukum di Indonesia hanya mengandalkan orang kuat. Orang kuat ini dinilainya yang menentukan keputusan. Sedangkan Ketua Majelis Kehormatan PAN, Amien Rais pesimistis gugatan sengketa hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 yang diajukan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ke MK dapat merubah hasil Pilpres 2019 yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan (KPU). *** Secara hukum, proses penanganan sengketa di MK, diawali oleh panitera MK yang akan mengecek persyaratan berkas telah rangkap 12. Kemudian pencatatan permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) pada 11 Juni 2019. Praktis sejak 11 juni dihitung 14 hari kerja, MK mengadili perkara perselisihan yang dimohonkan BPN ke MK. Tapi pada 14 Juni 2019, berkas akan dilakukan pemeriksaan pendahuluan dalam sidang perdana oleh hakim MK, sekaligus penyerahan perbaikan jawaban dan keterangan. Baru mulai 17 Juni hingga 24 Juni 2019, akan dilakukan pemeriksaan persidangan. Setelah proses pemeriksaan selesai, pada periode 25 Juni-27 Juni 2019, MK akan menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim. Dan rencana sidang pengucapan putusan akan digelar pada 28 Juni 2019. Substansi dikabulkan atau tidak permohonan BPN, tim kuasa hukumnya harus menjelaskan masalah yang dipersoalkan, kecurangan terjadi di mananya, kesalahan penghitungan di mana saja dan permintaan BPN kepada MK. Tentang tudingan kecurangan, tim kuasa BPN karus menunjukan lokasi dugaan kecurangan hingga dugaan kesalahan penghitungan. Permohonan ini harus tertulis rangkap 4 dan harus disertai daftar alat bukti. Praktik sidang TSM tahun 2014 lalu yang saya ikuti, pemohon BPN Prabowo-Sandi wajib membuktikan TSM. Misal, BPN merasa kehilangan suara atau merasa ada kesalahan penghitungan menyebabkan kehilangan 8 juta suara (harus menyebut lokasi kecamatan,) BPN harus bisa membuktikan 8 suara itu. Pembuktian lokasi TPS mana, desa mana atau proses rekap tingkatannya. Jadi, pembuktian kehilangan suara dalam persidangan di MK tidak bisa klian, ada kecurangan tanpa bukti pendukung. Alat bukti itu dapat berupa dokumen formulir C1, video, maupun rekaman dalam bentuk apapun. Bahkan pengajuan saksi yang menduung alat bukti BPN, secara konseptual akan makin memperkuat gugatan yang diajukan BPN. Tapi belajar dari pengalaman gugatan Prabowo-Hatta tahun 2014, pengajuan saksi yang valid tak mudah. Akhirnya gugatan Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014, ditolak MK. Dan hasil rekapitulasi perhitungan KPU tanggal 21 Mei 2019 yang memenangkan Joko Widodo-Maruf, tidak bisa diganggu gugat. Apalagi membuktikan kecurangan yaitu merasa kehilangan suara sampai 16,5 juta suara. *** Pernyataan Ketua Tim hukum Prabowo -Sandi, Bambang Widjojanto, yang meragukan independensi dan integritas MK, mendapat kritik dari sejumlah pakar hukum. Termasuk beberapa mantan hakim MK. Pernyataan mantan komisionaris KPK ini dianggap berbahaya. Bambang, saat mendaftarkan gugatan disertai pernyataan yang ingin membangun opini. Terutama arah bila MK nanti menolak gugatan Prabowo-Sandi, lembaga ini dianggap bagian dari rezim korup dan bagian dari pemilu curang. Sebagai advokat yang berpengalaman, menurut saya, Bambang Widjojanto, mestinya BW menyiapkan data untuk buktikan tuduhan kecurangan yang dilakukan oleh Jokowi-Maruf, bukan menggiring opini publik tentang MK. Padahal, Bambang mesti tahu bahwa putusan MK atas gugatan Prabowo-Sandi dapat mengubah hasil rekapitulasi penghitungan suara Pemilu 2019 yang telah ditetapkan. Ini asal Bambang Widjajanto dkk, dapat mengajukan minimal dua alat bukti tentang terjadinya kecurangan atau pelanggaran penghitungan suara yang dilakukan KPU. Minimal tim hukum BPN bisa membuktikan Prabowo-Sandi, berhak memperoleh suara lebih dari 8 juta suara dalam persidangan di MK Pertanyaannya, mampukah gugatan Prabowo-Sandi mengubah secara signifikan hasil penghitungan suara yang sudah dilakukan oleh KPU yang memenangkan pasangan Jokowi-Maruf Amin. Kemenangan dengan selisih suara yang sangat besar, yakni 16,9 juta? Walahualam. Saya memang sudah mendapat copy gugatan permohonan BPN. Tapi saya tak ingin mengomentari alat bukti yang diajukan tim hukum Prabowo-Sandi. Saya lebih tertarikl mengamati tingkah laku para pengacara pembela BPN Prabowo-Sandi. Bisa jadi tim hukum ini bagian dari politis imitasi yaitu lain di mulut dan lain dihati. Bisa jadi gugatan di MK ini seakan sebagai ajang untuk mencari popularitas diri sebagai advokat sekaligus menciptakan opini masyarakat. Pertanyaannya, apakah advokat-advokat yang masuk dalam tim hukum BPN Prabowo-Sandi, sudah terkontaminasi aktivitas politik kliennya? walahualam. Hal yang mestinya dicatat oleh tim hukum BPN bahwa secara normatif, informasi apa pun yang muncul dalam persidangan di MK nanti dapat menjadi referensi bagi penegak hukum dan politisi serta lembaga Negara seperti KPU dan Bawaslu. Terutama dalam mengembangkan sebuah peristiwa hukum sengketa Pemilu. Berbeda dengan materi-materi dan pernyataan-pernyataan yang menyesatkan (misleading) dari seorang advokat yang berbicara politik. Menurut akal sehat saya, pernyataan Bambang Widjojanto, yang tang menyebut rezim korup tidak perlu ditanggapi berlebihan. Beberapa kali mengikuti persidangan di MK, ruang persidangan bisa dijadikan sumber informasi palsu dari pemohon. Tujuannya konon untuk menimbulkan kegaduhan baru diluar pembuktian permohonan dugaan ada TSM. Walahualam. n [email protected], bersambung

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU