Home / Pilpres 2019 : Tanggapan Politisi, Tokoh Agama, Akademisi dan LSM

Gerakan Islam ini Gerakan Politik

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 20 Mei 2019 08:44 WIB

Gerakan Islam ini Gerakan Politik

Rangga Putra-Hermi Tim Wartawan Surabaya Pagi Gerakan massa atas nama Islam yang meminta pendiskualifikasian terhadap paslon 01 Jokowi-Maruf dan mendelegitimasi hasil keputusan KPU pada tanggal 22 Mei mendatang, adalah gerakan politik. Aksi gerakan ini bisa dianggap tindak inkonstitusional. Meski aksi ini diperkirakan bakal menyedot jutaan massa dari seluruh penjuru Indonesia menuju ibu kota Jakarta, diminta tak langgar konstitusi. Apalagi gerakan kedaulatan rakyat ini merupakan kemauan rakyat, sebagai buntut dari tidak responsifnya Bawaslu dalam menindaklanjuti laporan-laporan dugaan adanya tindak kecurangan. Hal ini dikemukakan oleh tokoh Islam Jawa Timur Ali Badri Zaini, pengamat politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya Abdul Chalik,Ketua Tim Badan Pemenangan Provinsi (BPP) Jawa Timur, Soepriyatno, dan Direktur Parlemen Watch Umar Sholahudin. Mereka dihubungi Surabaya Pagi, secara terpisah, di Surabaya, Minggu siang kemarin (19/05/2019). Ada Provokator Tokoh Islam Jawa Timur Ali Badri Zaini, menghimbau supaya gerakan massa bisa berlangsung damai dan tidak melanggar konstitusi. Soalnya, dia menengarai ada provokator yang bakal menyusup ke dalam aksi massa. Gejala tersebut sejatinya sudah diketahui pihak kepolisian jauh-jauh hari. Beberapa bulan yang lalu ada pertemuan antara para ulama dan Kapolda (Jatim)," ungkap Ali Badri, sambil mengingatkan peserta aksi untuk tidak terpancing oleh provokator yang menghendaki perpecahan." Meski begitu, Ali Badri menghimbau para penyelenggara pemilu untuk bertindak jujur dan adil terhadap setiap peserta pemilu dan masyarakat pada umumnya. "Suara rakyat itu suara tuhan. Takutlah kepada Allah SWT. Penyelenggara negara harus jujur dan adil," Ali Badri menasehati. Gerakan Politik Terpisah, pengamat politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya Abdul Chalik menyebut, gerakan massa atas nama Islam dalam konteks merupakan gerakan politik. Dia menduga kuat, gerakan yang meminta pendiskualifikasian terhadap paslon 01 Jokowi-Maruf tersebut adalah sejatinya untuk mendelegitimasi apapun hasil keputusan KPU pada tanggal 22 Mei mendatang. "Gerakan Islam saat ini kental muatan politisnya," ungkap Chalik kepada Surabaya Pagi, Minggu (19/5/2019). "Itu jelas upaya untuk mendelegitimasi keputusan KPU." Menurut pendiri Sunan Giri Foundation ini, bagi pihak-pihak yang tidak puas terhadap pelaksanaan pemilu, bisa menempuh jalur yang sudah disediakan untuk masing-masing kategori. Selain Bawaslu sebagai pengawas Pemilu, bagi penyelenggara pemilu yang diduga bersalah, dipersilahkan untuk dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Bagi pelanggar pidana pemilu, terdapat sentra Gakkumdu (Penegakkan Hukum Terpadu). Dan untuk perselisihan hasil pemilu, silahkan mengadu ke Mahkamah Konstitusi. "Aksi di luar hukum maupun ketentuan yang sudah ada, merupakan tindak inkonstitusional!" tegas Abdul Chalik Walau begitu, pendiri Sunan Giri Foundation ini menilai reaksi dari kubu 02 merupakan reaksi spontan belaka. Soalnya, lanjut Chalik, menurut ilmu psikologi politik, kubu 02 diketahui tidak puas terhadap proses pemilu yang tidak menguntungkan mereka. Selain itu, kubu 02 dinilai hendak melawan sebuah fakta empiris rekapitulasi suara yang tidak bisa dibantah kesahihannya. "Nanti mereka bakal mengerti sendiri kalau tidak ada jalan lain selain hukum," tutur Abdul Chalik. Bawaslu lemah Terpisah, Direktur Parlemen Watch Umar Sholahudin menyebut, adalah hak bagi setiap warga negara untuk menyuarakan pendapatnya di muka publik. Oleh sebab itu, dia menilai aksi GNKR yang dipusatkan di gedung Bawaslu dengan tuntutan pendiskualifikasian paslon 01 Jokowi - Maruf selama lima hari berturut-turut itu dilindungi oleh undang-undang alias konstitusional. "Setiap gerakan massa itu diatur dan dilindungi undang-undang. Mereka berhak menggelar aksi tapi harus mengikuti aturan yang berlaku," jelas Umar. Menurut Umar, gerakan massa GNKR ini merupakan buntut dari tidak responsifnya Bawaslu dalam menindaklanjuti laporan-laporan dugaan adanya tindak kecurangan, baik yang terjadi sebelum maupun saat hari-H pencoblosan pada tanggal 17 April lalu. Mestinya, sambung Umar, Bawaslu sigap menindaklanjuti serta transparan dalam setiap menerima pengaduan. Bawaslu ini lemah," tukas Umar. "Seharusnya Bawaslu sigap merespon setiap laporan dan transparan dengan hasilnya, sehingga tidak menimbulkan ketidakpercayaan publik." Pilih Turun ke Jalan Sementara Ketua Tim Badan Pemenangan Provinsi (BPP) Prabowo-Sandi Jawa Timur, Soepriyatno mengatakan, bahwa gerakan kedaulatan rakyat merupakan atas kemauan rakyat lantaran kedaulatan rakyat telah dikebiri. Dibuktikannya berbagai kecurangan selama pemilu 2019. "Dengan situasi demokrasi seperti ini, kedaulatan rakyat dikebiri. Kita tidak mengajak masyarakat turun tapi masyarakat yang turun untuk menegakkan demokrasi kedaulatan rakyat," Ucap Soepriyatno. Padahal negara sudah menfasilitasi penyelesaian sengketa pemilu melalui jalur hukum yakni di bawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, mereka tidak berkehendak untuk membawa permasalahan kecurangan pemilu dan memilih untuk turun ke jalan dengan gerakan kedaulatan rakyat. "Gak maulah, ngapain ke MK. Kita tes saja kemaren ada ratusan kecurangan yang disampaikan ke Bawaslu dan diterimanya. Kemudian Bawaslu rekomendasikan ke KPU.di laksanakan gak? Kita tidak ada gunanya ke MK karena kita serahkan ke rakyat karena rakyatlah mempunyai kedaulatan," Ujar dia. Minta Paslon 01 Diskualifikasi Dalam gerakan kedaulatan rakyat, salahsatu yang mereka tuntut yakni meminta diskualifikasi paslon 01 Jokowi-Maruf. Dan kata Soepriyatno, alasan ini dikarenakan banyak sekali temuan-temuan kecurangan yang terjadi di pemilu 2019 ini. "Karena kecurangannya luar biasa, banyak sekali. Money politik, Pengerahan Aparatur Sipil Negara (ASN), keterlibatan penegak hukum, kecurangan. Di Banyuwangi C1 nya bukan di taruh di kecamatan tapi berserakan dijalanan, Di Jember kotak suara dibawa kabur, kemudian di Surabaya TPS yang rekomendasi Bawaslu ke KPU tidak dilaksanakan, minta C7 tidak dikasih. Ini alasannya," Tegasnya. Saat ditanya siapa yang bertanggung jawab apabila aksi kedaulatan rakyat tanggal 22 Mei mendatang dapat menimbulkan kekacauan bahkan kecelakaan. Ketua DPD Gerindra Jatim ini menyatakan, aksi gerakan itu merupakan aksi masyarakat dan pihaknya meminta kepada masyarakat untuk melaksanakan aksi damai, tenang dan tentram. "Aksi ini insyaallah bersih seperti 212. Gak ada yang aneh-aneh. Gak ada aksi merusak, mereka menuntut KPU, Bawaslu tidak curang. kalau sebagian bilang jihad, ini jihad dalam antrian positif. Gak ada jihad perang-perang. Jadi aksinya damai," harap Soepriyatno. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU