Home / Pilpres 2019 : Catatan Akal Sehat Demokrasi Indonesia Pilpres 201

Hoax, Media Sosial yang Anomalis dalam Demokrasi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 14 Jan 2019 07:19 WIB

Hoax, Media Sosial yang Anomalis dalam Demokrasi

Kabar hoax teraktual adalah adanya tujuh kontainer surat suara yang telah tercoblos di Pelabuhan Tanjung Priok, Desember 2018 lalu. Kabar ini membuat heboh masyarakat luas. Mengapa? Kabar surat suara tersebut beredar secara nasional di berbagai platform media sosial dan aplikasi percakapan WhatsApp. Ternyata Polri, dalam hitungan hari, berhasil mengungkap kabar surat suara tercoblos semula disebar di media sosial twitter itu hoax. Pelaku utama, Bagus Bawana Putra. Tetapi aktor intelektual dan pendananya, sampai semalam, saya belum mendapat kabar dari Bareskrim Polri. Saat tersebar pertama kali, pelaku membuat rekaman suara punya kemampuan tinggi meyakinkan orang dan disebar lewat aplikasi pesan WhatsApp. Kehobohan atas kabar itu, karena tersebar opini di masyarakat yang majemuk, ada indikasi kecurangan. Kabar ini secara hukum, mencoreng kredibilitas Pemilu 2019 khususnya KPU sebagai penyelenggara Pilpres. Secara politis, kabar ini menurunkan reputasi Capres No 01, seolah-olah biangnya peserta Pilpres 2019 yang curang. Namun, setelah ditelusuri oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ternyata kabar tersebut hoaks atau palsu. Dan polisi mengusut kasus penyebaran berita palsu dan menemukan sejumlah tersangka. Menurut Polri, tersangka Bagus Bawana Putra menyebut ada empat akun Twitter politikus saat pertama kali mengunggah cuitan hoaxnya. Empat politikus itu terdiri Fadli Zon, Fahri Hamzah, Andi Arief, dan Mustofa Nahrawardaya. Sejauh ini, Polri belum mengumumkan status keempat politisi itu dalam berita hoaks. tetapi Bagus dan tiga tersangka lainnya dijerat polisi dengan Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Ancaman hukumannya maksimal 10 tahun penjara. *** Dalam waktu sepekan setelah berita hoaks itu tersebar, polisi menangkap empat pelaku di kota yang berbeda. Bagus Bawana Putra, yang mengaku relawan capres Preabowo-Sandi, sebagai tersangka Utama, menyebarkan hoaks melalui akunnya dia @bagnatara1. Dan Bagus mention nama beberapa politikus. Menurut akal sehat saya, meski pengungkapan semua kejahatan adalah tugas Polri, dalam kasus hoaks ini, Polri canggih. Artinya, meski akun @bagnatara1 tidak lagi ditemukan di Twitter, (karena. akun itu telah dihapus tersangka) setelah viral, Polri bisa menemukan jejak Bagus, yang ditangkap di Seragen, Jawa Tengah. Padahal, saat pembuakan hoaks, Bagus berada di sekitar Jakarta. Bahkan Bagus menghilangkan ponsel dan kartu selulernya. ini taktik untuk menghilangkan alat bukti dalam kejahatan ITE. Kelebihan Tim Siber Crime Polri memiliki keyakinan bahwa meski pelaku menghilangkan beberapa alat bukti, tetapi karena digital, jejak pelaku tak bisa dienyahkan. Ini karena Tim Siber Polri punya kompetensi mengungkap kejahatan menggunakan IT. Kabar hoaks 7 kontainer surat suara dari China ini terkait pilpres 2019. Nah, fakta ini membuktikan bahwa politik tidak bisa dibebaskan dari hal yang bersifat partisan, inklusif dan tertutup. Politik memang harus terbuka, kosmopolit untuk kebaikan bersama. Makanya, saat kabar ini tersebar, semula diantara anggota masyarakat ada yang saling curiga. Tetapi setelah Polri menemukan pelakunya, kecurigaan menyusut seperti hoaks Ratna Sarumpeat. *** Terdapat Survey studi Most Littered Nation In the World 2016 yang mengatakan bahwa minat baca Indonesia sangat rendah. Temuannya, minat baca Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara. Ini temuan saat masyarakat tidak kuat dalam tradisi literasinya, sangat mudah untuk memercayai berita hoax atau hoaks. Bahkan ada yang menduga bnyak orang merasa nyaman dalam filter bubbles. Sekaligus senang menyimak pendapat-pendapat sejenis yang sesuai keyakinan mereka di media sosial. Menurut penelitian yang dilakukan We Are Social, perusahaan media asal Inggris yang bekerja sama dengan Hootsuite, rata-rata orang Indonesia menghabiskan tiga jam 23 menit sehari untuk mengakses media sosial. Dari laporan berjudul "Essential Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and E-Commerce Use Around The World" (diterbitkan tanggal 30 Januari 2018), dari total populasi Indonesia sebanyak 265,4 juta jiwa, pengguna aktif media sosialnya mencapai 130 juta dengan penetrasi 49 persen. Malahan rata-rata trafik situs per bulan di Indonesia, Facebook menjadi media sosial paling banyak dikunjungi dengan capaian lebih dari 1 miliar juta pengunjung perbulan. Rata-rata pengunjung Facebook menghabiskan waktu 12 menit 27 detik untuk mengakses jejaring sosial tersebut. Dan sebesar 92 persen mengakses Facebook via mobile dengan perbandingan persentase berdasar gender sebanyak 44 persen untuk wanita dan 56 persen adalah pengguna pria. Sementara pengguna Facebook didominasi golongan usia 18-24 tahun dengan presentase 20,4 persennya adalah wanita dan 24,2 persennya adalah pria. Dan total pengguna aktif Instagram bulanan di Indonesia mencapai 53 juta dengan presentase 49 persen wanita dan 51 persen adalah pria. Tampak ada korelasi antara budaya membaca literasi dengan membaca media sosial. Makanya, berita hoax yang beredar di media sosial, sangat cepat mempengaruhi masyarakat semua strata. Akal sehat saya bisa memahami bila dari hari ke hari terdapat perubahan pada perkembangan dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yakni internet. Artinya, teknologi elektronik ini telah bertranformasi menjadi medium yang memungkinkan individu terkoneksi dengan orang lain pada lintas batas teritori. Sekaligus dengan waktu dan membangun suatu ruang semu (ruang maya). Ruang maya dan pola aktivitas di dalamnya telah membentuk suatu tatanan dan komunitas baru yang disebut dengan virtual community. Dan ini telah memberikan efek negatif yaitu Hoax atau hoaks. Sekarang, menjelang pencoblosan 17 April 2019, Hoax telah dianggap meresahkan karena merupakan berita bohong yang digunakan untuk menarik opini massa demi kepentingan material demokasi (kekuasaan). Hoax ini saya amati memiliki berbagai Jenis informasi ada gambar, foto, video, kartun, maupun berita. Sampai sekarang media sosial yang banyak digunakan untuk berkomunikasi, telah menjadi medium dalam pasar bebas. Maklum, informasi mengalir di dalamnya tak tersaring. Defacto, di media sosial, tidak semua ada faktanya. Akal sehat saya menilai, lalulintas informasi di Medsos sampai kini telah diperburuk dengan hilangnya etika. Terutama saat menyampaikan pendapat di media sosial. Praktis, masyarakat dapat dengan bebas bersuara. Termasuk apa yang dilakukan pelaku hoaks, surat suara, Bagus Bawana Putra. *** Akal sehat saya mengatakan hoaks tujuh kontainer surat suara tercoblos yang banyak diperbincangkan aktor politik di media sosial, saat itu saya tidak banyak partai politik dan kadernya meluruskan. Tetapi cenderung mendiamkan. Bahkan Andi Arief, Wakil Sekjen Partai Demokrat, malah turut menciutkan. Ini menunjukan urusan pesta demokrasi yang pernah dilakukan deklarasi damai, tidak ada kemauan dari sejumlah parpol untuk memberikan pendidikan politik ke masyarakat. Keprihatinan akal sehat saya, malah ada aktor politik yang ikut mempropagandakan hoaks. Akal sehat saya menyimpulkan, termasuk elite politik bersuara secara sembarangan di media sosial. Padahal, akal sehat saya teringat referensi politik teori bahwa kader atau aktor politik semestinya melakukan self correction, bersikap dewasa, dan memanggul tanggung jawab berupa kesadaran, baik individu maupun partai politik. Teori politiknya, demokrasi sejatinya berpihak kepada kedaulatan rakyat yang berhak menerima informasi yang benar. Akal sehat saya, dalam kasus hoaks tujuh container ini masyarakat dibiarkan bingung. Apalagi terindikasi ada aktor politik atau partai politik tertentu yang mengambil keuntungan dari hoaks. Menurut akal sehat saya, medsos adalah produk teknologi yang secara filosofis bebas nilai. temuan hoaks tujuh container ini, internet telah membuktikan wajah gandanya . Pertama, pada saat berada di tatanan pragmatisme politik, bisa digunakan sebagai oksigen demokrasi. Kedua, pada saat bersamaan juga digunakan untuk membunuh demokrasi. inilah kontradiktif media sosial Dari referensi yang saya miliki, akal sehat saya bisa mengertio ambivalensi internet. Terutama melalui searah kelahirannya bahwa internet lahir dari kantor Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada 1969. Inilah instrumen media yang bebas tanpa batas yang diciptakan justru oleh departemen yang paling rigid dalam perkara pembatasan-pembatasan. Jadi cukup anomalis. Menyaksikan tontonan para elite politik bersandiwara saar ini, akal sehat saya berkata bahwa kini kualitas demokrasi telah dipertaruhkan. Terutama ketika relasi politik berubah menjadi transaksi ekonomi untuk mendapat kekuasaan pada level manapun, Bupati, Walikota, Gubernur, sampai Presiden. Akal sehat saya membaca bahwa politik demokrasi yang dipraktikan di Indonesia sekarang, bukan lagi pembangunan proyek-proyek kolektif yaitu kesejahteraan umum seperti amanat Alinea ke-4, Pembukaan UUD 1945. Demokrasi sekarang ini cenderung berwajah panggung proseduralisme semata. Kasihan deh anak cucu kita kelak dengan diwarisi demokrasi prosedural, karena elite politinya sibuk menguber kekuasaan dan keuangan. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU