Home / Pilpres 2019 : Catatan Akal Sehat Demokrasi Indonesia Pilpres 201

“Award Kebohongan” dari PSI, Demokrasi Tanpa Kecerdasan

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 07 Jan 2019 21:33 WIB

“Award Kebohongan” dari PSI, Demokrasi Tanpa Kecerdasan

SAYA tak habis mengerti dalam pesta demokrasi, PSI (Partai Solidaritas Indonesia), sebuah partai politik baru peserta Pemilu 2019 mengeluarkan kebohongan award untuk tokoh politik partai lain. Apalagi awardnya diberikan kepada capres dan cawapres yang tidak didukungnya, Prabowo dan Sandiaga Uno. Selain pembuat ciutan surat suara 7 kontainer yang sudah dicoblos, Andi Arief, Wakil Sekjen Partai demokrat. Menurut akal sehat saya, award semacam ini salah satu contoh berdemokrasi tanpa kecerdasan. Akal sehat saya mengatakan kecerdasan demokrasi seperti dalam Pilpres saat ini menuntut semua parpol berkompetisi secara setara, tidak ada parpol satu lebih kuat dari parpol lain. Nah, pemberian award dari PSI ke elite Partai Gerindra dan Partai Demokrat, bukti tidak ada kecerdasan dari elite PSI. Maka itu, menurut akal sehat saya, pemberian Award kepada elite partai pesaing, petunjuk sebagai elite PSI tidak mengikuti aturan dan penyelenggaraan demokrasi menurut UUD 1945. *** Akal sehat saya menyebut pemberian award dari PSI ini tampak dikeluarkan dari naluri dan intiusi pengurusnya, tanpa menggunakan kecerdasan emosional. Pengurus PSI dengan Award semacam ini mengesankan mereka tidak menggunakan kecerdasan rohani, rasional dan tanpa kecerdasan emosional. Mengapa? Kecerdasan emosional mesti mendorong kemampuan dari seseorang untuk mengindentifikasi, memahami, dan mengatur emosi diri sendiri maupun orang lain. Ada apa pengurus PSI mengeluarkan pemberian atribut kebohongan kepada lawan politik dengan sebuah piala?. Jujur award berlabel kebohongan semacam ini telah dibuat tanpa mempertimbangkan asas asas hukum yang berlaku di Indonesia yaitu asas praduga tak bersalah. Dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c yaitu: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU Kehakiman bahwa asas praduga tak bersalah yang berbunyi: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. *** Dalam praktik hukum yang saya ikuti selama ini, asas presumption of innocent atau praduga tidak bersalah saja tidak bisa diartikan secara letterlijk (apa yang tertulis). Mengapa? Asas presumption of innocent adalah hak-hak manusia yang dinyatakan tersangka. Didalamnya, ada hak untuk bohong, memungkiri, kawin dan cerai, ikut pemilihan dan sebagainya. Logikanya, akal sehat manusia yang taat hukum akan mengakui seseorang wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan putusan itu sudah incarht (telah berkekuatan hukum tetap). Ini artinya seseorang hanya dapat dikatakan bersalah sepanjang hal tersebut telah dinyatakan dalam putusan hakim dan telah memiliki kekuatan hukum tetap. *** Saya mengikuti dinamika politik munculnya kebohongan award. Capres nomor urut 02 Prabowo, dituding oleh Tsamara, salah satu Ketua DPP PSI, sudah membuat kebohongan mengenai selang cuci darah untuk pasien sudah dipakai 40 kali di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Dan pihak RSCM sudah membantah pernyataan Prabowo tersebut. Sementara cawapres nomor urut 02, Sandiaga Uno, dikatakan Tsamara sudah melakukan kebohongan mengenai Tol Cipali dibangun tanpa utang. Ternyata menurut Tsamara, pembangunan Tol Cipali yang dilakukan perusahaan Sandiaga ada pinjaman bank. Kemudian award yang sama diberikan kepada Andi Arief. Wasekjen Partai Demokrat yang disebut telah melakukan kebohongan isu 7 kontainer surat suara yang sudah tercoblos. Benarkah kebohongan politik tidak bisa dimaafkan? Mengingat saat ini kebohongan politik kadang berbaur dengan politik kebohongan. Bagi publik, bohong-bohong dalam politik bisa menyebalkan. Paling tidak menggunakan politik itu tujuan menghalalkan cara ala Macchiavellian. Artinya, kebohongan politik dan politik kebohonan yang tidak memerlukan lagi sandaran moral, nurani, dan etika kebaikan. Padahal bagi kelompok orang-orang yang idealistis, politik sebagai sumber utama legitimasi yang memerlukan etika dan kebaikan. Artinya politik tanpa kebaikan adalah politik yang tak berprinsip. Ini kata Mahatma Gandhi (1869-1948), pendiri negara India. *** Dalam bahasa pergaulan di masyarakat, kebohongan kadang disebut kepalsuan. Nah, kebohongan semacam ini dianggap jenis penipuan dalam bentuk pernyataan yang tidak benar. Terutama dengan maksud untuk menipu orang lain. Apakah Prabowo, Sandiaga dan Andi Arief, membuat pernyataan semacam itu memang ingin menipu orang lain? Sejauh ini belum ada yang melaporkan ketiga elite ini, kecuali complain dari RS Cipto Mangunkusumo dan Bawaslu serta KPU. Pertanyaannya, apakah Prabowo, Sandiaga dan Andi Arief, berbohong, karena menyatakan sesuatu yang tahu tidak benar? atau seseorang akan membawanya untuk kebenaran?. Beda dengan seseorang pembohong. Ia adalah orang yang berbohong, yang sebelumnya telah berbohong, atau yang cenderung untuk berbohong berulang kali - bahkan ketika tidak diperlukan. Adolf Hitler menulis dalam otobiografinya bahwa jika kebohongan diulangi secara terus-menerus, maka pikiran manusia akan mempercayainya. Kebohongan pun diterimanya sebagai kebenaran. Mengingat, pengulangan adalah metode hypnosis. Artinya, apa yang diulangi secara terus-menerus itu akan terukir pada sejumlah orang. Inilah yang menyebabkan ilusi dalam hidup. *** Ketika seseorang berbohong, bisa jadi dirinya merasa bahwa hal tersebut bukan kebohongan bagi diri sendiri. Baginya, kebohongan perlu dilakukan karena dianggap penting. Padahal, orang lain yang melihatnya menganggap ini masalah yang tidak penting. Misal, seorang suami berbohong pada istrinya, kalau ia baru ke nite club memboking seorang wanita. Berbohongnya suami ini naluri lelaki untuk menjaga perasaan istrinya, bukan menyakiti. Beda dengan kasus Ratna Sarumpeat. Aktivis ini melakukan kebohongan yang membuat banyak orang terkejut. Orang yang terkejut atas kebohongannya sudah berada pada skala nasional. Apakah kebohongan award yang dikeluarkan PSI ini juga membuat orang-orang terkejut? Akal sehat saya mengatakan pasti ada. Mengingat, kok ada partai politik memberi award ke elite partai politik lawannya. Pertanyaan mendasarnya apa kompetensinya? Apakah PSI atau elite-elitenya merasa jadi korban kebohongan Prabowo, Sandiaga dan Andi Arief. Tanyakah kepada mereka. ([email protected], bersambung)

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU