20 Tahun Perayaan Imlek, Makin Diterima Sebagai Keberagaman

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 26 Jan 2020 23:42 WIB

20 Tahun Perayaan Imlek, Makin Diterima Sebagai Keberagaman

Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kini praktis sudah 20 tahun bisa merayakan tahun baru Imlek dengan kebebasan tanpa gangguan seperti awal awal tahun 2000. Kita tahu dari orang Tionghoa di Indonesia, kata "Imlek" bukan nama dari perayaan tahun baru Tiongkok yang sebenarnya. Kata ini diambil dari Bahasa Hokien dan hanya diketahui dan digunakan oleh orang Indonesia saja. Di luar Indonesia, perayaan ini lebih dikenal dengan nama Chinese New Year untuk orang-orang Barat. Sedangkan orang Tiongkok sendiri menamainya "Guo Nian" atau "Xin Jia" yang artinya lewati bulan atau bulan baru. Pengamatan sehari berkunjung ke rumah-rumah relasi Tionghoa di Surabaya, secara kasat mata, sebagian besar orang Tionghoa di Indonesia, sudah kurang merayakan Imlek secara special. Terutama generasi muda. Maklum, mayoritas orang keturunan Tionghoa di Indonesia sudah bukan lagi penganut Khonghucu, dan Budha, seperti 10-20 tahun lalu. Meski demikian, perayaan Imlek dengan melakukan sembahyang khusus di Klenteng dan wihara Surabaya, masih cukup banyak. Generasi muda orang-orang Tionghoa di Indonesia sudah banyak yang memeluk agama Kristen Protestan dan Katholik, dengan sebagian kecilnya Islam. Praktis kini bagi mereka imlek dirayakan sebagai tradisi budaya, bukan lagi agama. Ini karena hari raya Imlek telah ada sejak 4.000 tahun lalu. Dan seiring perkembangan zaman, maka terbentuklah beberapa tradisi yang akhirnya turun menurun dan wajib dijalani dalam setiap perayaan Imlek, berupa tradisi-tradisi unik. Salah satu ciri khasnya adalah penggunaan warna merah di segala tempat. Ini karena warna merah melambangkan sesuatu yang kuat, sejahtera, dan membawa hoki. Tidak hanya itu warna merah juga dipercaya dapat mengusir Nian atau sejenis makhluk buas yang hidup di dasar laut atau gunung yang keluar saat musim semi atau saat tahun baru Imlek. Tradisi yang kini memasyarakat di mall, hotel bahkan perkampungan-perkambungan di Surabaya Utara, ada tari Barongsai, festival masakan China, dan hiasan gaya Oriental, selain aneka makanan khas China dan pembagian angpao. Dalam kepercayaan orang China, Liong (naga) dan Barongsai, dianggap lambang kebahagiaan dan kesenangan. Tarian naga dan singa ini dipercaya merupakan pertunjukan yang dapat membawa keberuntungan serta salah satu cara mengusir roh-roh jahat yang akan mengganggu manusia. Maka tidak heran pertunjukkan ini selalu ada dalam setiap perayaan Imlek. Perayaan imlek yang dijadikan libur nasional ini berlangsung aman dan tertib di seluruh Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa hari raya masyarakat Tionghoa ini semakin diterima oleh masyarakat, dan menjadi bagian dari hari raya di Indonesia. Dan ini sebagai indikasi masyarakat Indonesia yang bukan keturunan China dan bukan agama Kong Hu Chu atau Budha, sudah bisa menerima keragaman beragama. Gejala bahwa keberagaman yang memiliki banyak perbedaan dalam berbagai bidang.bukan hanya urusan suku bangsa, ras, agama, keyakinan, tetapi juga ideologi politik, sosial budaya dan ekonomi. Praktis perayaan imlek ini bisa dianggap bagian dari kekayaan dan keindahan bangsa Indonesia. Bahasa politiknya, keberagaman seperti ini bisa menjadi modal persatuan dan kesatuan bangsa. Sadar atau tidak, perayaan imlek di Indonesia bersentuhan dengan politik Negara. Ini bisa kita dalami ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967, yang diterbitkan Presiden Soeharto. Gus Dur, nama akrab Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Dan pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003. Sebelumnya, Inpres No. 14/1967 dijadikan alat utama yang paling efektif rezim Soeharto yang anti-China. Inpres ini untuk menggenosidakan agama, budaya dan adat istiadat Tionghoa. Praktis sejak berlakunya Inpres itu maka semua hal-hal yang berunsur agama, budaya, dan adat istiadat Tionghoa dilarang diselenggarakan di seluruh Indonesia. Sejak itu, aksara dan bahasa China, termasuk sastra, lagu dan musiknya dilarang. Termasuk perayaan Imlek dengan pernak-perniknya, tarian barongsai dan liong, perayaan Cap Goh Meh, Pehcun, dan sebagainya. Jika nekad menjalankannya pelakunya akan masuk penjara sebagai pelaku kejahatan subversif. Padahal pada tahun 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah 1946 No.2/Um tentang Aturan tentang Hari Raya tertanggal 18 Juni 1946. Penetapan Pemerintah yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno, dan diketahui oleh Menteri Agama H. Rasjidi, dan diumumkan pada tanggal 18 Juni 1946 oleh Sekretariat Negara A.G. Pringgodigdo, mengatur hari raya khusus untuk etnis Tionghoa yaitu tahun baru Imlek); Hari Wafatnya N. Khong Hu Cu, Cheng Beng dan Hari Lahirnya N. Khong Hu Cu. Setelah 20 tahun perayaan imlek dirayakan dengan baik, menunjukkan Imlek dan Cap Go Meh adalah tradisi etnis China, dan bukan hari raya keagamaan. Wajar bila perayaan yang mengandung tradisi ini dikhawatirka bisa mengurangi keimanan umat agama diluar Kong Hu Chu, terutama umat Islam. Menggunakan akal sehat, perayaan Cap Go Meh dan Imlek serta Tari Barongsai adalah tradisi, bukan upacara keagamaan. Ini terbukti di mall, hotel dan perkampungan tari Barongsai pun sudah memasyarakat seperti topeng monyet, reog dan jedor. Tak salah bila semua WNI untuk saling menghargai, menghormati tradisi yang sudah cukup lama ada dan hidup di tengah-tengah kita. Hal ini sebagai salah bentuk penghormatan dan penghargaan yang berbeda dan tidak ada indikasi mereduksi dan mengurangi keimanan mayoritas pemeluk Islam di Indonesia. ([email protected])

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU