Home / Pilpres 2019 : Surat Terbuka untuk Capres Jokowi-Prabowo, Peserta

Elite PDIP-Hanura, “Berebut” Kemanusiaan Ahok

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 27 Nov 2018 23:09 WIB

Elite PDIP-Hanura, “Berebut” Kemanusiaan Ahok

Yth Pak Jokowi-Pak Prabowo, Selasa siang kemarin (27/11), saya membaca berita di sebuah Media Sosial Jakarta, tentang perebutan pengaruh Ahok. Salah satu Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat menyebut Basuki T Purnama alias Ahok, ingin masuk ke partainya. Informasi mengenai Ahok ingin masuk PDIP terlontar saat Djarot memberikan arahan saat konsolidasi PDIP di Yogyakarta. Djarot, mengaku bertemu Ahok, di Rutan Mako Brimob, Depok. Djarot, mengungkap Ahok meminta Ahokers tidak Golput hingga meminta agar memilih Joko Widodo-Maruf Amin di Pilpres 2019. Disamping itu, Ahokers diminta untuk memilih PDIP. Djarot bahkan mengklaim pengakuan Ahok yang mengatakan hanya PDIP yang membelanya ketika menghadapi kasus penistaan agama saat Pilgub DKI 2017 lalu. Ketua DPP Hanura Benny Rhamdani, meragukan sejumlah poin yang disebut Djarot . Seperti soal Ahokers diminta untuk memilih PDIP dan klaim Ahok mengatakan hanya PDIP yang membelanya saat kasus penistaan agama dalam Pilgub DKI lalu, Hanura, parpol satu koalisi dengan PDIP yang mendukung Anda Jokowi, tak percaya pernyataan Djarot. Ia baru percaya, bila keluar dari Ahok langsung. Benny, malah menuding, saat ini, Ahok dijadikan alat jualan kampanye PDIP jelang Pileg 2019. Yth Pak Jokowi-Pak Prabowo, Inilah politik praktis. Anda Capres Jokowi, saat Pilkada Gubernur DKI didukung oleh Gerindra. Kini Anda, saat Pilpres 2019malah berhadapan dengan Ketua Umum gerindra, Prabowo. Inilah politik kepentingan dan budaya politik kita. Para elite dua partai politik (PDIP-Hanura ini sebagai contoh) gambaran lebih mengutamakan partainya daripada rakyat. Kasus elite PDIP-Hanura ini gambaran nyata bahwa dalam urusan memperjuangkan sesuatu, kepentingan rakyat diabaikan demi mencapai kepentingan elite parpol. Perbedaan partai politik tetapi dalam satu koalisi, ternyata bisa berbeda. Akal sehat saya menilai, perbedaan ini bila berlanjut bisa merusak sisi-sisi kemanusiaan, hanya untuk kepentingan politik praktis jangka pendek. Padahal Capres Jokowi, yang didukung PDIP-Hanura, minta mengedepankan sikap saling menghargai dan menghormati. Pertanyaannya, dimana kesadaran politik Djarot dan Benny Rhamdani?. Akal sehat saya mengatakan, kedua elite ini sepertinya tidak paham mengenai tujuan politik bangsa Indonesia yang digelorakan oleh founding father, sejak tahun 1945. Pendiri bangsa ini berharap politisi parpol apapun di Indonesia diminta untuk melindungi hak-hak semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Sekaligus untuk mensejahterakan kehidupan seluruh masayarakat Indonesia. Yth Pak Jokowi-Pak Prabowo, Akal sehat saya dua perebutan pengaruh atas sosok Ahok, secara terbuka, bisa semakin menggerus rasa persaudaraan antara sesama anak bangsa, dimana kontetasi (dan ini satu koalisi saja) telah dimaknai ajang permusuhan. Saya tak tahu, apakah ini yang dinamakan penyakit rendahan yang menghinggapi elite parpol? Bisakah perebutan pengaruh seperti yang dikemukakan Djarot dan Benny secara terbuka salah satu bentuk permusuhan internal di internal parpol pendukung Anda Capres Jokowi? Bagi saya, potret ini contoh persoalan politik, setidaknya ini yang terbaca oleh publik. Tentu terkait persoalan bagaimana menggalang kemenangan untuk berkuasa di parlemen juga. Potret ini merupakan wajah kedua, bagaimana partai politik dalam satu koalisi berseberangan. Sebelumnya, politik berseberangan dilontarkan oleh Ketua Umum Partai Demokrat, SBY. Inilah labirin politik yang memiliki tujuan beroleh kemenangan mengenai siapa mendapat apa?. Siapa harus diganti dan apa yang patut diberikan sanksi moral dan hukum kepada lawan politik?. Kasus Djarot-Benny, cermin pada persoalan pergantian presiden yang sama-sama didukung PDIP_Hanura, Anda Capres Jokowi. Benarkah persoalan berebut pengaruh Ahok dan Ahokers sebagai sebuah kedodoran dalam persoalan-persoalan tidak substantive? Desain politik kita (sebagian) mungkin sudah cukup jernih melihat secara kuantitatif menang pilpres 2019? Harapan rakyat yang polos, dengan menjaga kemenangan bagi koalisi pendukung Anda Capres Jokowi. pola ini bisa merupakan politik kemanusiaan atau sebaliknya? Padahal,siapa pun presiden NKRI, seharusnya nasib manusia Indonesia menjadi lebih baik. Tapi tampaknya tidak juga demikian. Ada gejala substansi perjuangan calon presiden beserta pendukung memang belum total mengarah ke sana. Padahal bahasa idealnya setiap orang yang menjadi politisi dituntut dan dituntun untuk menjadi manusia-manusia yang peduli dengan manusia ya dirinya, kerabat dan rakyat yang memilihnya. Makanya, mengapa politisi zaman dulu (era Kemerdekaan 1945) sempat mendapat posisi terhormat atau nobleman? Sejarah mencatat, politisi zaman dului, menghargai posisinya sebagai wakil rakyat atau pejabat negara. Tak salah, akal sehat saya bertanya ,masih adakah orientasi dari elite-elite politik mau dan berani memanusiakan manusia dalam setiap inggar-bingar kehidupan politik Pilpres 2019? Apalagi saat kampanye sekarang ini terlintas teriakan tentang nasib manusia yang tak kunjung membaik di tengah kekalutan pengaruh ekonomi global? Lalu saya bertanya seberapa besar manusia politik terlintas dalam benaknya langkah-langkah politik kemanusiaan dibanding bayangan akan pundi kekayaan dan jaringan kekuasaannya bisa bertambah? Yth Pak Jokowi-Pak Prabowo, Sehari-hari, praktik sebagai jurnalis, saya sering bertemu dengan elite lokal dan nasional. Terutama jelang Pilpres, Pileg dan DPD. Dari pertemuan informal ini, akal sehat saya masih percaya di sebagian politisi yang kini bertarung meraih kekuasaan masih ada politisi manusia Indonesia yang memiliki orientasi kemanusiaan yaitu tidak akan menjadi manusia serakah. Energi yang muncul juga cukup banyak yang dihabiskan pada persoalan teknis dan khususnya soal apa mendapat siapa?, di mana nasib rakyat sesungguhnya? Sisi lain, inilah sebuah ironi demokrasi di negara yang konon menghargai manusia. Perebutan antara Djarot-Benny soal Ahok, dan pengikutnya (ahokers), menurut akal sehat saya sebuah potret lain seorang mantan Gubernur DKI yang masih memiliki pengaruh di Jakarta dan mungkin di beberapa kota di pulau Jawa. Dalam diri Ahok, bisa jadi masih mengenggam Politik kemanusian. Ada anak teman di Jakarta yang sempat menonton film Hanum & Rangga dan A Man Called Ahok. Ia menonton karena iseng. Anak perempuan teman saya mengakui jalan cerita film ini bagus, karena ada pesan moral. Film yang diadaptasi dari kisah orang yang berada dalam lingkar politik, yakni Hanum Salsabiela Rais yang merupakan anak dari Amien Rais, dan Ahok Gubernur DKI Jakarta. Anak perempuan teman saya mengakui film ini memang mengangkat tokoh dari dua kubu politik yang berbeda, yakni Hanum yang erat dengan Prabowo Subianto, serta Ahok yang erat dengan Joko Widodo. Film yang diproduksi oleh The United Team of Art ini mirip sebuah film keluarga yang sarat akan nilai-nilai dan pendidikan karakter. Dan pendidikan karakter dalam film ini dilakukan Kim Nam, ayah Ahok. Kim Nam, tak hanya punya semangat untuk mendidik anak-anaknya agar mencintai Indonesia, tetapi juga mangajarkan mereka menempatkan kemanuisaan di atas segalanya, ya memuliakan kemanusiaan dan memiliki kepedualian membantu kaum miskin, Subhanalloh. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU