Home / Pilpres 2019 : Surat Terbuka untuk Capres Jokowi-Prabowo, Peserta

Capres (Presiden) Jokowi, dan Petuah Ojo Adigang, Adigung dan Adiguna

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 25 Okt 2018 22:05 WIB

Capres (Presiden) Jokowi, dan Petuah Ojo Adigang, Adigung dan Adiguna

Catatan Politik Dr. H. Tatang Istiawan Yth Pak Jokowi-Pak Prabowo, Sampai pagi kermarin, saya masih penasaran, ada apa Anda Capres Jokowi, sampai menuding saat ini ada politik dan politisi sontoloyo? Penasaran saya, karena posisi Anda, seorang Presiden yang masih menjabat sekaligus seorang capres yang sedang bersaing melawan kompetitor bebuyutan yaitu Anda Capres Prabowo. Saya tergelitik pernyataan Anda sebagai Presiden sekaligus Capres, bisa-bisa digoreng oleh elite politik yang bukan koalisi Anda. Pernyataan Anda ini bisa dipersoalkan secara politis oleh elite politik berpendidikan hukum. Maklum, saat Anda menyatakan ada politik dan politisi sontoloyo, Anda memegang posisi rangkap yaitu Presiden sekaligus Capres. Dalam bahasa hukum pernyataan Anda bisa dikaitkan dengan konsep Abuse of power (tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri ataupun untuk orang lain). Berhubungan pernyataan Anda tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka pernyataan Anda Capres Jokowi, tidak dapat dianggap sebagai tindakan korupsi. Maklum, di kalangan sejumlah ahli hukum sepakat, kekuasaan itu dekat dengan korupsi atau tindakan sewenang-wenang. Artinya, kekuasaan yang tak terkontrol akan menjadi semakin besar. Konsep Abuse of power, bisa menciptakan sumber terjadinya berbagai penyimpangan. Pemahamannya, semakin besar kekuasaan seseorang yang tidak terkontrol, akan makin besar pula kemungkinan untuk melakukan penyimpangan dan korupsi. Tak salah bila ahli politik Inggris abad ke-19 sekelas Lord Acton, menyebutkan, "Power tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutely". Akal sehat saya menilai bahwa pernyataan politik dan politisi sontoloyo pada masa kampanye, dan diucapkan oleh Anda seorang capres yang masih menjabat Presiden, bisa dianggap juga sebuah kesesatan publik yang merugikan competitor Anda beserta kader dan simpatisannya. Bahkan pernyataan Anda bisa dikaitkan dengan konsep abused of power. Konsep ini sering disebut sebagai penyalahgunaan institusi (abuse of institution). Artinya, ada pemanfaatan organisasi untuk kendaraan pribadi. Mengingat dalam manajemen publik juga dikenal pengertian, bahwa institusi atau lembaga adalah kendaraan atau sarana untuk melaksanakan strategi organisasi dalam mencapai tujuan. Pemahamannya bisa diartikan organisasi atau lembaga dijadikan alat orang yang berkuasa dalam organisasi. Yth Pak Jokowi-Pak Prabowo, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sontoloyo diartikan Konyol, Tidak Beres, dan Bodoh. Pernyataan Anda seperti selama ini sebagai isyarat Anda mencela politisi dan partai politik yang tidak termasuk koalisi Anda, sebagai melakukan kampanye tidak sehat yang bisa memecah belah rakyat Berhubung Anda putra kelahiran Solo, dan saya cucu perempuan kelahiran Jogja, tak ada salahnya saya mengkritisi Anda juga menggunakan filsalah jawa. Dalam falsafah jawa, ibu saya mengajarkan bahwa barang siapa banyak mencela, itu pertanda pencela memiliki banyak kekurangan. Pemaknaan menyalahkan orang sangat mudah dilakukan dari pada mengoreksi dan mengintropeksi diri sendiri. Bahasa lain, menuding orang punya salah satu, milik diri sendiri mungkin ada tiga atau lebih banyak. Artinya, telunjuk satu kearah orang, sementara tiga jari terlipat diam-diam menunjuk arah diri sendiri. Pernyataan Anda menggunakan kata sontoloyo yang mengundang reaksi dari publik, menurut akal sehat saya berpotensi mengganggu hubungan Anda dengan Capres Prabowo dan timnya. Saya tidak paham, apakah saat Anda mengutarakan kata sontoloyo Anda sedang dihadapkan pada situasi sulit? Apakah Anda sudah lupa ajaran nenek moyang di Jawa bahwa menyalahkan orang lain adalah cara yang paling mudah untuk keluar dari belitan persoalan. Saya masih ingat benar, saat diajari huruf jawa (honocoroko) ibu saya mengingatkan orang-orang yang berkebiasaan menyalahkan orang lain. Orang semacam ini cenderung melakukan penghindaran diri dari tanggung jawab atas situasi buruk yang sedang dihadapi. Ekses dari ucapan gampang mencela dan menyalahkan orang lain, bisa menciptakan situasi menjadi rumit yang di luar dugaan. Yth Pak Jokowi-Pak Prabowo, Saya masih ingat saat kuliah manajemen tahun 1997. Dosen saya mengajarkan bahwa dalam konteks kepemimpinan, seorang pemimpin yang menyimpan dalam dirinya kebiasaan menimpakan kesalahan kepada orang lain akan menciptakan lingkungan kerja yang tidak nyaman. Pemimpin yang gampang menyalahkan orang lain akan merasa bahwa dirinya selalu bersih dari kesalahan dan bahwa dirinya selalu benar. Artinya, bila ada ketidakberesan dalam organisasi, pemimpin tipe ini akan mencari kambing hitam. Ini teori dalam manajemen. Literatur manajemen mengatakan pemimpin yang mudah menyalahkan orang lain merupakan strategi kepemimpinan yang buruk. Maklum, sejumlah ahli kepemimpinan menyebut kebiasaan menyalahkan orang lain membuat dirinya gagal belajar. Maklum, menganggap orang lain yang salah, seseorang akan mengulangi kesalahan yang sama dan kemudian kembali menyalahkan orang lain. Ini sebuah siklus yang akan berakhir buruk. Apakah dalam persaingan politik merebut pemimpin Indonesia periode 2019-2025 dalam Pilpres 2019 saat ini, teori ini masih relevan? walahualam. Menggunakan ilmu komunikasi, Anda Capres Jokowi yang mengungkap saat ini Politik dan politisi Sontoloyo, tanpa menyebut parpol dan nama elitenya, bisa menimbulkan bias. Akal sehat saya malah mengingatkan, atas tudingan tanpa menyebut identitas, bisa membuat kegaduhan dan kegelisahan. Malahan Anda, bisa-bisa dituding mencerminkan seorang pemimpin yang Adigang, Adigung dan Adiguna (Sok kuasa, sok besar, sok sakti) Dalam kamus Bahasa Jawa Bausastra Jawa-Indonesia susunan S.Prawiroatmojo (1980) dijelaskan bahwa Adigang artinya membanggakan kekuatannya; Adigung, berarti embanggakan kebesarannya dan Adiguna adalah membanggakan kepandaiannya. Sedangkan kata Ojo berarti jangan. Bagi saya, kalimat ini merupakan kata petuah yang pemahamannya bagi saya membutuhkan perenungan-perenungan. Ibu saya mengaku, petuah ini diajarkan kakek-nenek dan gurunya saat sekolah di Desa Muntilan. Petuah dari leluhur kepada anak keturunannya dan sampai kini masih relevan dipakai untuk diingat. Pernyataan menuding ada politik dan politisi sontoloyo, menggunakan pendekatan petuah ojo adigang, adigung lan adiguna bisa memunculkan sifat dan sikap seseorang yang berkuasa. Bahasa etikanya, tudingan pada saat seseorang terlibat dalam Pilpres 2019 juga menurut akal sehat saya mengesankan seorang pejabat yang tidak memahami cara berinteraksi dengan orang yang selevel (sesama capres). Kesannya, Capres dan partai pendukungnya bisa dianggap tidak selevel. Ibu saya sebelum sedo (meninggal dunia) wanti-wanti saya agar dalam bermasyarakat untuk tidak berprilaku adigang-adigung-adiguna. Pesan ibu saya, sebaik-baik orang bermasyarakat, apalagi memegang jabatan harus berguna bagi sesamanya. Leluhurnya mengajarkan bahwa manusia terbaik adalah yang menjadi rahmat bagi lingkungannya. Pesan yang masih mengiang dalam pikiran saya, diantara tiga kata petuah itu, kata Adigang yang melekat pada diri saya. Mengingat, ini menyangkut watak congkak yang mengandalkan?kedudukan, pangkat, derajat, dan jabatan. Watak ini dilukiskan seperti seekor kijang menjangan. Binatang ini?mengandalkan kegesitan?melompat-lompat penuh keyakinan?dan kemampuan diri yang berlebihan. Binatang ini lupa akan kewaspadaan. Kadang seekor kijang yang berlari?tidak memperhitungkan?kiri kanan, belakang dan depan. Makanya, ada kisah, seekor?harimau siap menerkam dan menelan?ketika kijang menjangan dalam kelengahan. Subhanalloh. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU