Home / Ramadhan : Pesan Ramadhan (6)

Hawa Nafsu Politisi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 10 Mei 2019 21:49 WIB

Hawa Nafsu Politisi

Ketua GNPF Ulama Yusuf Martak, yang ikut dalam demo di Bawaslu, meminta Bawaslu menindaklanjuti temuan. Dalam aksi demo people power Jumat (10/5/2019) kemarin, Yusuf Martak yang juga pendukung paslon 02, meminta Bawaslu, KPU, dan aparat agar benar-benar membuktikan Pilpres 2019 berjalan jurdil (jujur, dan adil). Yusuf Martak menyebut umat tak akan resah, gelisah, marah tatkala kejujuran sudah terbuka. Pertanyaan yamg nengusik ada apa seorang ulama ikut demo di bulan puasa terkait Pilpres 2019. Mengapa ia tidak menahan hawa nafsu, menunggu perhitungan rekapitulasi selesai dilakukan oleh KPU. Ada kesan demo-demo Pilpres pada bulan puasa, bisa menggambarkan peserta demo yang diantaranya menyebut dirinya ulama, seperti tidak menghormati makna bulan puasa. Apakah bagi politisi, demo mengurus kecurangan ke Bawaslu, disejajarkan dengan Jihad Hadapi kaum musyrikin? Saya bisa memahami hawa nafsu politisi yang demo-demo. Bisa jadi seperti watak sebagaian politisi yang kalah kontetasi. Mereka bisa menanggung malu saat kembali ke lingkungan masyarakat setelah tak terpilih sebagai wakil rakyat atau kalah dalam Pilpres.. Politisi demikian merasa was-was bila angkat kaki dari pusaran kekuasaan akan dilebeli politisi gagal. Psikiater Dame Jane Roberts dalam bukunya Losing Political Office mengatakan, tak mudah bagi politisi untuk kehilangan kekuasaan. Kalah, mundur, dan tak lagi berkuasa bagi politisi sama dengan kehilangan identitas yang bisa menyebabkan gangguan mental. Roberts yang mengutip kalimat Sigmon Freud mengatakan, kuasa bagi politisi adalah ide atau objek yang harus diperjuangkan dengan sepenuh hati. Selain kerja keras, politisi harus melakukan pengorbanan termasuk dalam kehidupan pribadi demi ambisi. Bisa jadi politisi yang kalah tak bisa membendung hawa nafsunya bahwa saat ini bulan Ramadan. Politisi seperti ini bisa mengabaikan hawa nafsunya setelah diketahui dirinya kehilangan kekuasaan. Tak salah Al-Ghazali, mengumpamakan nafsu itu seperti binatang buas atau kuda binal yang liar. Al Ghazali memiliki tiga cara mengendalikan hawa nafsu Pertama, mengekang atau mencegah keinginan (manus syahwat). Kuda yang binal akan tak berdaya jika dikurangi makannya. Ini tentu saja hanya perumpamaan. Pointnya pada pengendalian diri. Politisi demo soal dugaan kecurangan pada saat bulan Ramadan, bisakah dianggap kehilangan pengendalian diri? Al Ghazali menyebut itulah manusia. Ghazali mengatakan, manusia kerap memprioritaskan keinginan meski sesungguhnya itu bukan kebutuhannya. Inilah sesungguhnya cikal bakal kerusakan yang terjadi pada diri manusia. Nafsu, karenanya, harus terlebih dahulu dikendalikan dengan cara mengekang keinginan. Kedua, dibebani dengan ibadah, karena keledai yang dibebani banyak dan dikurangi makannya, akan tunduk dan menurut. Ini juga tamsil atau perumpamaan. Makna kontekstualnya manusia perlu mentarget diri dengan sesuatu yang berguna, untuk kita sendiri maupun orang lain. Ketiga, meminta petunjuk kepada Tuhan. Memaknai ini sebagai bentuk kerendah-hatian manusia. Setelah berikhtiar kemudian tawakkal. Tuhan punya kuasa kepada manusia. Halo politisi, mengapa tidak menggunakan akal sehat ketimbang hawa nafsu demo. Mengingat, secara konstitusi, misal ada temuan kecurangan, mengapa tidak diserahkan ke Bawaslu dengan bukti-bukti kecurangan tanpa tekanan masa. *) Penulis adalah Pembelajar Agama Islam secara Otodidak

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU