Aktivis Kiri, Partai Politik, & Parlemen

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 01 Feb 2019 14:00 WIB

Aktivis Kiri, Partai Politik, & Parlemen

SURABAYAPAGI.com - Reformasi 1998 bukanlah agenda yang sesungguhnya diinginkan bagi aktivis Malari 1974 (sebuah akronim malapetaka 15 Januari 1974), karena itu hanya mengubah sitsem Orde Baru (Orba) saja. Mereka yang duduk dalam pemerintahan di era reformasi mayoritas dari kalangan jamaah Orba juga. Sesungguhnya yang diinginkan dan menjadi tujuan adalah agenda revolusi dengan mengganti semua tatanan sistem pemerintahan Orba yang berkuasa selama 32 tahun lamanya. Hariman Siregar, salah satu aktivis Malari, pernah mengatakan pada saat pertemuan InDemo (Indonesia Demokrasi Monitor) yang dilaksanakan di Yogyakarta 15 Januari 2018, di mana "agenda revolusi yang menjadi tujuan disusupi oleh sekelompok golongan yang akhirnya hanya menghasilkan reformasi saja" (Hariman Siregar, 2018). Pasca Orde Baru, bermunculan dari kalangan aktivis kiri ada yang membentuk partai politik (parpol), dan juga ada yang ikut bergabung di dalamnya dengan tujuan untuk bisa duduk di parlemen. Ya, kalau memang mau mengejar karier, perubahan (perubahan individu secara ekonomi atau perubahan golongan secara ideologi politik). Bagi kalangan aktivis kiri, kata revolusi bukan hanya kata-kata, tetapi sudah menjadi tujuan untuk perubahan menuju hal yang diinginkan dalam sebuah pergerakan ke arah pemerintahan yang adalah cita-cita idealisme individu ataupun kelompoknya. Tidak ada jalan lain kecuali masuk parpol, entah itu tidak sesuai dengan keinginan awal di saat masih menjadi aktivis ataupun tidak, hanya Tuhan yang tahu. Adakah rasa malu bagi kalangan aktivis kiri ketika ada niat bergabung dengan parpol (yang dulu sering melakukan aksi demonstrasi) melakukan kritik terhadap pemerintahan, tetapi ketika bisa dan sudah bergabung di dalamnya dengan pemerintah mereka menikmati singgasana kursi parlemen, mereka mendukung pemerintah yang diusungnya, walaupun tidak sesuai dengan tuntutan rakyat? Idealisme awal kalangan aktivis kiri bisa juga dikalahkan dengan kepentingan parpol (ketika sebagian aktivis kiri ikut bergabung di dalamnya). Selain itu, idealisme juga akan kalah atau justru mengalah dengan persahabatan, persahabatan yang terjadi entah dengan sesama anggota parpol pendukung pemerintah, atau parpol oposisi. Solusi alternatif bagi kalangan aktivis kiri yang sering didengar dan digaungkan yaitu membangun "politik alternatif". Ini cara bagi para aktivis kiri untuk lepas dari kebingungan atau kebimbangan dibandingkan bergabung dengan parpol yang bertentangan dengan naluri dan idelisme. Atau bisa juga dengan mendirikan dan membangun partai berdasarkan basis massa yang masih ada. Memang membentuk partai tidak semudah apa yang dibayangkan, karena membutuhkan modal, terutama modal awal untuk membangun dan perkembangan ke depannya. Era pemerintahan Jokowi, bisa dilihat semua aktivis kiri dan kanan tampak dalam partai dan parlemen pendukung pemerintah. Memang strategi yang ciamik untuk bisa mendudukkan mereka secara bersamaan, di mana mereka bertentangan dalam hal pemikiran, ideologi, dan idealisme. Ada beberapa argumen dari para aktivis kiri ketika sudah duduk di parlemen atau istana negara, di antaranya dari mulai menyerukan untuk memilih salah satu paslon capres, mengajak untuk tidak golput dan menyalahkan golput, dan ada juga yang mengaitkan dengan gerakan zapatista. Apakah seperti itu mereka, dengan kata lain semua apa yang dilakukan adalah untuk mendukung sang junjungan dan pemerintahan yang ada? Dengan merangkul basis massa yang masih ada adalah modal kekuatan bagi gerakan kiri dan aktivis kiri saat ini (terlepas dari aktivis yang duduk di parlemen atau istana negara). Optimisme gerakan kiri sama dengan gerakan kanan, masih membawa isi dan harapan ke depannya. Begitu juga gerakan kiri akan bangkit sama halnya gerakan kanan. Ataukah bagi gerakan kiri dan aktivis kiri disibukan dengan diskusi dan mengkritisi pemerintah, siapa pun pemerintahnya yang akan duduk di istana negara ke depannya. Kenapa tidak, mereka bisa memiliki cita-cita bersama bisa bergabung membuat partai. Kebangkitan gerakan kiri akan bangkit, tapi tidak tahu kebangkitannya itu kapan (Eko Prasetyo, 2019). Pemilihan umum (pemilu) sebentar lagi akan dirayakan. Bisa dilihat sejarah perubahan di Indonesia tidak pernah melalui pemilu dengan pergantian kepala negara atau presiden, justru perubahan politik selama ini tidak juga ditentukan lewat pesta demokrasi lima tahunan, pemilu hanya pesta demokrasi sesaat. Eko Prasetyo sebagai Founder Social Movement Institute mengatakan pada waktu bedah buku "Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru" karya Dr. Ian Douglas Wilson dari Murdoch University, kita bisa lihat perubahan politik dengan ditandai dan dilalui dengan insiden atau peristiwa dari orde lama ke orde baru, dan juga dari orde baru ke era reformasi, dengan kata lain pemilu tidak mempunyai makna dan arti tersendiri dalam sejarahnya. Ke depannya justru yang harus diwaspadai yaitu bahaya di luar pemilu. Akankah terjadi lagi insiden atau peristiwa sebelum pemilu atau pasca pemilu, kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Kita terus berdoa untuk negeri ini, kita masih berharap dan menginginkan lagu kita masih sama "Indonesia Raya".

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU