Home / Hukum & Pengadilan : Diduga Selesaikan Perkara dengan Cara Markus. Ketu

AWAS, PENGACARA HITAM

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 15 Jan 2018 00:12 WIB

AWAS, PENGACARA HITAM

SURABAYAPAGI.com, Surabaya Advokat Fredrich Yunadi yang ditahan KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan perintangan proses hukum (obstruction of justice), menjadi peringatan bagi pengacara atau advokat untuk tidak menyalahgunakan profesinya. Termasuk terhadap pengacara yang praktik di Jawa Timur. Berdasar data Persatuan Advokat Indonesia (Peradi), pada 2017 sebanyak 108 pengacara telah ditindak karena pelanggaran kode etik. Sedang di Surabaya, sudah enam pengacara dipecat Peradi. Dari sini kemudian muncul lagi sebutan pengacara hitam lantaran memiliki job sampingan sebagai makelar kasus (markus). ------------ Masih ingat dengan operasi tangkap tangan (OTT) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Agustus 2017? Saat itu advokat asal Surabaya, Akhmad Zaini, ditangkap KPK karena kasus penyuapan uang Rp 425 juta kepada Panitera Pengganti pada PN Jakarta Selatan. Zaini saat itu menjadi kuasa hukum PT Aqua Marine Divindo Inspection yang sedang berperkara di PN Jaksel. Beruntung, Zaini divonis ringan oleh Pengadilan Tipikor, yakni 2,5 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan. Putusan itu lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK, yakni 3 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 6 bulan kurungan. Akhmad Zaini hanya salah advokat yang kena masalah. Jika ia terlibat penyuapan, Fredrich Yunadi justru dijerat pasal obstruction of justice oleh KPK dengan ancaman hukum 12 tahun dan denda Rp600 juta. Selain keduanya, Ketua Konggres Advokat Indonesia(KAI) Jatim Abdul Malik tak menampik masih adanya pengacara hitam di Jatim, tak terkecuali di Surabaya. Mereka disebut-sebut kerap menyelesaikan perkara di tengah proses penyidikan maupun yang sedang berlangsung di Pengadilan. Ironisnya, menurut Malik, kondisi ini diperparah dengan para oknum penegak hukum yang lebih suka berurusan dengan pengacara markus ketimbang dengan pengacara idealis. "Karena kalau dengan markus, cepat kaya mereka. Bahkan ini kadang di penyidik kepolisian, kejaksaan dan pengadilan kadang sering diarahkan untuk pakai pengacara siapa. Ini diarahkannya ya ke para pengacara hitam itu tadi," ungkap Malik kepada Surabaya Pagi, Minggu (14/1/2018). Ditanya identitas pengacara hitam di Surabaya, ia enggan menyebut nama pengacara yang dimaksud. Hanya saja, Malik mengungkapkan kebanyakan mereka pengacara yang bermata sipit. "Dan para pengacara hitam ini kebanyakan Tionghoa. Kalau yang pribumi ini ada juga sih, tapi nggak banyak," sebut Malik. Di sisi lain, lanjut Malik, banyaknya pengacara hitam ini dikarenakan menjamurnya juga kampus abal-abal yang memiliki fakultas hukum. "Kalau pendidikannya nggak bener, lulusannya juga akan malah nggak jelas kan," cetusnya. "Belum lagi karena Perma no 73. Ini menjadikan sekumpulan pengacara hitam hanya berbekal akta notaris bisa mendirikan organisasi profesi sendiri. Secara otomatis, mereka juga bisa mengadakan ujian pengacara sendiri juga. Padahal beberapa dari organisasi advokat itu sudah dinyatakan tidak sah dan tidak boleh disumpah. Seperti misalnya Peradin atau KAI Pedang Hitam," papar Malik. Untuk mengatasi hal tersebut, menurut Malik, pihak KAI sudah berkali-kali mengirim surat kepada MA. Hanya saja tidak pernah mendapatkan respons yang berarti. "Karena ya Perma itu tadi. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya kalau markus menguji, produknya ya nggak akan jauh beda. Kan ngerusak ini," cetus Malik. "Kalau sudah begini ya kuncinya adalah integritas. Semua pihak harus secara sadar kembali ke jalan yang benar. Karena KPK pun pasti juga ada celahnya. Mereka kan juga manusia," lanjut Malik. Jalan Pintas Hal senada diungkapkan advokat senior Sudiman Sidabukke, yang juga dosen hukum Universitas Surabaya. Banyaknya pengacara yang tersangkut kasus hukum, dipandang Sudiman sebagai bukti masih adanya pengacara hitam yang berkeliaran. Ia menggarisbawahi pengacara hitam ini adalah para pengacara yang memiliki job sampingan sebagai makelar kasus (markus). "Jadi banyak jumlahnya itu (pengacara hitam, red). Apalagi, kondisi dunia penegak hukum di Indonesia ini sedang sakit. Perkara makelar kasus ini adalah perihal lingkaran setan. Nggak ada ujungnya," ujar Sudiman dihubungi terpisah, kemarin (14/1). "Kenapa bisa saya sebut lingkaran setan? Karena terkait ini itu para penegak hukum kita, baik Kepolisian atau Kejaksaan dan Pengadilan, sukanya berurusan dengan pengacara hitam yang nyambi jadi markus. Karena kalau dengan mereka, bicaranya ini deal-dealan. Bukan bicara pasal atau hukum. Di sisi lain, masyarakat kita pun begitu. Mereka lebih suka jalan pintas kalau berhadapan dengan hukum. Makanya selesai sudah," papar Sudiman. Kondisi demikian, lanjutnya, menjadikan para pengacara idealis semakin tersingkir. "Karena ya itu tadi, kan ada yang lebih cepat. Padahal para pengacara yang benar, idealis, ini jumlahnya banyak. Tapi kantor-kantor mereka ini sepi, tidak seperti yang pengacara hitam nyambi markus," beber dia. "Padahal jadi markus itu tidak mudah. Kadang mereka ini nomboki dulu untuk bayar kesana kesini. Kalau pengacara idealis kan nggak mau begitu," terang Sudiman lebih lanjut. Pengusaha Markus Di sisi lain Sudiman juga menambahkan bahwa, selain pengacara, oknum pengusaha pun juga memiliki potensi untuk menjadi markus. Hal itu dikarenakan tingginya intensitas pertemuan antara pengusaha dan penegak hukum. "Entah itu untuk perijinan atau apa ya. Yang jelas mereka kan jadi kenal. Tahu jalurnya. Sehingga banyak juga yang begitu (jadi markus). Perkara kasus hukum seakan-akan jadi komoditi bisnis. Semacam biro jasa lah," tegas Sudiman. "Tapi, tentunya itu susah dibuktikan secara gamblang. Yang jelas kondisi di lapangan begitu. Pembuktiannya susah tapi. Kepolisian pun harus tangkap tangan untuk itu," tambahnya. Maraknya pengacara hitam dan juga markus tersebut, menjadi Sudiman berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh KPK saat ini sudah sangat tepat. Seperti menangkap advokat Fredrich yang diduga merintangi proses hukum yang dilakukan KPK dalam kasus korupsi e-KTP dengan tersangka mantan Ketua DPR Setya Novanto. "Harus dilanjutkan itu. Wajib digalakkan dan didukung penuh. Kandangin saja itu para pengacara hitam yang melenceng dari jalur serta para markus itu," katanya. "Hemat saya, ini hanya KPK yang bisa untuk menegakkan itu. Karena hingga saat ini, yang tidak bisa diintervensi oleh para markus ini hanya KPK," tandas Sudiman mengakhiri wawancara dengan Surabaya Pagi. Advokat Terjerat Kasus Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 22 orang advokat yang pernah terlibat dalam perkara korupsi terhitung sejak 2005. Seluruhnya dijerat dengan menggunakan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Angka tersebut sudah termasuk Fredrich Yunadi yang Sabtu lalu ditahan KPK. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter menuturkan, dari 22 orang itu, 16 di antaranya dijerat karena melakukan suap-menyuap, dua karena memberikan keterangan tidak benar, empat karena merintangi penyidikan perkara korupsi. "Kasus yang melibatkan 22 advokat tersebut mayoritas ditangani oleh KPK. Ada 16 orang yang ditangani KPK, 5 orang ditangani oleh Kejaksaan, 1 orang ditangani Kepolisian," papar dia di kantor ICW, Jakarta, Minggu (14/1) kemarin. Lalola juga menjelaskan, di antara advokat yang terjerat yaitu Haposan Hutagalung, Kasman Sangaji dan Samsul. Kasman dan Samsul terbukti menyuap panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk menegosiasi hukuman yang dijatuhkan kepada kliennya, yakni artis Saiful Jamil. Haposan menyuap penyidik Polri Arafat Enanie dan Komjen Susno Duadji saat menjabat Kepala Bareskrim Polri pada 2011 lalu. Dia juga terlibat dalam mafia kasus Gayus Tambunan dengan memberikan keterangan tidak benar terkait asal usul harta Gayus. "Sepintas perbuatan ini seolah-olah dilakukan demi kepentingan klien, padahal suap-menyuap sendiri sudah merupakan tindak pidana, terlepas dari siapa yang memberikan suap," paparnya. Terbaru, Fredrich Yunadi yang ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan merintangi proses hukum kasus proyek pengadaan KTP-elektronik dengan tersangka Setya Novanto. ICW menilai penetapan Fredrich sebagai tersangka mencoreng kembali citra profesi advokat yang disebut sebagai officium nobile atau pekerjan yang terhormat. Sementara itu, Dewan Kehormatan Daerah Peradi Jatim pada tahun 2017 telah melakukan pemecatan terhadap enam advokat, karena dinilai melanggar Kode Etik dan Undang Undang Advokat. Enam pengacara yang dipecat Peradi adalah Gede alias Gediyanto, A. Faisal (alm), Edward Rudy, Hairandha Suryadinata, Albert Riyadi Suwon, dan Soka. Namun, keputusan Dewan Kehormatan Peradi itu memunculkan pro dan kontra. Sejumlah pihak meminta agar keputusan itu dianulir karena dianggap tidak relevan. n ifw/alq/jk

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU