Home / Surabaya : Sesuai Masterplan, Surabaya Barat sebagai Ruang Te

Banjir Akibat Proyek

author surabayapagi.com

- Pewarta

Sabtu, 02 Feb 2019 08:48 WIB

Banjir Akibat Proyek

Prila Sherly-Alqomar, Tim Wartawan Surabaya Pagi Banjir yang menenggelamkan perumahan elit Citraland dan sejumlah kawasan Surabaya lainnya, benar-benar menjadi pekerjaan rumah Walikota Tri Rismaharini. Pasalnya, air yang meluap ke jalanan dan rumah-rumah warga bukan genangan biasa, seperti diklaim Pemkot Surabaya selama ini. Kajian akademisi dan aktivis lingkungan, banjir parah dalam dua hari ini disinyalir karena berubahnya kawasan menjadi hunian. Terlihat dengan banyaknya proyek perumahan dan apartemen. Padahal sesuai masterplan, Surabaya barat ditetapkan sebagai kawasan ruang terbuka hijau. ---- Sementara itu, hingga Jumat (1/2) sore, sejumlah kawasan di Surabaya barat masih tergenang banjir. Wilayah yang tergenang banjir di kawasan Surabaya barat di antaranya Jalan Raya Tengger, Lontar, Manukan Lor, Sambikerep, Bungkal, Dukuh Kapasan, Tandes, Tandes, Pradah, Sukomanunggal, Babat Jerawat. Bahkan, komplek perumahan elit di Citraland, Pakuwon Bukit Regency, Darmo Satelit, dan Bukit Bali tergenang banjir. Genangan air mencapai tinggi 30 cm hingga 50 cm. Sebenarnya di tahun 1978, Pemerintah Kota Surabaya telah membuat Master Plan Surabaya 2000 yang menjelaskan Surabaya Barat sebagai ruang terbuka hijau. Namun di tahun 1992, adanya perubahan dengan diajukannya proposal dari Ciputra (pengembang Citraland, red) untuk membangun pemukiman. Pemkot sempat meminta pertimbangan pada kami di ITS, sehingga yang muncul adalah syarat proporsi terbangun 40 persen, tidak 60 persen. Ini untuk menghindari banjir, ungkap Putu Rudy Setiawan, dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ketika diwawancari Surabaya Pagi, Jumat (1/2/2019). Pada kenyataannya terjadi banjir besar di Februari 2016, Februari 2017, Maret 2018, dan akhir Januari 2019 saat ini. Maka dari itulanjut Putu Rudy, diindikasikan adanya kapasitas terbangun telah melampaui 40 persen yang seharusnya tidak seperti itu. Menurut Putu Rudy, dengan metode apapun, kawasan tersebut tidak mampu lagi menyerap air walaupun berusaha dikembalikan pada proporsi semula. Lalu, Putu Rudy menyarankan kepada Pemkot Surabaya agar mengembalikan kawasan tersebut sesuai dengan Master Plan Surabaya 2000. Hal ini disebabkan karena meskipun telah dibangunnya saluran air, waduk, dan sebagainya tidak mampu menampung kembali. Penjelasan ini dibuktikan dengan adanya protes warga Wiyung terhadap pembangunan apartemen yang membuat kawasan tempat tinggal mereka menjadi lebih rendah sehingga mengarah pada banjir. Menurut saya, Pemkot harus hentikan alih fungsi lahan, selamatkan kawasan lindung di Surabaya Barat karena adanya kontur yang khas yaitu beberapa wilayah lebih tinggi dari lainnya. Sehingga, secara tidak langsung membutuhkan lebih banyak telaga atau waduk yang mana agar ketika hujan tidak langsung terhempas keluar melainkan secara perlahan, papar Rudi. Karena itu, lanjut Putu Rudy, saluran air yang dibangun Pemkot, baik berupa box culvert maupun mini bozem, tidak lagi cukup menampung bila tidak ada wilayah tangkapan. **foto** Kebijakan Salah Hal sama diungkapkan Rere Christanto, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Ia mengungkapkan penyebab utama banjir di kawasan Surabaya barat akibat dari hilangnya kawasan lindung dan ruang terbuka hijau. Beralihnya fungsi utama wilayah yang diserahkan Pemkot ke pengembang perumahan menjadi penyebab utamanya. Terutama kawasan lindung seperti waduk dan telaga karena memiliki fungsi penting sebagai perairan wilayah, papar Rere yang dihubungi terpisah, kemarin. Ia menilai kebijakan alih fungsi lahan yang dilakukan Pemkot Surabaya mendorong terjadinya banjir di kawasan tersebut. Padahal, Rencana Tata Ruang Wilayah telah ditegaskan bahwa telaga maupun waduk adalah kawasan lindung Surabaya yang menjadi titik utama sebagai penyangga kawasan sekitarnya. Ketika kehilangan hal itu, maka yang mengangkat air penampungnya menjadi hilang sehingga naik ke permukaan. Masih Banjir Kajian yang dilakukan akademisi dan aktivis Walhi ini ada benarnya. Buktinya, hingga Jumat (1/2) kemarin, masih ada daerah di Surabaya barat yang tetap tergenang. Padahal, Pemkot sudah membangun saluran di kawasan ini. "Sistem drainase perlu dievaluasi total. Anggaran tiap tahun untuk pengendalian banjiir Rp500 miliar cukup besar, namun tidak ada perubahan signifikan," ungkap Vinsensius Awey, anggota DPRD Surabaya, yang tinggal di Perumahan Citraland, Surabaya. Bahkan, banjir selama dua hari ini menjadi terparah di daerahnya. Awey mencontohkan di Citraland blok K dan kawasan gereja yang banjirnya mencapai satu meter. Padahal tahun lalu sudah ada perbaikan dengan pengurukan cekungan antara gereja Yacobus Citraland dan wilayah kantor BCA. Namun tahun ini banjirnya justru merata tidak hanya di titik tersebut. "Malah yang di Tandes itu jadi rusak semua jalannya. Ini harus menjadi evaluasi besar. Mengingat wilayah Surabaya Barat itu hilir lho, yang menghubungkan langsung dengan wilayah laut," tutur Awey. Menurut dia, idealnya Pemkot melakukan pengendalian banjir berdasarkan peta titik lokasi banjir yang ada di Surabaya. Pembangunan drainase berdasarkan skala prioritas kawasan dan dilakukan sampai tuntas, karena saat ini pembangunan sistem drainase ada dimana-mana namun juga tidak selesai di mana-mana," cetus politisi Partai Nasdem ini. **foto** Lebih Parah Pernyataan sama diungkapkan Wakil Ketua DPRD Surabaya, Masduki Toha, yang tinggal di Kelurahan Babat Jerawat, Kecamatan Pakal, Surabaya. "Di rumah saya sampai saat ini masih digenangi air. Siang tadi sudah mulai surut, tapi sore ini hujan deras lagi sehingga air masuk rumah lagi," ungkapnya, kemarin. Menurutnya, debet air tinggi pada saat hujan deras sehingga drainase tidak mampu menampung sehingga terjadi banjir. Apalagi, lanjut dia, normalisasi boxculvert di kawasan Sememi belum selesai sehingga air dari sungai Kali Lamong mengarah ke kampungnya. "Kasihan warga di sini. Sudah dua hari ini kebanjiran," cetus politisi PKB ini. Hal sama juga dialami warga Jalan Stasiun Karangan RT 07 RW 04, Kelurahan Banjar Sugihan, Kecamatan Tandes, Hadi Warsito. Ia mengatakan banjir akibat hujan deras pada Kamis (31/1) malam masih menggenangi rumahnya hingga Jumat sore ini. Menurut Hadi, kampungnya selama ini menjadi langganan banjir, tapi dibandingkan tahun lalu, banjir tahun ini lebih parah. "Ini rumah saya masih terendam banjir. Setidaknya butuh dua hari hari agar air tersebut surut dengan catatan tak ada hujan lagi," ungkapnya. Hadi yang juga ketua RT tersebut mengaku problem banjir musiman ini sudah dilaporkannya ke Pemkot Surabaya. Namun masih saja tetap terjadi. Warga meminta agar pemkot segara membangunkan rumah pompa agar air cepat surut. Kemana Risma? Sebelumnya, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Linmas Kota Surabaya Eddy Christijanto mengatakan genangan terjadi karena adanya luapan sungai dan saluran di kawasan Surabaya Barat, lantaran memang adanya curah hujan yang begitu tinggi. Lantas, kemana Walikota Tri Rismaharini saat wilayahnya terjadi banjir? Kabag Humas Kota Surabaya, M Fikser menyebut jika Tri Rismaharini ikut turun ke lokasi. Bahkan, keliling dari Surabaya timur ke barat. "Ibu keliling, turun. Mana ada Bu Risma kalau hujan itu tidak keluar," ucap Fikser. Menurut Fikser, hujan mengguyur di Surabaya pada Kamis (20/1/2019) dua kali. Yang pertama pada pukul 15.00 Win dan yang kedua pada pukul 17.00 Wib. "Beliau keliling mulai jam 3 (pukul 15.00 Wib) sampai sebelum Maghrib kembali ke kediaman," jelasnya. Setelah kembali ke kediaman, menurut Fikser, Wali Kota Risma juga keliling pada hujan kedua. Saat hujan pertama, Risma berkeliling ke daerah timur. Sedangkan pada saat hujan kedua, ke arah barat. "Tapi kita harus memaklumi karena beliau kan masih dalam proses penyembuhan (kaki sakit)," ungkapnya. n

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU