Banyak Korban, Kaji Ulang UU ITE

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 08 Mar 2019 10:43 WIB

Banyak Korban, Kaji Ulang UU ITE

Jaka Sutrisna-Teja Sumantri, Wartawan Surabaya Pagi Aktivis sekaligus akademisi, Robertus Robet, ditangkap polisi atas tuduhan UU ITE, terkait orasinya yang mengkritik rencana pemerintah memberikan jabatan sipil kepada perwira aktif TNI. Berkaca dari kasus ini, sejumlah pihak mendesak agar UU ITE dikaji ulang. Bahkan jika perlu dicabut. Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, harus ada review terhadap Undang-Undang ITE. Pasalnya, Undang-Undang ini telah banyak menimbulkan korban, termasuk pada Aktivis Hak Asasi Manusia ( HAM) yang juga dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robet. Robet ditangkap oleh pihak kepolisian karena dituding melakukan penghinaan terhadap penguasa atau badan umum di Indonesia melalui orasinya di Aksi Kamisan, Kamis (28/2/2019) yang menyinggung soal dwifungsi ABRI. "Memang Undang-Undang ini sudah banyak sekali menimbulkan korban, sehingga saya kira ke depannya memang harus ada review dari para pembuat Undang-Undang karena Robertus Robert bukan (korban) yang pertama kali," ungkap Bivitri saat ditemui di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Kamis (7/3/2019). Menurut Bivitri, ada baiknya Undang-Undang ITE dicabut. Namun, jika langkah itu belum memungkinkan, setidaknya pemerintah tidak memberlakukan Undang-Undangtersebut hingga review selesai dilakukan. Paling penting, harus ditegaskan dalam Undang-Undang tersebut mengenai politik dan hukumnya. "Dilihat, di-review plus minusnya. Banyak minusnya sih untuk konteks demokrasi dan hukum," kata Bivitri. Polisi menetapkan Robertus Robet sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana penghinaan terhadap penguasa atau badan umum di Indonesia. Baca juga: YLBHI: Tak Ada Niat Robertus Robet Menghina TNI Berdasarkan surat dari kepolisian, Robet dijerat Pasal 45 A ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan/atau Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana, dan/atau Pasal 207 KUHP. Video Dipotong Hal senada diungkapkan Indonesia Corruption Watch (ICW). Menurut peneliti ICW, Lalola Easter, yang hadir dalam Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Kamis (28/2/2019), tak ada unsur penghinaan dalam orasi maupun nyanyian yang dikumandangkan Robertus Robet. Dalam video yang beredar, orasi utuh Robet telah dipotong sehingga menimbulkan makna yang berbeda. "Ada pemotongan video yang membuat artinya jadi sangat berubah, konteksnya jadi sangat berubah," kata Lalola. "Tidak ada intensi sama sekali untuk melakukan penghinaan pada TNI. Karena pada bagian (orasi) sebelumnya, disampaikan bahwa ini adalah bentuk kecintaan kita sebagai warga negara yang melihat TNI yang profesional," sambungnya. Lagu yang dikumandangkan Robet terkait dwifungsi ABRI konteksnya adalah mengingatkan supaya jangan sampai Indonesia mengalami langkah mundur dan kembali mengulang masa Orde Baru. Aksi Robet itu, menurut Lalola, sebetulnya adalah penguatan negara, sebagaimana apa yang dicita-citakan seluruh lembaga negara dan rakyat. Seharusnya, orasi dan nyanyian Robet itu dilihat sebagai kritik yang dibutuhkan untuk membangun negara demokrasi. Selain sebagai akademisi, Robet juga merupakan warga sipil yang kebebasan berekspresi dan berpendapatnya dijamin oleh konstitusi. "Jangan sampai kita justru setelah sekian belas tahun melangkah dari era reformasi, kemudian kita malah berjalan mundur," ujar Lalola. "Hari ini bisa Robertus Robet, mungkin di lain hari kita sebagai masyarakat sipil yang lain yang jadi korban," tandasnya. Respon TNI Sementara itu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengatakan tidak tersinggung terhadap isi orasi Robertus Robet yang viral di media sosial. TNI justru menilai orasi itu bisa menjadi masukan berharga untuk terus memperbaiki diri. "Bagi saya sebagai Kapuspen TNI, orasi Pak Robet merupakan masukan berharga untuk membangun kapasitas TNI," kata Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi, kemarin. Agar tetap memegang teguh jati diri sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional yang profesional seperti yang diamanatkan UU 34/2004. Sisriadi mengaku baru mengetahui adanya orasi itu. Sebagian yang beredar di media sosial, hanya memotong bagian nyayian Robet yang memelesetkan lagu ABRI. Sisriadi mengatakan orasi itu tidak bisa dilihat dari beberapa potongan saja, namun harus keseluruhan orasi. Ia menilai orasi itu tidak membahas TNI saat ini, namun lebih kepada kritik terhadap ABRI pada masa Orde Baru. Meski memang orasi disampaikan pada saat demonstrasi menolak wacana perluasan jabatan bagi perwira tinggi TNI, Sisriadi mengatakan hal ini bukan masalah. "TNI jaman now tidak anti kritik, tandasnya. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU