Desak Munas NU Bahas Posisi Ma’ruf Amin

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 27 Feb 2019 12:14 WIB

Desak Munas NU Bahas Posisi Ma’ruf Amin

Riko Abdiono Wartawan Surabaya Pagi Umat Nahdlatul Ulama akan menggelar Munas dan Konbes NU, besok Kamis (28/2), di Pesantren Miftahul Huda al-Azhar Citangkolo Kujungsari, Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat. Ada hal penting yang harus dibahas dalam Munas dan Konbes NU tersebut. Pengurus Besar PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah), menilai beberapa materi yang akan dibahas, tampak sekali belum ada agenda pembahasan tentang persoalan keagamaan maupun keorganisasian yang kini ramai diperbincangan kalangan nahdliyin. "Karena itu, PPKN berpendapat bahwa Munas dan Konbes sebagai forum permusyawaratan tertinggi setelah muktamar, harusnya membahas persoalan yang langsung menyentuh kebutuhan ummat," kata Choirul Anam, Dewan Penasehat PPKN disela acara bedah buku NU Jadi Tumbal Politik Kekuasaan di Graha Astranawa Surabaya, Selasa (26/2). Menurut sesepuh NU yang akrab disapa Cak Anam ini, hajatan besar itu akan dihadiri ribuan kiai dengan mengangkat tema sentral "Memperkuat Kedaulatan Rakyat". Atas dasar itulah, PB PPKN menyuarakan aspirasi NU kultural yang menginginkan jawaban tegas dan tuntas dari forum Munas dan Konbes. Adapun pokok-pokok aspirasi masail diniyah maupun jamiyah jtimaiyah yang harusnya dibahas dalam Munas dan Konbes salah satunya terkait posisi KH Maruf Amien saat ini. "Kasus Rais Aam (pimpinan tertinggi NU) maju (mencalonkan diri dan dicalonkan) sebagai pendamping Capres Joko Widodo (Jokowi) dalam Pilpres 2019, menurut hukum Islam apa diperbolehkan? Jika diperbolehkan, mohon Munas mengumumkan dalil-dalil berikut marajinya agar nahdliyin tidak salah paham," papar Cak Anam. Kedua, lanjut Cak Anam, soal Ahlul Halli Wal Agdi (Ahwa) Muktamar NU ke-33 di Jombang (2015) telah membaiat dan KH. Maruf Amin juga ber-baiat untuk menjaga/memimpin NU hingga akhir masa bhakti. Kemudian diperkuat dengan perjanjian kesanggupan dan kepatuhan melaksanakan AD/ART. Dalam Bab XVI, Pasal 51, ayat (4) Rais Aam tidak diperkenankan mencalonkan diri atau dicalonkan dalam pemilihan jabatan politik (eksekutif maupun legislatif. Lantas dengan majunya (mencalonkan diri dan dicalonkan) Kyai Maruf Amin, apakah bukan pengingkaran terhadap perjanjian ulama NU?. "Itu salah satu poin yang akan kita tanyakan di Munas dan Konbes NU agar ada penjelasan demi kebaikan NU dan nahdliyin," sahutnya. Dijelaskan Cak Anam, belum lama ini, PBNU telah mengangkat Wakil Rais Aam KH. Miftachul Akhyar menjadi Pejabat Rais Aam, dan KH. Maruf Amin dipindah ke struktur kepengurusan Mustasyar. Padahal dalam AD/ART NU tidak terdapat pasal yang mengatur reposisi (perpindahan) jabatan Rais Aam dan Wakil Rais Aam. Dalam AD/ART Bab XV, Pasal 48, Ayat (1) disebutkan Apabila Rais Aam berhalangan tetap, maka Wakil Rais Aam menjadi Pejabat Rais Aam. Tafsir berhalangan tetap juga sudah pernah dipraktikkan ketika Rais Aam KH Bisri Syansuri berhalangan tetap (wafat 1980) kemudian digantikan KH. Aly Mashum melalui Munas Alim Ulama Kaliurang, dan Rais Aam KH. MA. Sahal Mahfudh (wafat 2013) kemudian KH. Mustafa Bisri menjadi Pejabat Rais Aam. "Pengangkatan Rais Aam tidak boleh dilakukan serampangan model partai politik, yang hanya berdasarkan kepentingan dan kekuasaan. Jika Wakil Rais Aam (yang tukar tempat) itu tetap dinyatakan sebagai Pejabat Rais Aam maka PBNU telah melakukan pelanggaran berat terhadap ketentuan pasal AD/ART, dan hanya bisa diselesaikan melalui MLB (Muktamar Luas Biasa)," ungkap Mantan Ketua Umum PKNU ini.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU