Awas, Survei Orderan di Pilwali Surabaya

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 27 Des 2019 06:24 WIB

Awas, Survei Orderan di Pilwali Surabaya

SURABAYA PAGI, Surabaya Menengok perhelatan Pemilu 2019 serentak April lalu, bermuculan hasil survei yang diduga abal-abal. Gejala sama juga diprediksi terjadi pada Pilwali Surabaya 2020 mendatang. Indikasinya, dalam dua bulan terakhir tersebar hasil survei bakal calon walikota (bacawali) Surabaya di grup media sosial. Pada November lalu, misalnya. Ada lembaga survei yang menempatkan Whisnu Sakti Buana (WS) di peringkat pertama. Anehnya, muncul nama penyanyi Maia Estianty di posisi kedua. Padahal, mantan istri Ahmad Dhani itu tak pernah disebut-sebut masuk bursa Pilwali Surabaya 2020. Di bawah Maia ada nama Puti Guntur Soekarno Putri, anggota DPR RI yang sempat ikut Pilgub Jatim namun kalah dari Khofifah Indar Parawansa Kemudian Desember ini, ada survei online yang kerap dibagikan di grup-grup media sosial. Sejumlah tokoh masuk dalam survei ini, diantaranya Zahrul Azhar Asad alias Gus Hans, Vinsensius Awey, dan Dwi Astutik. Setelah dicek, ternyata motodologinya sangat sederhana. Perolehan suara terbanyak berasal dari klik yang dilakukan anggota grup. Namun jumlah responden yang dilibatkan tidak bisa dideteksi. Menanggapi hal itu, sosiolog politik Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Agus Mahfud Fauzi mewanti-wanti masyarakat Surabaya untuk lebih cerdas dalam membedakan mana lembaga survei yang kredibel dan mana yang tidak. Sehingga, jika terdapat publikasi hasil survei dari lembaga tertentu, calon pemilih sudah bisa menyaring informasinya. "Hal yang paling utama adalah mengetahuitrack record. Kalau ada lembaga survei yang dipakai hanya untuk pemenangan, itu biasanya abal-abal. Padahal, survei itu butuh akurasi data," tutur Agus Mahfud kepadaSurabaya Pagi, Kamis (26/12/2019). Walau begitu, lanjut Agus, hingga kini belum ada ketentuan yang mengatur supaya lembaga-lembaga survei abal-abal ini bisa dicegah. Hanya saja, pada umumnya lembaga survei abal-abal tersebut tidaklah lama umurnya. "Nanti biar sistem alamiah yang menyeleksi. Lembaga survei yang tidak dipercaya masyarakat bakal mati sendiri," ujar mantan komisioner KPU Jatim ini. Pengaruh Hasil Survei Menurut Agus, hasil survei dari lembaga survei memang memiliki pengaruh dalam kadar tertentu baik bagi klien (parpol/individu) maupun publik secara umum. Bagi parpol, hasil survei menjadi faktor penting untuk mengukur elektabilitas, akseptabilitas dan popularitas. Hanya saja, hasil survei ini dibatasi oleh waktu karena mengungkapkan kondisi saat itu. Sementara di sisi lain, peta politik bisa terus berubah. "Oleh sebab itu, survei tidak cukup sekali, tetapi beberapa kali sebagai data balancing atau pembanding," cetus Agus. Sementara bagi masyarakat umum, hasil survei untuk saat ini tidak terlalu berpengaruh. Pasalnya, pemilih sifatnya masih cair. Untuk kategori pemilih tradisional, figur calon masih menjadi pertimbangan utama. Di lain pihak, pemilih kategori maju, lebih mempertimbangkan visi dan misi. Menurut mantan komisioner KPU Jatim ini, boleh-boleh saja partai memanfaatkan pihak ketiga (lembaga survei) untuk menggelar survei internalnya. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk mendapat hasil data se-objektif mungkin. Namun, sambung Agus Mahfud, apabila ada hasil survei yang dipublikasi jelang hari-H pemilihan, maka tindakan tersebut sarat muatan politisasinya. Soalnya, survei sejatinya adalah metode ilmiah untuk mengukur popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas. "Itu upaya yang tidak gentleman. Hasil survei dipakai untuk mempengaruhi pemilih itu namanya dipolitisasi," papar Agus Mahfud. Order Parpol Terpisah, peneliti senior Surabaya Survei Center (SSC) Surokhim Abdussalam memaparkan, dalam demokrasi langsung, pemenang pemilu ditentukan oleh voters. Untuk menggambarkan voters dibutuhkan survei. Pihak yang punya kompetensi adalah lembaga survei. Dalam pilkada, hasil survei jelang pilkada dipakai sebagai salah satu referensi untuk mengukur elektabilitas kandidat serta memaparkan kelebihan dan kekurangan, dan potensi kemenangan. Sebagai korporasi bisnis, sambung Surokhim, adalah hal yang wajar bagi sebuah lembaga survei untuk menerima order dari partai politik. Pasalnya, hal tersebut menjadi sumber pendapatan lembaga survei. Namun dengan catatan, pekerjaan yang dilakukan harus sesuai asas yaitu metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan. "Lembaga survei harus jujur," cetus Surokhim. "Di mana-mana lembaga survei mestinya begitu." Menjamurnya lembaga survei jelang pilkada sendiri menurut Surokhim adalah hal yang bagus. Soalnya, dengan banyak lembaga survei, bisa terjadi saling kontrol hasil survei. Dengan kalimat lain, bila terjadi penyimpangan hasil survei, bisa segera diketahui. "Kalau lebih banyak lembaga survei yang terlibat, nanti bila ada yang hasilnya beda sendiri, itu bisa dipertanyakan metodologinya," ucap Surokhim. Surokhim sendiri tidak sepakat dengan adanya pendataan lembaga survei dari KPU dalam perhelatan pilkada. Pasalnya, seolah-olah kebenaran hasil survei ditentukan oleh KPU. Di samping itu, survei adalah hasil kerja akademis yang tidak seyogyanya dibatasi oleh aturan KPU. "Kalau terjadi pelanggaran, mestinya cukup ke dewan etik asosiasi lembaga survei yang mengadili. Diminta untuk membuka metodologinya," papar Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Trunojoyo Madura ini. Survei Kredibel Terpisah, pengamat politik asal Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (Uinsa) Surabaya Abdul Chalik mengungkapkan lembaga survei yang independen adalah yang tidak dibiayai pihak tertentu, akademis dan berpengalaman. Menurut pendiri Sunan Giri Foundation ini, lembaga survei yang berasal dari kampus-kampus cenderung lebih independen dan objektif. Begitu pula dengan lembaga-lembaga survei yang sudah punya nama besar. Pasalnya, mereka tidak akan bertindak yang mencoreng muka sendiri. Bagi publik, yang perlu diperhatikan dari lembaga survei adalah kredibilitas. Apabila ada lembaga survei yang tidak memenuhi kualifikasi tersebut, maka publik tidak perlu meresponnya. "Biasanya (lembaga survei) yang baru-baru itu yang tidak independen," ungkap Abdul Chalik. Walau demikian, bukan berarti suatu lembaga survei tidak boleh menerima pekerjaan dari partai politik atau pihak tertentu. Sebaliknya, boleh saja bekerjasama sepanjang dilakukan dengan profesional, akademis dan objektif.Dengan kalimat lain, sepanjang lembaga survei tidak melakukan kejahatan-kejahatan akademis, seperti memalsukan data, memalsukan sampling dan seterusnya. "Dikhawatirkan ada keberpihakan dari lembaga survei terhadap parpol atau calon tertentu," ungkap penulis buku Pertarungan Elite dalam Politik Lokal ini. Menurut Abdul Chalik, memang belum ada ketentuan yang bisa mencegah munculnya lembaga survei abal-abal. Sepanjang dilakukan sebelum tahapan pemilu dimulai, maka KPU tidak bisa bertindak apa-apa. Baru setelah tahapan pemilu dimulai, KPU bakal mendaftar lembaga survei mana saja yang ikut ambil bagian. "Kalau yang tidak terdaftar, hanya bisa beropini. Tapi kalau yang terdaftar, bisa menggelar quick count," pungkas Abdul Chalik.n rga

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU