Ada Kepentingan Ekonomi dan Politik dalam Pemberantasan Korupsi

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 29 Des 2017 00:36 WIB

Ada Kepentingan Ekonomi dan Politik dalam Pemberantasan Korupsi

Sepanjang tahun 2017 agenda pemberantasan korupsi ditempatkan pada dua hal pragmatis. Yakni, kepentingan ekonomi jangka pendek dan kepentingan politik elit yang cenderung transaksional dan kompromis. Pada saat yang sama, dunia politik seakan tidak merestui adanya upaya pemberantasan korupsi yang kuat dan serius. Indikasi ini terlihat dari manuver DPR RI dengan membentuk Pansus Angket KPK. --------------- Di sektor ekonomi, prioritas pemerintah adalah bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas ekonomi. Hal ini terlihat dari upaya pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang lebih kompetitif dan bersahabat. Berbagai proyek deregulasi, pemangkasan proses izin dan biaya berinvestasi serta penyediaan infrastruktur yang mendukung adalah contoh strategi pemerintah. Untuk hal tersebut menjadi keberhasilan pemerintah di sektor ekonomi. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya rangking Ease of Doing Business (EODB) Indonesia dari posisi 91 menjadi 72. Proyek deregulasi memang memiliki keterkaitan erat dengan dengan perilaku antikorupsi. Asumsinya, aturan yang rumit serta proses yang berbelit-belit berpotensi melahirkan rente ekonomi. Untuk itu pemangkasan proses dipandang positif untuk mengurangi perilaku koruptif. Namun sayangnya pemerintah hanya fokus untuk membenahi tata kelola yang berkontribusi langsung terhadap perbaikan sektor ekonomi saja. Sementara untuk aspek politik, berkali-kali Presiden melontarkan pernyataan bahwa KPK harus diperkuat. Salah satu tindakan kongkretnya adalah dengan tidak menghendaki revisi Undang-Undang KPK. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Pansus Angket KPK. Kepentingan politik partai dan elitenya untuk menggergaji KPK tampaknya tak pernah berhenti. KPK pada konteks konsolidasi kepentingan politik ekonomi elite dipandang sebagai gangguan yang serius. Telah banyak politisi yang diproses KPK. Baik mereka yang dalam posisi DPR/DPRD, Kepala Daerah maupun ketua umum partai hingga mereka yang berada di sektor swasta yang selama ini membangun kolusi dengan pejabat politik untuk mendapatkan akses anggaran dan proyek. Harus diakui bahwa KPK belum bisa menjangkau aktor besar yang selama ini dianggap sebagai oligarki, namun gebrakan KPK tampaknya sudah cukup dianggap merepotkan. Bagaimana tidak, selain menggunakan Pansus Angket KPK, Komisi III DPR bahkan sempat mendorong gagasan pembentukan Densus Tipikor Mabes Polri. Secara politis, gagasan ini adalah sebuah strategi untuk menggeser fungsi dan wewenang KPK pada Mabes Polri melalui Densus. Targetnya, jika Densus Tipikor terbentuk, maka ada justifikasi baru untuk membubarkan KPK, sementara program pemberantasan korupsi yang akan dikerjakan Densus Tipikor tentu akan lebih mudah dikendalikan oleh parlemen. Kendala Penegakan Hukum Selama 2017, hampir tidak ada satu kasus korupsi besar yang ditangani oleh Kejaksaan Agung maupun Mabes Polri. Situasi penegakan hukum korupsi tertolong oleh gebrakan KPK yang terus menangani kasus cukup besar seperti E-KTP, BLBI, dan berbagai praktik suap yang melibatkan anggota DPR, kepala daerah dan pengusaha. Selanjutnya, untuk potret wajah peradilan, tahun 2017 dibuka dengan penangkapan salah satu Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK pada 26 Januari 2017. Patrialis Akbar ditangkap oleh KPK karena menerima suap terkait dengan penanganan permohonan uji materiil undang-undang. Selain penangkapan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, MK juga diperhadapkan dengan masalah dugaan pelanggaran etik yang terkini dilakukan oleh adanya dugaan lobi politik yang dilakukan oleh Arief Hidayat untuk mempertahankan posisinya sebagai hakim konstitusi. Upaya lobi tersebut diduga dibarter dengan putusan menguntungkan bagi DPR RI dalam Uji Materil UU MD3 yang diajukan masyarakat sipil. Selain MK, Mahkamah Agung (MA) juga menghadapi salah satu permasalahan pelik akibat oknum panitera dan hakim pengadilan yang ditangkap karena melakukan korupsi. Per Oktober 2017, tercatat ada dua orang hakim dan satu orang panitera yang ditangkap oleh KPK karena menerima suap terkait penanganan perkara. Ia mencatat, paling tidak terdapat 25 oknum MA yang diduga terlibat dalam perkara korupsi. Ini menunjukkan reformasi lembaga pengadilan yang digagas sejak 2003 oleh MA belum bisa dianggap berhasil, pungkas Lola. (*) *) Dirangkum dari Paparan Catatan Akhir Tahun 2017 dari ICW, 28 Desember 2017

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU