Di bandingkan Thailand dan Malaysia, Harga Gas Indonesia Masih Ramah Di Kan

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 15 Jul 2019 17:59 WIB

Di bandingkan Thailand dan Malaysia, Harga Gas Indonesia Masih Ramah Di Kan

SURABAYAPAGI.com - Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan,harga gas industri di Indonesia relatif stabil dan kompetitif dibanding dengan negara di kawasan Asia Tenggara. Hal ini dampak dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan sejak terbitnya payung hukum berupa Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dan produk hukum turunannya. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mencoba membuktikan, dengan membandingkan harga gas di tiga negara Asia Tenggara yang memiliki perkonomian kuat. Thailand mematok harga gas di hulu sebesar USD 5,5 per MMBTU dan Malaysia sebesar USD 4,5 per MMBTU. "Kalau kita lihat lebih detail perbandingan dari titik referensi yang sama, harga hulu di Indonesia sebesar USD 5,3/MMBTU, ini terbilang kompetitif," kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)Agung Pribadi dalam siara pers yang diterima, Minggu (14/7/2019). Agung membandingkan harga gas di tiga negaraAsia Tenggara yang memiliki perkonomian kuat. Thailand mematok harga gas di hulu sebesar USD5,5/MMBTU danMalaysia sebesar USD4,5/MMBTU. Sementara harga gas di Singapura jauh di atas USD15/MMBTU. Bahkan kalau dibandingkan dengan China yang ekonominya kian menggeliat harga gas di hulu telah mencapai USD8/MMBTU. Jika dicermati lebih lanjut, harga gas diMalaysia memang lebih rendah. Namun, Agung menjelaskan, rendahnya harga gas diMalaysia ditopang dari struktur biaya pembentukan gas yang menerapkan Regulation Below Cost (RBC). "Sistem RBC menuntut adanya penerapan subsidi sehingga membuat harga gas diMalaysia lebih murah," ungkapnya. Sementara di Thailand dan Tiongkok menjalankan model indeksasi ke harga minyak. Artinya, harga gas akan mengikuti pergerakan harga minyak (gas pipa). Jika harga minyak naik, maka harga gas akan naik. Begitu pula sebaliknya. "Skema ini mendorong tingginya tingkat fluktuasi sehingga menyebabkan ketidakstabilanharga gas," ungkap Agung. Indonesia sendiri, lanjut Agung, menerapkan skema Regulation Cost of Services (RCS). Jadi, penetapan harga gas berdasarkan keekonomian di setiap mata rantai. Skema ini cocok diterapkan di Indonesia karena tidak mengikuti harga minyak dan tidak menimbulkan volatilitas. "Ini yang membuat harga gas di Indonesia cukup stabil," tegasnya. Kestabilan harga gas terlihat pada catatan harga gas pipa domestik dari 2008 hingga April 2019. Pada 2008, gas pipa domestik sebesar USD 4.83 per MMBTU. Sementara, pada April 2019 sebesar USD 5,87 per MMBTU. Dalam kurun 11 tahun, gas pipa domestik hanya terkoreksi sebesar USD 1,04 per MMBTU. Kalau dibandingkan dengan pergerakan ICP dalam kurun waktu yang sama, fluktuasi ICP punya selisih USD 34,58 per barrel. Menurut Agung, pemerintah akan terus mendorong struktur biaya energi di Indonesia makin kompetitif, sehingga harga gas di level plant gate bisa lebih rendah dari rata-rata biaya sekarang, yaitu sebesar USD 9 per MMBTU. "Kami terus mencari formula baru untuk menekan harga gas sampai ke tingkat akhir pengguna," tandasnya.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU