Hari Autis se-Dunia, Orang Tua Yakin Autis Bisa Sembuh

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 03 Apr 2019 00:39 WIB

Hari Autis se-Dunia, Orang Tua Yakin Autis Bisa Sembuh

SURABAYAPAGI, Jember - Tanggal 2 April jadi momen tersendiri bagi penyandang autis, karena diperingati sebagai Hari Autis se-dunia. Dalam sudut pandang masyarakat masih banyak terdapat pro dan kontra terkait autis sebagai ragam penyakit dan ragam disabilitas. Tidak terkecuali orang tua yang mempunyai anak autis. Sebagian orang tua yakin bahwa autis dapat disembuhkan. Walaupun upaya tersebut menuai jalan yang panjang prosesnya dan tidak sedikit pula biaya dan energi terkuras. Kondisi tersebut hanya sedikit sekali orang tua yang sadar akan kebutuhan anak autis, selebihnya hanya pasrah. Nafha Aliyya Tsaabita (15) adalah penyandang autis yang beruntung dari sekian juta anak autis di negeri ini. Keberuntungan Aliyya terletak pada kegigihan orang tuanya yang tanpa kenal lelah berjuang untuk mewujudkan kesembuhannya. "Autis adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks mulai dari gangguan pada otak, sistem percernaan, perilaku sampai pada gangguan interaksi sosial," kata Nunung Nuring Hayati, ibunda Nafha Aliyya Tsaabita saat mengawali obrolan dengan Surabaya Pagi Online, Selasa (2/4/2019). Nunung juga menyebut autis sebagai gangguan atau penyakit, karena menurutnya tidak berfungsinya organ tubuh sebagaimana mestinya. Fungsi otak sebagai alat untuk berpikir, mencerna sesuatu atau perantara untuk perintah melakukan sesuatu. "Contohnya manusia normal apabila ada api misal didekatkan. Karena merasa ancaman maka kerja otak akan memerintahkan badan untuk menghindar bahkan reflek berteriak bila kena panas. Tapi bagi anak autis ini tidak paham. Mana bahaya mana tidak," tutur Nunung yang juga berprofesi sebagai dosen di Fakultas Teknik Universitas Jember. Nunung juga mengungkapkan, secara motorik juga mengalami gangguan, terdapat beberapa anak tidak mengalami kesakitan saat jatuh, atau bahkan dicubit. "Tidak ada respon kesakitan atau menghindar, tambahnya. Berdasarkan pengalamannya merawat si sulung selama lebih dari 15 tahun, Nunung menjelaskan dari sisi sistem pencernaan, terdapat beberapa anak autis tidak mampu mencerna makanan secara normal. Bahkan ada alergi terhadap makanan tertentu dan ini tiap kasus anak autis berbeda-beda. Ini harus dicari solusinya. Sehingga secara manual menggunakan rotasi dan eliminasi makanan.dicatat apa saja yg dimakan dalam sehari dan ada efek apa. Cara tercepat adalah dengan test food allergy. "Saya cenderung begitu. Karena saya berkeyakinan autis bisa sembuh,ungkapnya dengan penuh keyakinan. Nunung pun tidak memungkiri adanya anggapan autis itu bagian dari ragam disabilitas sehingga tidak dapat disembuhkan. Namun ada sebagian masyarakat yang mengelompokkan sebagai difabel. Karena memang tingkat sakitnya bermacam-macam, mulai yang ringan sampai yang berat. "Memang penyembuhannya tidak seperti orang sakit batuk diberi obat beberapa kali langsung sembuh. Setiap individu autis membutuhkan lama proses yang berbeda-beda, tutur istri dari Sonya Sulistyono yang juga pengajar di Fakultas Teknik Unej. Sebagai orang tua dari penyandang autis, Nunung juga menaruh harapan adanya kehadiran negara dalam memberi solusi yang dialami orang tua dan penyandang autis terutama yang secara ekonomi kurang mampu. "Saya berharap tidak hanya slogan-slogan saja, tetapi tindakan nyata, cetusnya. Saat ini banyak sekolah gratis, terkadang ada orang tua yang mampu tapi sekolah anaknya gratis. Fasilitas terapi juga disejajarkan dengan sekolah reguler.dan ada bantuan juga. "Di sisi lain penghargaan untuk guru dan terapis yang rela memilih untuk mengajar siswa autis tidak ada perhatian dari pemerintah. Kalau memilih enaknya tentu mereka lebih mudah mengajar siswa tanpa gangguan autis, tandasnya. Sementara itu praktisi disabilitas dari IKIP PGRI Jember, Asrorul Mais mengatakan, penyandang autis termasuk dalam ragam disabilitas dan tidak dapat disembuhkan. "Pertama, Disabilitas dan Penyakit itu hal yang berbeda, maka apapun alasannya autis tetap masuk katagori disabilitas, tidak ada istilah disembuhkan. Yang ada adalah rehabilitasi, habilitasi, optimalisasi potensi, tutur Mais yang juga penyandang disabilitas daksa sekaligus ketua Program Studi Pendidikan Luar Biasa IKIP PGRI Jember. Mais juga berharap negara harus hadir sebagai bentuk implementasi Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Disabilitas. "Pemerintah harus lebih gencar mempromosikan upaya preventif autis sejak dini melalui Posyandu, serta Optimalisasi pendidikan mereka dalam seting pendidikan Inklusif dan Segregasif dan mempersiapkan kemandirian mereka pasca sekolah," pungkasnya.koes

Editor : Mariana Setiawati

Tag :

BERITA TERBARU